26. Akhir dari Sebuah Perjalanan (2)

****
Rasa lelah yang terus mendera sejenak membuat Brighid Natanaella kehilangan kesadaran. Pendiriannya atas nama cinta akhirnya runtuh hanya karena tak sanggup lagi menyangga beban sakit yang terus menusuk relung hati. Sampai kapan? Akhirnya Bri mengetahui jawabannya hari ini.

Setelah menyuruh Ariel pulang, Bri berjalan masuk ke teras rumah. Apakah Bri baik-baik saja? Ya, tentu saja tidak namun wajahnya yang polos dan memiliki seribu senyum palsu berhasil memanipulasi perasaan yang berkecamuk dalam benaknya sekarang.

"Kalian baikan? Aku turut senang melihat kalian mulai akur kembali," celetuk Bri di samping Rheino dan Luna sembari melempar senyum palsunya yang begitu aduhai.

Tak mau mendengar jawaban yang tentu saja bertolak belakang dengan keinginannya, Bri buru-buru menyelinap masuk ke dalam rumah dan masuk ke dalam kamar.

Muak. Tentu saja perasaan tak nyaman itu melingkupi seluruh hatinya. Ia ingin menangis tapi gadis berwajah murung itu sudah mendoktrin dirinya jauh-jauh hari agar tidak menangis lagi.

Berjalan lunglai menuju ke ranjang, Bri hanya bisa mengungkapkan kekesalannya dengan membanting tas gendong yang sedari tadi masih setia menempel di punggungnya. Bri mengela napas, ia meremas seprei dengan jari-jari mungil yang ia punya.

Suara deritan pintu yang terbuka mengalihkan tatap Bri dari ubin putih yang ia pijak ke arah pintu dengan cepat. Sosok Rheino muncul, menambah rasa sakit yang ia rasakan kini.

"Bri, boleh nggak aku ngobrol bentar sama kamu." Rheino berdiri di ambang pintu dengan wajah kusut. Dengan sopan pemuda berkaos putih itu meminta ijin pada Bri.

"Ngobrol apa lagi? Kita tiap hari ngobrol juga gak ada faedahnya 'kan?" gumam Bri sarkasme. Gadis itu memalingkan wajah, tak beranjak dari posisinya yang duduk di tepi ranjang dengan wajah mulai memerah.

Rheino menarik napas, ia melangkah masuk ke dalam kamar Brighid lalu perlahan duduk di samping mantan kekasihnya tersebut. Pemuda itu mengusap keningnya, perasaan tak karuan membuncah dalam dadanya.

"Aku sama Luna ...."

"Aku sama Ariel udah jadian jadi mulai sekarang tolong jaga jarak dariku. Aku gak mau Ariel mikir enggak-enggak sama aku," tukas Brighid lalu menggeser duduknya, memberi jarak diantara mereka berdua.

Rheino terpaku, ia tak menyangka jika hubungannya dengan Bri berakhir seperti ini. Mungkinkah ini takdir Tuhan yang harus ia jalani dengan tabah?!

Rheino menunduk, tersenyum tipis lalu menyugar rambutnya perlahan. "Oke. Selamat ya, akhirnya kamu bisa temuin pengganti aku yang lebih baik. Kalo kamu seneng, aku juga seneng kok."

Antara Brighid dan Rheino tak ada suara lagi, suasana sore itu terasa sunyi dan mencekam. Papa dan mama sedang tidak ada di rumah, mereka sibuk mengurusi toko masing-masing sebelum akhirnya mereka pergi untuk berbulan madu minggu depan.

Brighid menelan saliva dengan susah payah. Ada rasa nyeri yang tak bisa ia ungkapkan ketika dengan jelas telinganya mendengar ucapan Rheino yang justru memberikannya selamat. Kok gitu?

Hati gadis itu memberontak namun bibirnya kelu untuk mengucap. Brighid tidak ingin menerima ucapan atau kata selamat terlebih dari bibir Rheino. Entah ia justru sangat merindukan kata-kata posesif dari pria itu, kata yang begitu sarat arti penolakan dan amarah. Perlahan Brighid mengerti apa itu penyesalan.

"Kalo udah gak ada yang mau diomongin, ya udah, kamu keluar aja. Aku lelah, mau mandi dulu." Bri mendengkus, mengusir sosok Rheino yang telah membuat rasa kecewanya semakin bertambah.

Rheino kembali mengela napas, ia beranjak berdiri dari sisi ranjang. "Minggu depan kita udah mau ujian, kamu belajar yang rajin. Setidaknya kamu harus lulus biar gak malu-maluin nama ortu."

Brighid bergeming, ia tak menatap keberadaan Rheino sedikit pun. Setidaknya pria kaos putih itu udah ngingetin tugasnya buat belajar tekun, kalo tidak mungkin ia akan tinggal kelas tahun ini.

"Satu hal lagi, aku sama Luna gak ada hubungan apa-apa sedari dulu hingga sekarang. Sampai nanti pun, hubunganku sama dia cuma sebatas tetanggaan. Jika aku perhatian sama dia, itu bukan berarti aku suka sama dia. Luna sedari kecil sama kayak aku, dia gak punya ibu. Kami berteman buat saling melengkapi. Karena nggak mempunyai ibu itu rasanya gak enak banget. Beda sama kamu, kamu punya ibu. Kamu bisa bahagia sama ibu karena kamu dekat dengan orang yang udah ngandung kamu sembilan bulan. Walau gak ada ayah pun, ada ibu, aku yakin seseorang akan tetap fine-fine aja hidupnya. Jadi, bersyukur kamu punya Mama Lisha yang berhati mulia dan bisa bahagiain kamu."

Rheino lalu melangkah pergi dari kamar Brighid, meninggalkan gadis itu terduduk seorang diri di atas ranjang dengan bibir membeku dan hati bergemuruh, runtuh.

Tanpa sadar air mata Brighid kembali mengalir. Bukan, bukan ini yang dia mau. Gadis berambut panjang hanya menunduk lalu menggelengkan kepala. Kepalan tangannya tanpa sadar mengerat, mencengkeram lutut yang nyaris goyah karena pengakuan Rheino.

"Aku terlalu jauh memutuskan, aku terlalu jauh mengira. Maaf jika akhinya perasaanku tidak tertolong dan melukai hatimu. Sekarang jika aku menginginkan kita kembali, apakah itu sudah terlambat? Maaf atas kebodohanku, maaf atas kecemburuanku. Tapi, aku yang sekarang terlalu buruk untuk menyanding dirimu. Aku tidak berhak lagi bermimpi untuk tinggal nyaman di sampingmu. Maaf, mungkin ini tuahku. Aku pantas menerima."

*****
Suasana makan malam di keluarga Herman Santoso belum juga berubah. Tidak hangat dan terus saja dingin. Kendati Brighid dan Rheino duduk bersebelahan ketika makan, mereka terlihat saling menghindar satu sama lain. Hanya Mama Lisha dan Papa Herman yang terlihat saling akur satu sama lain, berbincang hangat mengenai menu makanan dan aktifitas mereka seharian.

"Rheino, Bri, minggu depan kalian ujian 'kan? Kami harap kalian belajar sungguh-sungguh dan bisa lulus dengan nilai terbaik," ucap Mama Lisha memberi semangat lalu tersenyum hangat.

"Kami minta maaf karena mungkin minggu depan kami harus pergi berbulan madu ke Bali jadi kami gak bisa support kalian secara langsung. Gak papa 'kan?" tanya Papa Herman dengan mimik wajah sedikit menyesal.

"Gak papa kok Pah, kami bisa jaga diri baik-baik," ucap Rheino pelan lalu menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.

Papa Herman tersenyum, ia menganggukkan kepala lalu melanjutkan makan malamnya. Pria paruh baya itu yakin akan kemampuan putranya. Ia tahu betul jika Rheino memiliki kecerdasan yang bisa dibanggakan, ia yakin putranya bisa melanjutkan kuliah di Singapura seperti harapannya.

"Bri, apa rencanamu kedepan? Setelah lulus, kamu pengin kuliah dimana biar Papa carikan kampus yang cocok buat kamu," tawar Papa Herman seraya melirik ke arah Bri yang terus menikmati makan malamnya tanpa banyak bicara.

"Sepertinya Bri mau kerja aja Pah," jawab Bri pelan, ia tertunduk dan mengamati buliran nasi yang masih tersisa di piringnya.

Mama Lisha dan Papa Herman saling pandang dengan tatapan tak mengerti.

"Loh, Bri, dulu kamu pernah cerita ke Mama 'kan, kalo kamu pengen masuk PTN bareng pacar kamu. Kok sekarang ...."

"Otak Bri kayaknya udah gak nyampe Ma buat mikir pelajaran. Sepertinya Bri mau kerja aja biar bisa ngasilin duit," tukas Bri lalu pura-pura nyengir. Mama Lisha terdiam namun ia tidak ingin mendesak apa yang sudah menjadi keputusan Bri saat ini.

Rheino terdiam, wajahnya murung ketika tanpa sengaja mendengar ucapan Mama Lisha yang menyinggung soal PTN tersebut. Rheino sadar jika dulu ia pernah berencana akan masuk PTN sama Brighid bareng-bareng tapi kini ....

"Rheino, kamu jadi kuliah di Singapura 'kan? Ntar papa cariin rekomendasi tempat kuliah yang bagus ya buat kamu. Pokoknya semangat buat anak Papa," ucap Papa Herman dengan berbinar.

"Iya Pah," jawab Rheino pelan lalu kembali melanjutkan makannya.

"Mah, Pah, karena minggu depan udah ujian, boleh gak aku sementara waktu tinggal di rumah kita yang dulu? Aku pengin balik kesana," ucap Bri lirih seraya meletakkan sendok dan garpunya.

"Loh, Bri, kenapa? Apa rumah ini tidak nyaman buat kamu belajar?" tanya Papa Herman dengan wajah heran.

"Enggak Pah, aku seneng kok tinggal di sini. Hanya aja di rumah yang lama, masih ada buku-buku yang aku tinggalin dan itu cukup banyak. Jadi aku mohon ijin untuk pindah ke sana sementara waktu. Boleh 'kan Pah, Mah?"

Papa Herman dan Mama Lisha saling pandang lalu menganggukkan kepala.

"Kembalilah kalo urusanmu udah selesai, Sayang. Bagaimanapun rumah itu adalah rumah kita juga. Pergilah jika kau merindukannya dan segera kembali jika kau sudah puas tinggal di sana. Kami akan selalu mendukung apapun keputusanmu."

*********************************************

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top