17. Keputusan Yang Sulit
*****
Bri sibuk mengutak atik ponsel. Lagu rock era '90 an tak membuat hatinya tenang, dadanya masih kembang kempis menahan cemburu. Jemarinya menggeser layar nomer kontak dituju.
"Sial, kenapa di saat seperti ini si 'mak lampir' itu datang kerumah sih?" gerutunya. Gadis berlesung pipi itu tak habis pikir kenapa Rheino tak cerita ada cewek tetangga sebelah kepada dirinya.
Mencurigakan.
Bri menepuk keningnya. "Telpon dia saja deh," gumam gadis berambut panjang sepunggung. Dia berharap seseorang itu menjawab teleponnya.
"Halo?"
Bri terkejut tak menyangka orang itu mengangkat teleponnya. "A-Ariel? Kamu ada di mana?"
"Tumben kamu nelpon? Kenapa Bri?" Cowok bule bernama Ariel berusaha menahan kekesalan terhadap gadis itu karena tempo hari telah menolaknya. Dan sekarang menelpon? Tumben.
"Aku mau jalan-jalan. Bisa temani aku?" Bri berharap cowok bule itu mau menemani dirinya yang sudah mumet. Bri mendengar Ariel menghela napas.
"Baiklah. Tunggu aku ya."
"Iya. Daah." Bri buru-buru keluar dari kamar menuju kamar mandi. Dia tidak mau cowok nyebelin namun sebenarnya baik itu menunggu terlalu lama.
Sementara itu di meja makan, Luna terus berceloteh dan hal tersebut membuat kepala Rheino sakit. Ini orang ngomong apa sih? Ga pake titik koma.
"Rhei, kamu denger ga sih?" Luna merajuk.
Rheino memutar kedua matanya bosan. "Iya denger."
"Terus kenapa kok ngomongnya gitu?" cecar gadis bertubuh langsing merengut manja.
Mama Lisha menghampiri kedua sejoli sedang duduk di meja makan. "Wah kalian sangat akrab ya?"
"Iya dong, tante," jawab Luna tersipu malu.
Bagi Rheino Luna teman masa kecilnya tidak berubah, masih saja kekanakan. Terlalu percaya diri malahan, tapi kalau dilihat-lihat Luna makin cantik saja.
"Oh ya nak Luna, bagaimana hari ini temani tante memasak?" tanya mama Lisha. Senyum di wajah nan ayu masih terpancar jelas kecantikannya.
Luma mengangguk senang. "Tentu saja, tante. Luna mau kok. Luna bisa masak."
Mata bundar milik mama Lisha membulat. "Wah benarkah? Bisa masak apa nih?" tanya mama lisha ingin tahu.
"Luna bisa masak yang gampang aja kok tante. Kalo tante kan udah jago, Luna mah apa atuh? Remahan rengginang," canda nya.
Mama Lisha tertawa mendengar tutur kata Luna. Sedangkan Rheino memalingkan wajahnya antara menahan malu dan tertawa di tahan.
"Enggak apa-apa. Tante seneng kok. Yuk kita ke dapur."
Menurut, Luna beranjak dari kursi meja makan membantu mama Lisha mempersiapkan bahan-bahan untuk makan siang nanti.
Rheino membereskan peralatan meja makan dan ditaruh ke bak piring. Tak lupa dia mengelap meeja makan agar bersih dan wangi.
"Rheino."
Pemuda berbahu lebar itu menoleh. "Ya, Pa?"
"Temani papa ngobrol di teras samping."
Rheino terpaku. Tumben, kayaknya ada sesuatu hal yang ingin dibicarakan. Hatinya berdegup kencang bertanya-tanya ada apakah gerangan.
"Baik, Pa."
Pintu kamar terbuka, harum parfum beraroma lembut menguar di tubuh Bri. Wajahnya segar dengan polesan make up tipis. T-shirt putih bergambar Blackpink dipadu rok mini belel di atas lutut. Dipadukan sneakers putih membuat penampilannya semakin sempurna.
Suara klakson dari luar pagar mempercepat langkah menuju pintu. Ariel sudah tiba. "Ma, Pa, Bri pergi dulu."
"Ya, hati-hati," sahut Papa Herman.
"Kamu pergi ama siapa?" tanya Rheino ingin tahu.
"Dengan Ariel," jawab Bri ketus.
"Bri, jangan terlalu malam pulangnya," pesan mamanya.
Luna tiba-tiba muncul. "Hai calon adik ipar, ingat-ingat pesan mama," tukas Luna dengan gata centil.
Bri merinding melihat tingkahnya yang lebay.
"Selamat siang Om dan Tante. Izinkan saya membawa anak gadis paling cantik sedunia." Ariel datang menghampiri kedua orangtua Bri dan mencium tangan satu persatu kecuali Luna dan Rheino.
"Hai, kenalin aku Luna tetangga sebelah Rheino." Luna mengulurkan tangannya namun hanya dibalas dengan senyuman Ariel.
"Loh kok gitu? Aku ini calon nya Rheino," sahut Luna tak senang dirinya diabaikan oleh cowok keturunan bule ini.
"Maaf, aku ga kenal," sahut Ariel cuek.
Melihat itu Bri mengulum senyum. Bisa juga ni si Ariel. Bri melingkarkan lengan Ariel. "Bye, Bri berangkat dulu."
"Mereka makin dekat saja ya, Ma," ujar papa Herman senang bukan kepalang. Wajar lah senang, akhir-akhir ini Papa nya Ariel sering memberikan supply aneka bahan makanan dari luar negeri. Toko nya sering didatangi oleh berbagai konsumen.
"Iya, Pa," timpal mama Lisha tersenyum senang. "Ohya Luna, setelah masak kita bikin kue yuk."
Mata Luna berbinar-binar dan mengangguk senang. "Tentu saja, tante." Demi apapun Luna harus dekat ama calon mertuanya. Termasuk belajar memasak karena Luna tahu Rheino suka sama cewek pintar masak. Luna tak sabar lagi.
Rheino diam termenung di kursi teras samping. Kemarin dia mengakhiri hubungannya dengan Bri. Namun kenapa hatinya tidak rela melihat gadis yang dia cinta bergandengan dengan cowok yang jelas-jelas rivalnya di sekolah. Kenapa harus dia?
"Rheino."
Suara berat papanya membuyarkan lamunan si pemuda. "Ya Pa?"
Papa Herman mengusap jenggot tipis yang tumbuh di dagu. "Papa sudah memikirkan jauh-jauh hari untuk masa depan kamu.'
Rheino menunggu perkataan papanya. Dia masih menduga kemana arah pembicaraan ini. Jadi pemuda itu memutuskan diam saja.
"Sebentar lagi kamu akan lulus sma. Papa minta belajarlah yang baik, jangan main-main. Papa mencari uang supaya kamu bisa sekolah ke jenjang yang lebih tinggi."
Pemuda dengan tubuh atletis tetap diam tidak mau bicara.
"Selepas lulus sma, papa ingin kamu sekolah di luar negeri bareng ama Luna."
Mata hitam Rheino membulat. Apa? Kuliah di luar negeri? Bagaimana dengan Bri? Apakah dia ikut juga?
"Kamu tahu kan, akhir-akhir ini kesehatan papa agak menurun. Papa ingin kamu yang meneruskan usaha yang sudah papa rintis dari nol hingga sekarang."
Mata Rheino agak meredup. Dia ingat betul papanya usaha mati-matian agar anaknya bisa sekolah yang mahal. Masak pun enggak sempat pada akhirnya memakai jasa catering tiap hari.
Hatinya bimbang. Di satu sisi dia tahu papa yang sangat dia cintai ingin pensiun dan hidup tenang. Di samping itu pula memikirkan Bri.
Tanpa sadar beban Rheino semakin berat. Tanggung jawabnya kian besar.
Selama ini dia terlalu fokus sama Bri. Mau tak mau memikirkan masa depannya.
Rheino menatap wajah laki-laki tua namun masih menyimpan aura gagahnya. Pemuda itu kini tahu mata papanya memandang penuh harapan . Telapak tangan pria paruh baya menepuk bahu kanan Rheino.
Kini pundak Rheino semakin berat. Papanya menaruh harapan besar untuknya. Dan dia tidak ingin membuat ayahmya kecewa. Rheino mengangguk mantap.
"Rhei akan meneruskan usaha papa. Rhei juga akan belajar dengan giat. Papa jangan khawatir."
Papa Herman tersenyum tulus. "Kamu pasti bisa, Rheino."
****************
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top