28. Ariel, I Need You

******

Rumah lama Bri di kompleks perumahan sebagian hangus terbakar. Para tetangga sibuk membawa ember berisi air agar api cepat padam dan tidak merembet rumah sebelah. Suasana kacau sekali. Bri hanya bisa menangis, meratapi bahwa ini adalah kesalahannya. Di satu sisi gadis itu lega sang mama dalam perjalanan dari Bali menuju Jakarta.

Di bantu alat pernapasan Bri merasa tenang, tapi kedua bola matanya terus mencari sosok pemuda yang telah menyelamatkannya. Apakah dia baik-baik saja? Suara sirene membelah jalan menuju rumah sakit terdekat. Setelah sampai Bri langsung ditangani oleh perawat di Unit Gawat Darurat.

Bri dapat mendengar rintihan kesakitan Rheino. Dia sangat hapal sekali suara itu. Bri tidak dapat bergerak, jarum infus sudah tertancap di tangan kanannya. Di hidungnya sudah dipasang selang agar jalan pernapasannya berjalan dengan baik.

Suster, bagaimana keadaan Rheino?"

Kedua suster yang mengobati luka Bri di kepalanya menyunggingkan senyum. Entah senyum palsu atau entahlah Bri tidak mau berpikir. Yang ada sekarang kepalanya pusing dan dia mengantuk. Sayup-sayup salah satu perawat itu berkata, "Dia akan baik-baik saja. Sedang ditangani oleh dokter."

Bri lega, tapi menyimpan kekhawatiran yang amat dalam. Rheino lukanya sangat parah. Ah, Bri menyesali kenapa dia harus ke rumah lama. Kenapa enggak di rumah yang sekarang dia tinggali. Bri takut Rheino akan berbuat macam-macam terhadapnya. Mana kedua orang tuanya berlibur ke Bali.

Sekarang status gadis berambut hitam sepunggung itu pacarnya Ariel. Ah, Bri lupa mengabari si cowok bule. Kemana dia? Di saat seperti ini Bri butuh Ariel, bukan Rheino. Sejak bersama Ariel dia selalu terhibur kelucuan oleh pemuda keturunan Belanda. Entah berapa kali Bri cuekin, tapi kegigihannya membuat Bri diam-diam takjub.

Bri mulai mengantuk, obat antibiotik dari dokter membuat matanya sudah tidak bisa diajak kompromi. Samar-samar seseorang memanggil namanya. Entah itu siapa yang jelas Bri ingin istirahat.

****

Bri mengerjap-ngerjap kedua matanya. Rasa kantuk begitu hebat sehingga sulit sekali membuka matanya. Di mana ini? Pikirnya. Kenapa ruangan serba putih dan kok ada tv? Tangan kirinya berusaha menggapai tepi ranjang dan tak sengaja memegang kepala seseorang.

Bri melirik ke kiri. Dilihatnya seorang pemuda tampan berambut agak cokelat, kulit agak putih itu sedang tidur dengan posisi terkelungkup.

Bri terkejut. Itu kan Ariel. Kenapa dia ada di sini? Sejak kapan? Bri mengelus rambut ikal Ariel. Begitu halus. Dengan posisi seperti itu Bri melihat Ariel sangat tampan sekali. Bisa-bisanya Bri berpikir seperti itu.

Secepat kilat Bri menarik tangannya, malu dan takut ketahuan kalau dia tadi mengusap rambut halus Ariel. Bola mata indah milik Bri terus menatap laki-laki itu.

Ariel menggeliat, kedua bola matanya membesar. Gadis yang dia cintai sudah sadar. "Bri, Bri sayang, kamu sudah bangun?" bisik Ariel lembut. Tangannya membelai pipi Bri.

Bri hanya mengangguk. "I-ni ...."

"Ya, kamu di ruang rawat inap sekarang. Aku di telpon ama Tante lisha makanya aku langsung ke rumah sakit."

"Kamu menungguku dari malam tadi?"

Ariel mengangguk. Senyum pemuda bule itu mengembang. "Ya, aku menjagamu."

Bri menoleh kiri dan kanan. Tidak ada pasian lain. Hanya ada dirinya dan Ariel saja. Bri menduga jangan-jangan ini kamar VVIP.

Ariel sudah menduga akan hal itu. Maka dia menjelaskan pada Bri. "Papa yang memesan kamar ini. Agar kamu bisa istirahat dengan tenang. Siang nanti mereka akan ke sini."

"Bagaimana dengan Rheino?" ujar Bri lirih.

Ada sedikit rasa kecewa di dalam hati Ariel. Ternyata gadis ini masih menanyakan keadaan Rheino. Namun, demi seorang gadis yang amat dia cinta, Ariel rela menunggunya.

"Rheino ada di ruang tak jauh dari sini."

"Bagaimana keadaannya?" desak Bri.

Ariel menatap Bri dengan tatapan sendu. "Dia belum sadar. Luka-lukanya sangat parah. Untung ada Luna sepanjang malam menemaninya."

Bri menghela napas. Luna. Lagi-lagi gadis itu. Ah, sudahlah Bri sudah ada Ariel kalau dipikir-pikir entah berapa kali dia menolak cintanya Ariel. Padahal dulu Bri sebel banget ama cowok di hadapannya ini. Ariel  sangat sabar menghadapinya. Kadang Bri kekanak-kanakan.

Bri dulu enggak peduli bahkan terkesan menghindarinya. Di mata Bri hanya ada Rheino, Rheino, dan Rheino. Apa daya mereka sekarang telah jadi kakak adik.

Bri sadar sekarang. Kenapa dia terpaku sama Rheino? Lambat laun Bri belajar merelakan kenangan bersama Rheino. Dia tidak ingin mamanya menderita. Kebahagiaan ibunya adalah kebahagiaan Bri juga.

Bri terus memandang Ariel berbicara dengan suster yang kebetulan sedang memeriksa kondisi Bri. Yang lebih menyentuh hatinya Ariel sangat telaten mengurus dirinya. Tak lama suster 'mengusir' Ariel dikarenakan baju rumah sakit Bri harus diganti.

Ariel berjalan ke lorong sebelah kiri. Langkahnya melambat tatkala dia mendekati pintu dimana Rheino dirawat. Di sana ada Om Herman sedang duduk di kursi memandang anaknya penuh luka. Walau Rheino nyebelin, tapi Ariel iba melihat kondisi pemuda itu.

Ariel hanya menunduk sopan ketika mata Om Herman menoleh dan langsung menghampirinya. Mereka terlihat bercakap-cakap. Om Herman menepuk bahu pemuda bule. Bahu pria paruh baya itu terguncang. Isak tangis terdengar. Ariel berusaha menenangkan dan memeluk ayahnya Rheino.

Ariel kembali masuk ke ruang rawat inap. Bri sudah rapi dan baju sudah diganti walao masih memakai baju rumah sakit. Baru saja hendak duduk,  bri berkata, "Ariel, Bri lapar. Suapin dong," pinta Bri manja.

Ariel tertegun. Baru kali ini dia mendengar gadisnya ini sangat manis. Bukan di buat-buat, tapi Ariel sangat tahu. Bagaimanapun juga Ariel tetap cinta.

Pemuda keturunan Belanda itu tersenyum tulus. Dia sama sekali tidak keberatan. Ini adalah kesempatan langka yang tak datang dua kali.

"Ariel ...."

"Ya?"

"Jangan kemana-mana. Aku membutuhkanmu."

Senyum Ariel semakin mengembang. Dia berdiri, menciun kening Bri lama.  "Aku tak akan meninggalkanmu, sayang."

************

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top