23. Sidang kedua


23. Sidang kedua

*****

Rheino diantar pulang oleh salah satu teman sekelasnya. Motor matic miliknya dititip oleh penjaga sekolah. Teman pemuda itu berjanji akan menjemput Rheino besok. Ketika memencet bel pagar, si penjaga rumah datang tergopoh-gopoh menyambut si anak pemilik rumah.

Wajah laki-laki tua itu tampak khawatir. "Den kenapa?"

Rheino menggelengkan kepalanya. "Engak kenapa-napa," kilah Rheino. Dia terus berjalan hingga seorang pria paruh baya sudah berdiri di muka pintu. Rheino memperlambat jalannya. Dari raut wajah ayahnya memperlihatnya aura dingin.

"Rhei, a-aku pulang dulu, ya."

Rheino hanya mengangguk. "Terima kasih sudah mengantarku pulang."

"Sa-saya pamit dulu, Om."

Om Herman tidak bergeming. Manik hitamnya terus menatap pada sosok pemuda. "Masuk," sahutnya dingin.

"Rheino hanya menunduk dan langsung masuk ke dalam rumah. Di ruang tengah Bu Lisha menyambut dirinya dengan raut wajah khawatir.

"Nak, kamu kenapa jadi begini?"

Baru saja Rheino membuka mulutnya sang ayah sudah menjawab, "Papa ingin bicara denganmu."

Dengan pelan Bu Lisha berusaha menengahi antara ayah dan anak. "Pa, apa ga sebaiknya nanti saja bicara ama Rheino?"

"Tidak!," Sahut papa Herman tegas. Aku ingin bicara sekarang juga!"

Mampus aku, gumam Rheino dalam hati. Dia sudah menduga papanya bakal marah besar. Cepat-cepat masuk ke kamar, menyambar handuk, dan menuju ke kamar mandi. Rheino tidak menggubris suara klakson dari luar. Dia sudah tahu itu Bri diantar oleh 'makhkuk luar angkasa'.

"Bodo amat," desis Rheino.

Bri melangkah masuk ke dalam. Gadis itu sudah disambut berbagai pertanyaan dari mama nya  begitu pun papa Herman. Mereka bernapas lega Bri baik-baik saja, tapi tetap saja akan di 'sidang' setelah makan malam.

Bri duduk di hadapan Mama Lisha dan Papa Herman. Sekarang mereka menunggu pemuda yang sedari tadi belum muncul di ruang tengah. Makan malam tadi hening sekali. Tidak ada canda tawa di meja makan. Bri rindu akan semua itu. Andai saja Rheino tidak bersikap posesif dan andai saja Bri tidak cinta tentu tidak akan seperti ini, tapi mau sampai kapan?

Bri duduk gelisah di meja bundar. Sesekali kedua bola matanya melirik Papa Herman. Lalu ke mama Lisha. Bri tidak suka ini. Terdengar pintu kamar Rheino terbuka. Langkahnya yang berat berjalan menuruni tangga. Begitu sampai di ruang tengah dia berjalan perlahan lalu duduk di sebelah Bri. Rheino melirik gadis di sampingnya.

"Papa ingin bicara. Ini mengenai kalian berdua. Papa harap kalian jujur," tegas papa Rheino.

Rheino dan Bri mengangguk.

"Sebenarnya kalian punya hubungan apa?" Tanpa basa basi papa Rheino langsung menuju pokok pembicaraan.

Alangkah terkejutnya mereka berdua. Bola mata Bri membulat. Rheino tak kalah terkejut. Kedua remaja itu bungkam. Tidak berani bersuara.

"Kenapa diam? Ayo jawab."

Bri tetap diam.

"Rheino, jawab papa!"

Rheino yang sedari tadi menunduk kini mengangkat kepala menatap ayah yang disayangi nya. Berat sekali ingin mengatakan hal sebenarnya.

"Tidak menjawab?" pria itu kembali mendesah. "Baiklah, papa yang menjawab. Papa dan ibumu dipanggil ke guru BP. Kamu meninju anak  pemasok supply bahan makanan ke toko papa. Hanya gara-gara dia menyatakan cinta pada Bri. Papa heran sama kamu, kenapa kamu yang marah? Kamu tak senang sama dia?"

Lidah Rheino kelu. Dia sudah tahu arah pembicaraan papanya. Percuma saja disembunyikan. Ikan busuk pun akan tercium juga. Pemuda bertubuh jangkung itu bimbang, apakah jujur atau tidak. Namun, mau sampai kapan akan begini?

"Ariel memang menyukai Bri, Pa."

Papa Herman kembali menghela napas. "Lalu kenapa Ariel diserang?"

"Karena dia lebay, Pa," tukas Rheino.

Papa Herman menggeleng, bibirnya menyunggingkan senyum. "Bukan, bukan itu. Pasti ada penyebab hal lain yang membuatmu meninjunya seperti orang kesetanan. Kamu tahu? Kamu telah membuat malu Papa di hadapan papanya Ariel."

Papa Herman menyesap teh tawar hangat. Setelah itu melanjutkan perkataannya. "Papa curiga, kalian berdua ada hubungan istimewa. Waktu kamu membentak Luna, Papa sudah punya firasat tidak enak sama kamu, Rheino."

Bri terhenyak. Dadanya berdegup kencang.  Wajahnya semakin pucat. Bagaimana ini?

Rheino pun tak kalah terkejut. Dia menggeleng cepat. "Tidak, Pa, tidak."

"Papa punya saksi, yaitu teman Bri. Apa kamu menyukai gadis di sebelahmu, Rheino?"

Mama Lisha syok mendengar perkataan sang suami. Tanpa sadar wanita ayu itu memegang dadanya. "Bri, benarkah itu, Nak?"

Bibir Bri masih terkunci. Gadis itu semakin dalam menunduk tidak berani menatap ibunya.

"Bri," ulang Mama Lisha.

"Iya, Ma," sahut nya pelan.

"Iya apa?" desak sang mama.

"Bri, mama ingin kamu jujur!" nada suara mama Lisha mulai meninggi.

"Iya, Ma. Kami dulu pacaran."

Mama Lisha menghempaskan tubuhnya. Dadanya turun naik. Papa Herman dengan sigap memegang bahu sang istri dan meninggalkan acara 'sidang' tersebut menuju kamar.

Rheino mengacak rambutnya. "Argh."

Bri masih duduk di sebelah Rheino. Tanpa sadar air matanya jatuh membasahi pipi. Di satu sisi dia lega, namun sedih. Bri tidak bisa hidup tenang kalau terus-terusan seperti ini.  Mau sampai kapan?

"Bri," panggi Rheino.

Gadis itu beranjak dari kursi hendak meninggalkan Rheino namun pergelangan tangan dipegang oleh laki-laki itu.

"Lepaskan aku," ucap Bri pelan.

"Bri, apa maksudmu tadi?"

"Tadi sudah jelas kan? Itu kan yang kamu mau? Mau sampai kapan kita begini? Harusnya kita sama-sama merelakan. Sama-sama ikhlas. Nyatanya kita sudah membuat kedua orang tua kita kecewa."

"Bri, maksudku ...."

"Mulai sekarang, tolong lepaskan aku. Please ...."

Bri menghentakkan pergelangan tangan dengan kasar menaiki tangga menuju kamar. Meninggalkan Rheino seorang diri di meja bundar.

"Sial," desisnya. Kenapa jadi begini?

Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Rheino beranjak dari ruang tengah. Ketika melewati kamar utama sayup-sayup dia mendengar suara wanita yang kini menjadi ibunya. Kedua bola matanya membulat dan tangan kanan menutup mulutnya. Rheino menaiki tangga dengan langkah gontai.

Rheino memandang langit-langit kamar. Ini semua salahnya. Kalau saja dia bisa menahan emosi tentu tidak akan seperti ini. Rasanya sedih sekali mendengar kalimat ibu tirinya.

Rheino benar-benar sangat bersalah. Wanita itu sangat baik padanya. Mengurus ayah dan dirinya. Tahu makanan kesukaan dan tidak disukai.  Kurang apalagi? Mama tirinya jago memasak. Dia belum pernah melihat wajah sang ayah begitu bahagia dan tenang. Namun, dia merasa belum bisa melepas Bri dengan sukarela.

Rheino dihadapi kebimbangan. Apakah dia siap menerima semua ini?  Rasanya jadi malas ke sekolah. Percuma saja, toh Rheino di diskors tidak boleh ke sekolah sebelum dia minta maaf sama si 'benalu' itu. 


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top