25. Akhir dari Sebuah Perjalanan (1)
****
"Tuh 'kan Ma?!" desah Ariel ketika Bri terbatuk-batuk karena air teh yang ia minum tersedak nyaris masuk ke sistem pernapasan.
Ariel dengan cekatan mengambil cangkir dari tangan Bri, menawarinya tisu dengan penuh perhatian.
Kedua orangtua Ariel saling melempar pandang lalu tersenyum dengan rona merah di wajah masing-masing. Dasar anak muda, mereka sering menebar romansa cinta dan lupa tempat dimana ia berada.
"Kamu gak papa Bri? Jangan ditanggepin omongan Mama," bisik Ariel menenangkan Bri yang masih berusaha untuk berhenti dari batuk yang menyerang.
"Maaf Tante, saya sama Ariel cuma temen." Bri berkata demikian setelah dirinya tenang sambil menunduk malu.
Ariel terdiam, ada gurat kecewa di wajahnya yang sama sekali tidak bisa ia tutup-tutupi. Pemuda itu mungkin kecewa dengan ucapan Bri yang terlalu terbuka akan perasaannya.
Melihat wajah Ariel, Alina dapat merasakan penderitaan putranya. Wanita paruh baya nan ayu itu beranjak bangun dari kursi lalu duduk di sebelah Brighid.
"Kenapa kamu gak suka sama Ariel? Apa kurangnya anak Tante?" tanya Alina sembari meremas jemari tangan Brighid.
"Mama ngomong apa sih?" sela Ariel merasa tak nyaman akan jiwa mamanya yang sering kelewat kepo. Bukan masalah watak Alina yang suka ingin tahu tapi Ariel takut jawaban Bri kemudian akan menambah daftar kekecewaan dalam otaknya.
"Ariel tuh gak pernah pacaran, walau dia bandel, dia gak pernah pacaran. Selama ini ia gak pernah bawa cewek ke rumah jadi bisa dipastiin bahwa cuma kamulah cewek yang saat ini lagi digandrungi sama anak Tante," jelas Alina sembari melirik ke arah Ariel.
Ariel menghela napas, ia menggeleng lalu menepuk jidatnya penuh rasa malu. Duh, kenapa mamanya justru cerita soal kejombloannya yang akut sih?! Kan Ariel jadi tambah malu.
"Dahlah Ma jangan diterusin! Ariel jadi malu sama Bri," desah Ariel merajuk membuat senyum Rudy Van Rooy mengembang lucu.
"Sayang, jika kau merajuk, Mamamu akan semakin gencar. Apa kau lupa bagaimana watak mamamu?!" ucap Rudy Van Rooy dengan logat bahasa indonesia yang lancar.
Alina tersenyum melihat wajah putranya semakin frustasi, ia tahu Ariel tak punya cukup keberanian untuk menunjukkan perasaannya 100% jadi tugasnya disini hanya membantu Ariel untuk meyakinkan Brighid. Ya, termasuk menceritakan kejombloannya juga. Haha ....
"Tante, saya ..., Ehm ..., maaf, sudah sore sepertinya saya harus segera pulang. Saya takut ntar dicariin mama soalnya tadi belum kasih tau kalo mau main ke sini," ucap Bri mengalihkan pembicaraan seraya melirik jam tangan yang ia pake di tangan kiri.
"Wah sayang sekali, padahal Tante pengen ajak kamu makan bareng loh. Ehm, Tante telponin mama kamu ya, Tante minta ijin sama mama kamu biar dibolehin makan di sini ya?"
"Tapi Tante ...."
"Iya, gak papa ntar biar Tante bilang sama mama kamu kalo kamu ...."
"Udah Ma jangan dipaksain, biar lain kali Bri datang lagi dan bisa makan di sini." Rudy Van Rooy kini angkat bicara.
Alina mengalihkan tatap ke arah suaminya dengan wajah kecewa. Rudy tersenyum lalu mengangguk guna meyakinkan.
"Ya udah, kamu hati-hati ya. Tapi inget loh sering-sering mampir ya," ucap Alina lalu memeluk Bri dengan erat seperti putrinya sendiri.
"I ... Iya Tante," jawab Bri terbata sembari membalas pelukan mama Ariel.
Ariel kembali menghela napas, akhirnya drama mamanya berakhir sudah. Alina memang sering berlebihan terlebih pada anak cewek. Seperti yang ia tahu, mamanya sangat menginginkan anak cewek jadi bisa dibayangin kan bagaimana reaksi Alina ketika mendapati Ariel membawa cewek ke rumah?!
Ariel masih inget pas waktu terakhir kali bawa temen cewek ke rumah. Kala itu dia pas umur 12 tahun. Saat bawa temen cewek ke rumah, Alina girang banget. Ia memperlakukan temen cewek anaknya dengan spesial hingga menahannya di rumah seharian. Alhasil, si temen cewek kabur dan gak berani lagi main ke rumah.
****
Suasana sore yang mulai teduh dimanfaatkan oleh Luna untuk bertandang ke kediaman Herman Santoso. Setelah peristiwa perusakan gitar tempo hari, Luna memilih berdiam diri dalam rumah dan menahan diri untuk tidak menemui pujaan hatinya.
Baru kali ini Luna memberanikan diri untuk pergi ke rumah itu hanya untuk sekadar berpamitan karena ia akan segera kembali ke Singapura guna bersekolah.
Mengetuk pintu dengan ragu, akhirnya Luna bisa bertemu dengan Rheino Devgantara. Ketika dua pasang bola mata itu bertemu, ada perasaan canggung diantara mereka berdua.
"Ada apa?" tanya Rheino dengan dingin seraya keluar dari dalam rumah.
Luna menundukkan kepala, kedua jarinya tangannya saling bertaut dengan resah. "Aku minta maaf soal kejadian tempo hari, aku tidak tahu jika kedatanganku begitu mengganggu hidupmu. Aku terlalu menyukaimu sehingga aku tak begitu peduli dengan perasaanmu. Sekali lagi maafkan aku."
"Gak apa. Aku juga minta maaf soal tempo hari. Mungkin aku terlalu keras padamu waktu itu," aku Rheino pelan dengan mimik wajah bersalah.
Kedua saling terdiam cukup lama hingga akhirnya Luna memberanikan bicara untuk yang terakhir kalinya.
"Rhein, aku mau balik ke Singapura nanti malem. Aku harap kita masih bisa jadi tetangga dan sebagai seorang temen. Aku juga berharap kamu bisa nyusul kuliah ke Singapura bareng aku. Untuk yang terakhir kali, boleh nggak aku peluk kamu?" pinta Luna dengan wajah memerah, jantungnya berdebar hebat ketika ia mengungkapkan keinginannya.
Rheino terdiam lama, ia terpaku. Pemuda itu gundah dalam memutuskan, haruskah ia memeluk Luna? Atau, sebaiknya jangan?!
****
"Maafin mamaku ya, dia mungkin agak posesif sama anak cewek. Taulah dia pengen punya anak cewek tapi sampe sekarang belum bisa punya anak cewek," ujar Ariel di dalam mobil, menyampaikan rasa tidak nyamannya akibat perlakuan Alina terhadap Bri.
"Gak papa, aku ngerti kok." Bri berkata biasa, ia menatap jalanan yang kini berbelok menuju ke halaman rumahnya.
Bola mata Bri membulat ketika melihat Luna dan Rheino saling bertemu. Rasa kesal dalam hati Brighid kembali membuncah hebat. Ia meminta Ariel untuk memarkir mobil di luar rumah dan bisa leluasa melihat interaksi Rheino dengan Luna.
Brighid turun dari mobil dengan wajah memerah, hatinya berdebar tak keruan ketika dengan gamblang ia melihat Rheino memeluk Luna tepat di depan bola matanya.
Pelukan itu cukup lama membuat sensasi pedih dalam hati Bri semakin menjadi-jadi. Gadis itu menahan tangis, ia malu jika Ariel tahu ia menangis lagi hanya karena si Rheino sialan itu.
"Bri, kamu nggak papa 'kan?" tanya Ariel pelan ketika melihat wajah Brighid sudah memerah bak tomat masak.
Brighid mengepalkan tangannya kuat-kuat, ia menahan diri sekuat tenaga. Di bola matanya tampak Rheino tersenyum lembut pada Luna, plus belaian yang diberikan Rheino di rambut pirang Luna membuat Bri beranggapan bahwa semuanya sama seperti dugaannya. Rheino benar-benar terkutuk!
Jika pemuda itu benar-benar mencintai Bri, ia tidak perlu memeluk cewek lain di hadapannya seperti itu. Lalu jika Rheino memang udah gak punya rasa, kenapa ia harus pukul Ariel sehebat itu? Kenapa Rheino seperti itu?!
"Riel ...."
"Ya."
"Kamu mau gak jadi pacar aku? Aku udah lelah. Sangat lelah."
**********////********************
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top