27. Rumah Lama

****

Semenjak itu Brighid memutuskan untuk tinggal di rumahnya yang lama. Bukan karena apa, ada alasan terselubung yang tidak bisa ia ceritakan pada siapapun. Luka hati yang tak kunjung mengering, mendorong Brighid untuk melupakan sejenak bayangan pria itu dalam hidupnya.

Tinggal seorang diri, Bri berusaha mengatur hidupnya sebaik mungkin. Gadis itu tahu bagaimana cara ia sedikit demi sedikit mulai melupakan sosok Rheino. Ia tidak ingin hanyut lebih jauh kendati keadaan begitu sulit, dengan susah payah Bri berusaha untuk tetap lapang dalam menjalani cobaannya.

Malam itu Brighid bersiap untuk belajar, seperti biasa ia akan masuk ke dalam kamar kesayangannya yang serba dicat putih dengan membawa camilan kesukaannya yakni popcorn. Besok adalah hari pertama ia akan ujian nasional, jika ia lengah maka ia akan kehilangan tiga tahunnya dengan sia-sia.

Duduk di meja belajar, Brighid siap merapalkan setiap rumus matematika yang akan ia pergunakan besok kalau-kalau ada soal yang membutuhkan rumus tersebut.

"Bri, lupain Rheino! Kamu harus belajar untuk yang terakhir kali. Kamu gak boleh lengah, kamu harus bisa lulus!" rapal Bri pada dirinya sendiri. Menyedihkan memang ketika kita harus berjuang yang ada cuma diri kita doang. Gak masalah, kita pasti bisa.

Baru lima menit Bri belajar, ponsel Bri berbunyi. Sebuah pesan WhatApps masuk dengan bunyi khas. Bri melirik, Ariel tengah menyemangatinya dengan emoji yang begitu menggemaskan.

Ariel;
"Semangat pacarku, besok ujiannya matematika. Jangan lupa doa, muach.."

Bri terdiam, wajahnya berekspresi datar. Entah kenapa mendapat pesan itu ia justru teringat pada Rheino yang tahun lalu pernah menyemangatinya seperti ini. Bedanya, dulu mungkin ia akan merona merah atau guling-guling gak jelas di kasur.

Sadar pikirannya ngelantur, Bri menggelengkan kepala lalu kembali belajar. Lagi-lagi ponselnya kembali berbunyi, kali ini dari Mama Lisha.

"Mah," sapa Bri pelan setelah berhasil menekan tanda hijau di layar ponselnya.

"Sayang, kok kamu gak ke sini sih? Mama malam ini jadi berangkat ke Bali. Kamu gak ingin temuin Mama dulu gitu?" Suara Mama Lisha terdengar merajuk.

"Mama, besok aku ujian. Kalo aku kesitu otomatis aku gak belajar dong," balas Bri sambil mengamati buku pelajaran di hadapannya.

Mama Lisha tergelak, suaranya terdengar begitu bahagia.

"Baiklah, Mama doain semoga besok lancar ya ujiannya. Oh ya, kalo kamu butuh apa-apa jangan lupa ke sini, ntar biar Rheino yang siapin keperluanmu. Uang jajan besok aku transfer kalo udah ada di Bali ya, soalnya Mama masih repot nih di Bandara."

"Siap Ma, Mama hati-hati di perjalanan ya."

"Oke Sayang, baiklah kalo gitu. Kamu belajar ya, Daahh."

Mama Lisha menutup teleponnya dengan segera, wanita paruh baya itu takut jika ia berlama-lama telepon maka waktu belajar anaknya akan berkurang. Ia tidak ingin Brighid tidak konsen dalam belajarnya.

Gadis bersweater merah mengela napas, ia meletakkan ponselnya dengan wajah sedikit kecewa. Dulu rumah ini tidak begitu sepi dan selalu hangat. Candaannya bersama sang mama cukup membuat rumah ini hidup dan diselimuti kebahagiaan. Kini, ketika Mama menemukan tambatan hatinya, rumah yang hangat perlahan dingin dan ditinggalkan. Bri merindukan hari-hari itu, hari dimana ia hanya tinggal dengan mama dan bersama-sama dengan beliau setiap waktu.

Kembali hanyut, Bri segera menyadarkan dirinya pada buku yang tengah ia baca. Sekali lagi gadis mungil itu menguatkan dirinya sendiri.

Setengah jam berlalu, ketika Bri sedang belajar tiba-tiba listrik mati. Sepertinya memang daerah tempat tinggal Bri sedang ada pemadaman listrik bergilir. Dengan bantuan cahaya senter dari ponsel, Bri turun dari kamar menuju ke dapur.

Gadis itu meraba-raba rak penyimpanan di dapur, siapa tahu ia bisa menemukan beberapa batang lilin guna meneranginya sementara waktu.

Brighid merasa girang tatkala kedua bola matanya menemukan beberapa batang lilin sisa beberapa waktu lalu ketika pemadaman listrik. Memang daerah tempat tinggal Bri menjadi langganan mati listrik sehingga mamanya selalu siap stok lilin di rumah.

Setelah meyalakan lilin di dapur, Bri membawa beberapa batang lilin lainnya ke kamar. Gadis berparas ayu itu berencana akan melanjutkan belajarnya dengan bantuan lilin.

Tanpa Brighid sadari lilin yang ia nyalakan terjatuh tepat dibawah tirai jendela. Api mematik membakar sebagian tirai tanpa ada satupun yang menyadari.

Bri yang tengah belajar di kamarnya pun tak menyadari jika kini dapur satu-satunya di rumah itu tengah berkobar api yang begitu dahsyat. Bri terus belajar bahkan ketika asap mulai memenuhi ruangan di area dapur.

Ketika ia tengah menyalin beberapa rumus di bukunya, Bri merasa sesak dan terbatuk-batuk. Gadis berambut panjang baru tahu jika rumahnya kini penuh asap.

Bangkit dengan perasaan berdebar, Bri berusaha berlari ke arah pintu dan ...

Braakk.

Pintu itu meledak karena kekuatan api yang menyembur masuk ke dalam kamar. Brighid terpental dan menabrak meja belajar. Kedua bola matanya tak percaya jika kebakaran hebat ini tengah terjadi di dalam rumahnya.

"Apa ini? Kebakaran?" desis Brighid tak percaya. Otaknya mendadak kosong, ia tertegun cukup lama bahkan rasa panas yang nyaris membakar tubuhnya tidak lagi ia rasakan.

"Ya Tuhan, apa ini akhir dari perjalananku di dunia ini? Apa ini akhir dari hidupku? Inikah ajalku? Ya Tuhan, siapkah aku?"

****
Rheino mendadak merasa sangat resah, bola matanya sama sekali tidak bisa berkonsentrasi dengan buku yang tengah ia pelajari saat ini. Entah kenapa setelah sekian lama mampu memendam perasaannya untuk tidak bertegur sapa dengan Bri, kali ini rasa rindu nan aneh itu datang.

Naluri pemuda itu terus mengusik, berbisik aneh seakan memintanya untuk pergi dan menjumpai Brighid sesegera mungkin.

Rheino semakin resah, ia mencengkeram rambutnya kuat-kuat. Pemuda itu berusaha melawan gejolak dalam hatinya namun semakin ia berusaha untuk mengelak, yang ada ia semakin tak berdaya.

"Aku ..., aku harus jenguk Bri malam ini. Gak papa kalo cuma dari luar rumah aja yang penting aku udah bisa liat dia baik-baik aja," batin Rheino menceracau.

Segera Rheino bangkit dari duduknya, ia menutup buku lalu meraih kunci motor yang tergeletak tepat di samping tempat tidurnya. Berjalan cepat, Rheino tidak lupa menyahut hoodie putih kesayangannya.

"Aku harus pergi malam ini. Harus!"

*****
"Bri!" teriak Rheino shock ketika rumah yang ia kunjungi kini dipenuhi api. Beberapa bangunan seperti atap mulai runtuh. Beberapa orang tengah membahu memadamkan api.

Rheino segera mematikan motor, ia berlari menyeruak kerumunan orang-orang yang tengah menonton kebakaran tersebut.

Melepas helm yang ia pakai, Rheino mengedarkan pandangan. Pemuda itu mencari sosok Brighid namun sama sekali tidak bisa ia temui.

"Kasihan sekali gadis itu, ia terperangkap di dalam! Ah, aku tak bisa membayangkan bagaimana takutnya dia sekarang," ujar salah satu ibu-ibu dari kerumunan tersebut.

Rheino menatap kobaran api tersebut, ia bisa membayangkan bagaimana ekspresi takut Brighid kali ini. Kasihan, saat ini Bri seorang diri di dalam sana.

Rheino mengela napas, bertekat ingin menyelamatkan Bri, pemuda itu berlari masuk ke dalam. Tindakan Rheino yang ceroboh membuat suasana makin histeris. Lambat laun dari kejauhan suara sirine khas pemadam kebakaran pun datang.

"Bri!" panggil Rheino ketika berhasil menyeruak api dan memasuki kamar Brighid.

Gadis itu merapat di dinding, air matanya telah mengering ketika melihat sosok Rheino dengan tangguh menyeruak kobaran api yang kini telah mengepung sekitarnya.

"Rhe ..., Rheino ...."

"Mendekatlah! Jangan takut, aku ada di sini. Kita akan keluar dengan segera!" ucap Rheino seraya mengibas-ibas asap yang memenuhi ruangan.

Pemuda itu tersenyum ketika tahu keadaan Bri yang baik-baik saja, ia mengulurkan tangan berusaha menarik Brighid dan menenangkannya namun ...

Bruuk.

Sebuah pilar kayu menimpa punggung Rheino. Pemuda itu roboh dengan cepat, darah mengucur dengan deras melalui punggungnya. Hoodie putih nan bersih kini berubah merah penuh darah. Bri menjerit takut, ia memundurkan langkah dengan tubuh bergetar.

"Ja-jangan takut, aku baik-baik aja. Ayo kita pergi dari sini," ajak Rheino mencoba tersenyum dan bangkit dengan sekuat tenaga.

Brighid kembali menangis, ia memberanikan diri untuk menghampiri Rheino yang berusaha berdiri dari jatuhnya.

Rheino mengusap pucuk kepala Brighid dengan tersenyum, pemuda itu tak banyak bicara. Ia lalu bangkit, berjalan dengan tertatih karena menahan sakit yang mendera di punggungnya.

Keduanya bergandengan ditengah kobaran api, lagi-lagi Brighid kembali menjerit ketika kepala Rheino kembali tertimpa sisa bangunan yang runtuh. Pria itu menarik tubuh Bri dan memeluknya, tubuhnya bergetar tatkala satu persatu sisa bangunan runtuh menimpa dirinya.

"Selamanya, Rheino tetep sayang sama Bri. Jadi, jangan mikirin apapun selain itu. Oke?!"

***********************************************

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top