22. Tidak Bertegur Sapa
22. Tidak Bertegur Sapa
*****
Rheino dan Ariel hanya menunduk dalam mendengar 'ceramah' panjang dari Guru BP. Wajah keduanya dipenuhi lebam dan memar. Hidung Ariel berdarah, sibuk mengelap cairan merah yang tak henti-henti mengucur deras. Sedangkan Rheino meringis menahan sakit akibat tonjokan di perutnya. Manik hitam Rheino melirik ke luar jendela, para siswa berkumpul melihat mereka di sidang oleh si "Killer".
"Apa-apaan kalian ini? Kenapa sampe berantem? Kalian bukan anak kecil lagi, sebentar lagi kalian udah mau lulus tahu!" Raung Pak Malik. Suaranya yang berat tambah keras hingga terdengar dari luar.
"Dia yang duluan menyerang saya, Pak!" tunjuk Ariel sambil melirik tajam ke arah Rheino.
"Dia yang duluan, Pak. Apaan tuh tadi? Lebay!" Sahut Rheino tak kalah sengit.
Ariel membalikkan tubuh ke samping menatap tajam Rheino. "Ho, apa ga kebalik? Justru kau lah yang lebay," sindir pria keturuan bule itu. "Menyerangku tiba-tiba disaat aku menyatakan cinta ke Bri." Ariel tetap tenang meskipun dadanya bergemuruh ingin menonjok wajah Rheino sekali lagi.
Rheino tiba-tiba bangkit dari kursi dan siap menyerang Ariel. "Kaauu!!" raungnya keras.
Pak Malik sedari tadi menyimak pembicaraan kedua pemuda tampan itu menggebrak meja. "Diam kalian!!! Pria paruh baya beranjak dari kursi menuju pintu. Dia menunjuk salah satu siswi tak jauh berdiri di muka pintu. "Panggil Bri cepat!!!"
Kemudian dia berjalan lagi dan duduk di kursi menatap dua pemuda tampan secara bergantian. Tatapannya tetap tajam. "Sekali lagi kalian bicara, bapak tidak segan-segan menghukum kalian," tegas Pak Malik.
Ketukan pintu terdengar. Masuk!"
"Permisi, Pak Malik," sapa Bri mengangguk sopan dan takut-takut.
"Duduk di sebelah Ariel," perintah Pak Malik.
Menurut, Bri menyeret kursi dan duduk di sebelah Ariel. Gadis itu sangat khawatir melihat Ariel terus mengelap noda darah di hidungnya. "Kamu enggak apa-apa?" bisik gadis itu khawatir.
Ariel menggeleng pelan berusaha tetap tersenyum pada gadis pujaan hati. "Aku baik-baik saja," bisik Ariel.
Bri menghela napas. Apaan baik-baik saja? Ariel terluka sangat parah. Seketika saja Bri merasa sangat bersalah pada Ariel. Gadis manis itu berusaha menahan tangis agar tidak jatuh di pipi.
"Bri, jelaskan pada bapak apa yang terjadi sehingga mereka ini berkelahi." Pak Malik menatap tajam sehingga Bri mau tak mau menatap bola mata hitam pria paruh baya namun disegani seantero sekolah. Siapa yang tidak kenal Guru BP yang terkenal galak ini?
Bri menjelaskan kejadian di lapangan. Ariel menyatakan cinta lalu datanglah Rheino menyerang dan meninju Ariel secara brutal. Pak Malik kembali menatap tajam Rheino. Pemuda itu tidak berani, hanya diam menunduk. Bri mengatakan banyak saksi yang melihat Rheino merangsek masuk dan meninju Ariel. Pak Malik memanggil beberapa saksi dan menyuruh masuk ke dalam ruang BP.
"Begitulah ceritanya, Pak." Tangan Bri meremas ujung rok abu-abunya. Gadis cantik itu menatap takut-takut guru BP nya.
Wajah Pak Malik memerah. "Benarkah itu, Rheino?" tanya si pria paruh baya itu geram.
Rheino menunduk.
"Jawab!"
Rheino mengangkat wajahnya yang tampan. "Benar, Pak," ujarnya lirih. Pemuda itu tidak bisa mengelak. Memang dia lah yang salah. Cemburu telah merasuki jiwanya.
"Hari ini juga bapak akan menelpon dan memanggil orang tua kalian masing-masing. Bapak tidak mau tahu!" tegasnya.
Bri, Ariel, dan Rheino serentak memandang wajah laki-laki tua namun masih gagah. Air muka ketiga siswa itu berubah jadi panik. Celaka.
Tak lama Pak Malik memerintahkan Bri merawat Ariel di klinik kesehatan dengan syarat Rheino tidak boleh mendekati Ariel agar tidak terjadi kehebohan lagi.
Di ruang kesehatan Bri mengobati Ariel. Dengan lembut gadis itu mengelap darah mulai mengering di hidung bangir Ariel. Dari dekat sangat jelas bahwa pemuda bule ini sangat lah tampan. Rahang tegas, hidung mancung, mata cokelat terang, rambut agak pirang, dan kulitnya tidak terlalu putih. Tanpa sadar wajah Bri memerah.
Ariel yang sedari tadi terus memperhatikan gerak gerik Bri. Bibirnya menyunggingkan senyum walau sesekali meringis akibat pukulan Rheino. Entah kenapa sejak kenal dengan Bri gaya hidup Ariel berubah perlahan namun pasti. Ariel yang semula sering pulang malam karena nongkrong di rumah teman-temannya. Kini tiap pulang sekolah 'kegiatan rutin' tersebut mulai hilang dan sering berada di rumah. Ariel tahu kedua orang tuanya terkejut dan senang melihat perubahan sikap Ariel.
Rheino terus memperhatikan Bri mengobati Rheino. Akibat kecemburuannya membabi buta Bri sama sekali tidak melihat dirinya. Pemuda berambut hitam itu sedang diobati oleh petugas kesehatan. Alangkah kecewanya dia melihat Bri memapah Ariel keluar ruangan.
Rheino menyadari ini semua kesalahannya. Sikap posesifnya mengakibatkan kejadian fatal. Gadis yang dia cinta sama sekali tidak menghampiri atau menanyakan keadaan dirinya. Rheino sangat kecewa.
Tak lama setelah pengobatan selesai dan tak lupa mengucapkan terima kasih kepada petugas yang merawatnya pemuda itu dipapah oleh kedua sobatnya meninggalkan ruang kesehatan.
Teman-teman Rheino bercakap-cakap dan menghibur pemuda yang habis babak belur. Sesekali bercanda dan dijawab ketus oleh Rheino. Ketika hampir melewati ruang BP, langkah nya terhenti.
Kedua orang tua nya datang dengan rauh wajah khawatir. Di susul kedatangan pria berwajah bule dan wanita disebelah laki-laki itu. Rheino menduga, pasti mereka orang tua nya Ariel.
Rheino belum pernah bertemu ayahnya Ariel. Dan sekarang dia sudah melihat dengan matanya sendiri. Pria inilah yang menyuplai bahan-bahan kue di minimarket milik ayahnya. Wajahnya mirip sekali dengan Ariel.
"Itu papa nya Ariel. Wong bule toh," bisik salah satu temannya. "Tinggi, gede, dan kaya raya katanya."
"Wah, cakep ya papanya Ariel. Pantesan Ariel nurun bapaknya," timpal teman Reino.
Rheino kembali terpaku. Rasanya dia kalah telak dengan Ariel. Walau Ariel kadang suka norak, tapi tidak pernah menunjukkan bahwa dia anak keluarga berada. Pakaiannya juga sederhana, dan Rheino menilai bapaknya pasti begitu.
Bel berdering tanda jam pelajaran pun dimulai. Ketika memasuki kelas wali kelas mengizinkan Rheino tidak mengikuti kelasnya karena luka seperti itu tidak mungkin. Menangguk, Rheino akhirnya menuju kantin dengan tertatih tatih.
Di kantin dia memesan soto betawi dan nasi. Tak lupa dia meminta air hangat. Pak Idin mengangguk dan menyiapkan pesanan Rheino.
"Bu Idin," sapa Rheino.
Bu Idin menoleh sambil mengelap meja. "Den Rheino." Wajah wanita bertubuh gemuk panik. "Den kenapa? Kok wajahnya memar sana sini?"
Bu Idin membantu Rheino duduk di kursi. Ruang kanti hening. Tak masalah baginya dia suka yang seperti ini.
"Ah, biasalah Bu. Pria lawan pria, aduduh ...." ringis Rheino memegang bibirnya.
"Oya adikmu gimana?" tanya Bu Idin. Wanita itu menyodorkan segelas air hangat.
Mendengar kata 'adik' hati Rheino jadi perih. Entah kenapa dia sedih, berusaha dan sekuat tenaga untuk tegar. Semua ini adalah salahnya.
*********
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top