8. Makan Malam Bersama
***
"Sayang kamu yakin?" tanya Om Herman terdengar ragu ketika Mama Lisha mengunci pintu kamar Brighid dari luar kamar.
Lisha Andini terdiam, ia masih sibuk mengunci kamar putrinya dengan wajah tak kalah seram. Setelah usai, wanita paruh baya berparas lumayan cantik itu menatap suaminya dengan tajam.
"Mas, ini cara aku mendidik Brighid jadi mohon agar kamu juga turut dukung apa yang jadi keputusan aku," ucap Mama Lisha lalu berlalu dari depan pintu kamar Brighid, mengenyahkan teriakan Bri yang meminta agar dibukakan pintu kamarnya.
"Tapi kamu tidak perlu menguncinya 'kan?" Om Herman berjalan mengekor di belakang Mama Lisha yang tampak begitu antusias.
"Biarkan saja, ini caraku menghukum dia, Mas. Lagipula Bri anak gadisku, aku harus ekstra ketat menjaganya." Mama Lisha lalu berjalan kembali menuju ke meja makan.
Om Herman terdiam, dengan pasrah ia duduk kembali di kursi ruang makan. Lisha Andini mengembuskan napas berat, mendadak nafsu makannya menghilang.
"Mas, aku mau istirahat dulu. Mas makan berdua aja sama Rheino ya." Mama Lisha lalu berbalik badan meninggalkan ruang makan menuju ke kamarnya.
Om Herman tertegun tanpa menjawab, begitu pun dengan Rheino. Pemuda itu memilih untuk tetap fokus pada isi piringnya.
"Kasihan Bri, ia harus dikunci di kamarnya. Rheino, kamu yakin dengan isi buku itu?" tanya Om Herman penuh selidik pada Rheino yang memilih diam seribu bahasa.
"Iya Pah," jawab Rheino dengan singkat sembari mengunyah makanannya pelan.
"Kasihan dia gak bisa makan malam. Rheino, apa Papa bisa liat buku itu?" Om Herman masih saja penasaran, ia menatap putranya dengan harapan Rheino bisa menunjukkan buku apa yang menjadi sumber kemalangan anak tirinya.
Rheino terdiam, ia menatap papanya dengan tatapan turut bersalah. "Pah, semua ini bersumber dari buku itu, aku berjanji akan menasihati Bri besok pagi."
Om Herman menganggukkan kepala. "Baik, tolong ya Rhein, tolong bantu jaga adikmu juga."
****
Brighid meringis di atas pembaringan, bola matanya melirik ke arah jam beker yang berputar di atas meja sebelah kamar. Pukul setengah satu dini hari.
Sial, Brighid bahkan tidak bisa memejamkan bola matanya hanya karena dia merasa sangat lapar. Sesekali gadis itu mengelus perutnya dengan pelan. Sungguh, kebodohan apa yang telah ia ciptakan?
Seandainya ia tidak melaporkan hal ini pada papa di meja makan maka masalah ini juga tidak akan berlarut-larut. Dan Rheino ..., Rheino sialan itu justru menambah-nambahi masalahnya dengan mengatakan Bri membaca buku porno. What?
Sekali lagi Bri mengelus perutnya yang berbunyi, apa daya ia tengah berada dalam masa hukuman karena sandiwara yang telah ia ciptakan sendiri.
Perhatian Brighid pecah tatkala suara pintu kamar nyaris dibuka. Seseorang telah membuka kunci kamar dari luar. Gadis itu bangun dan melongo, menunggu untuk tahu siapa gerangan yang telah berbaik hati menghilangkan kunci kamarnya.
"Rheino? Kau ...."
"Ssstt ...." Rheino memberi isyarat dengan menekan jari telunjuk di bibirnya seraya masuk ke dalam kamar. Di tangan kirinya, ia membawa sepiring nasi lengkap dengan lauk dan sayur.
"Untuk apa kamu ke sini?" sungut Bri sambil bersedekap. Rheino tak menjawab, ia berjalan menuju ke ranjang dan duduk di sisinya. Tangan kiri pria itu menyodorkan piring ke hadapan Brighid.
"Kamu pasti lapar 'kan? Nih aku bawain kamu makanan," ucap Rheino pelan dan terdengar begitu lembut.
Menatap makanan itu, perut Bri kembali berbunyi. Mengenyahkan kemarahannya pada Rheino, Brighid segera menerima piring tersebut dan menatap isinya penuh nafsu.
Rheino tersenyum geli, ia bisa melihat wajah kelaparan Bri ditengah-tengah cahaya lampu kamar yang temaram. Bagaimanapun sepertinya ia telah keterlaluan dengan pacarnya tersebut.
"Bri, maafin aku ya." Rheino berkata pelan saat Bri mulai menyendok nasinya dengan lahap.
Bri terdiam, ia mengabaikan Rheino dan fokus pada piringnya. Bagaimanapun selama ini ia tidak pernah tidur dalam keadaan perut terasa lapar. Dan percayalah, kau juga tidak akan bisa tidur dengan cacing-cacing perut yang terus bernyanyi di dalam perutmu.
"Tapi kamu juga harus ngerti dong perasaan aku. Aku beneran cinta sama kamu, walau situasi saat ini membuat kita harus mengakui bahwa kita adalah saudara, tapi dalam hatiku sendiri, kamu tetep pacar aku. Jadi please, stop Bri jangan mainin perasaan aku kayak tadi." Rheino mengungkapkan perasaannya perlahan di hadapan Brighid.
Brighid terdiam, ia berhenti mengunyah makanan lalu menatap bola mata Rheino cukup dalam. Pemuda itu menghela napas, ia memindahkan piring Brighid ke samping meja lalu menggenggam kedua tangannya.
"Aku minta maaf jika tadi sore aku membuatmu dalam masalah. Aku sebenarnya gak ingin berantem sama kamu tapi please deh jangan berusaha untuk menghindar dari aku. Kamu, orang yang tersayang bagi aku. Bri, kamu paham 'kan?" ucap Rheino lembut, kali ini ia mengusap anak rambut Bri yang jatuh di dahi pacarnya tersebut.
Bri masih terdiam, ia menundukkan kepala dan kembali mengingat kejadian sore tadi. Seandainya ia tidak membeli buku-buku itu mungkin Rheino juga tidak akan semarah itu padanya.
"Aku juga minta maaf," ucap Bri lirih seraya tertunduk. "Aku membeli buku itu bukan bermaksud buat bikin kamu marah. Aku hanya sekadar beli, maaf jika kelakuanku tadi sore membuatmu jengkel padaku."
Rheino mengulas senyum, ia kembali mengusap pucuk kepala Bri dengan sayang. "Sebenarnya aku marah karena aku takut kehilangan kamu aja, Bri. Kita udah lewatin semuanya, semuanya. Aku udah sayang beneran sama kamu, apa kamu gak sayang sama aku?"
Wajah Bri memerah ketika pemuda itu bertanya hal itu padanya. Ia melirik sekilas pada Rheino lalu kembali tertunduk. Beruntung lampu kamar menyala dengan temaram jika tidak, sudah pasti wajahnya yang memerah seperti tomat bakal ditertawakan oleh Rheino sampai ke ujung dunia.
"Tentu aku sayang sama kamu," balas Brighid dengan perasaan malu. Gadis itu tak berani membalas tatapan bola mata Rheino yang menatapnya begitu tajam.
Senyum Rheino kembali menguar, ia meremas jari tangan Brighid lalu mendekatkan wajahnya guna mencium gadisnya tersebut.
"Kau tidak bisa menciumku, aku sedang kelaparan." Brighid berkata polos ketika bibir Rheino telah sampai di hadapannya. Wajah Rheino memerah, pria itu terpaku lalu memundurkan kembali wajahnya. Malu.
"Aku sangat lapar, aku tidak bisa menerima ciumanmu." Brighid kembali menambahkan ucapannya membuat Rheino tak punya pilihan lain selain mengambil kembali piring di atas meja lalu menyodorkannya ke arah Brighid.
"Makanlah, aku tidak bisa membiarkanmu menjadi harimau yang kelaparan." Rheino berkata pelan namun sarat sindiran. Tak peduli dengan sindiran tersebut, Brighid segera menerima piringnya lalu menuntaskan hasrat perutnya yang begitu lapar.
"Apa kau begitu lapar?" tanya Rheino heran ketika melihat Brighid makan dengan lahap.
"Ya, aku tidak pernah tidur dalam keadaan lapar dan kupastikan hal ini tidak akan terjadi kembali." Bri menjawab dengan mulut penuh isi makanan.
"Ehm, sebenarnya aku juga lapar." Rheino menggaruk rambutnya yang tidak gatal, membuat tatapan Bri melayang sejenak ke arahnya.
"Kenapa tidak makan aja?" balas Bri seraya menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya. Perhatiannya tertuju penuh pada ayam goreng yang kini masih menghias utuh di atas piring.
"Karena makananku sedang makan jadi aku gak bisa makan," timpal Rheino asal membuat Bri menghentikan aktifitasnya mengunyah makanan.
"Maksudnya?" Alis Bri menaut, ia tidak mengerti maksud ucapan Rheino soal 'makanan'.
"Aku pengen." Rheino memasang wajah 'pengen' pada Bri sedikit lama, wajah Bri kembali memerah ketika mengetahui apa makna dari kata-kata tersebut.
Bri segera meraih bantal lalu mengempaskannya ke arah Rheino dengan kesal. "Tuh, sama bantal!"
Rheino tergelak tertawa, ia menangkis bantal cepat-cepat. Ia tahu mencandai Bri adalah hobinya, melihat wajahnya memerah pun adalah kesukaannya. Pemuda itu sangat mencintai Bri, bahkan dalam hatinya ia sudah berjanji takkan mengakhiri hubungan ini. Sampai kapanpun, selamanya.
*************************************************
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top