16. Tetangga Sebelah
***
Kejadian tadi malam sungguh diluar kuasa keduanya, meskipun Rheino dan Brighid sepakat untuk memutus tali percintaan mereka, pagi ini sisa-sisa cinta itu pun masih ada di pelupuk mata mereka. Meski memaksa diam dan pura-pura tak terjadi apa-apa, kejadian tadi malam memang sangat membekas di hati keduanya.
Hari ini minggu yang cerah, kediaman Herman Santoso yang semula sunyi senyap mendadak ramai ketika seorang tamu datang berkunjung ke rumah mereka. Menekan bel rumah dengan keras, seorang gadis muda dengan rambut dicat warna pirang tengah membawa sekardus susu kotak rasa stroberi dengan senyum khas di wajahnya.
Brighid yang keluar dari kamar dengan wajah kusut dan setengah menguap, bergegas menuju pintu untuk membukakan pintu untuk tamu kurang ajar yang telah berani bertamu sepagi ini. Sungguh berisik sekali.
"Biar aku aja Ma," ucap Bri ketika mamanya hendak menghampiri pintu. Wanita itu menoleh pada Bri dengan wajah setengah heran, ia mengangguk perlahan dan kembali pada kompornya yang masih menyala.
Brighid membuka pintu, ia melihat seorang gadis muda tengah tersenyum lebar padanya lalu melambai dengan tangan kiri ke arah Brighid.
"Hai, aku anak tetangga sebelah. Ehm, kamu pasti anak tirinya Papa Herman ya? Berarti kamu adiknya Devgan dong?" celotehnya dengan penuh bersemangat.
Bri mengerutkan dahi, ia tidak mengerti dengan apa yang dimaksud gadis tersebut? Devgan? Siapa Devgan? Apa dia salah bertamu pagi ini?
"Siapa Sayang?" Mama Lisha menghampiri karena penasaran Brighid tak kunjung kembali ke dalam rumah dan terlalu lama berdiri di ambang pintu rumah.
Bri tak menjawab, Mama Lisha turut berdiri di samping anak gadisnya. Mereka berdua kini menatap tamu asing mereka yang rada sedikit aneh.
"Hai Tante, perkenalkan saya Luna, anak tetangga sebelah. Tante pasti istri Papa Herman ya? Tante, aku fans beratnya Rheino Devgan. Ehm, apa Rheino ada di rumah?" ucapnya sekali lagi dengan wajah bersemangat. Sesekali mata gadis itu mengedar ke dalam rumah, mencari sosok Rheino di sana.
Barulah Bri dan Mama Lisha tahu asal-usul gadis ini, rupanya dia gadis yang diceritakan Papa Herman beberapa waktu lalu.
"Oh, kamu ya?! Maaf, Tante belum pernah liat kamu tapi suami Tante sudah pernah cerita soal kamu. Termasuk ..., kamu yang suka deketin anak tiri Tante," ujar Mama Lisha dengan suara setengah berbisik membuat wajah si Luna merebak merah.
"Ah, Tante bisa aja." Luna tersipu, ia mendekap kotak susu stroberi di dadanya makin erat.
Mama Lisha tergelak melihat gadis imut di depannya. Berbeda dengan Mama, Bri terlihat bete akan tingkah mereka. Tak ingin berkomentar, Bri memilih putar haluan dan kembali ke kamarnya.
"Ayo masuk Nak, sarapan sama kami yuk!" ajak Mama Lisha dengan ramah. Luna berbinar, ia terlihat begitu semringah lalu masuk ke dalam rumah.
"Makasih Tante. Wah, Papa Herman beruntung memiliki istri seperti Tante, udah baik, ramah, penyayang lagi. Tante, boleh kan aku berharap jadi mantu Tante?" goda Luna lalu duduk di kursi ruang makan. Tak lupa gadis itu meletakkan kardusnya di atas meja.
"Ah, kamu ini bisa aja." Mama Lisha tersipu, ia kembali ke depan kompor guna memasak. Melihat Brighid beranjak kembali ke kamarnya, alis Mama Lisha naik sebelah.
"Sayang, bisa kamu panggil kakakmu? Ada Luna yang nyariin dia. Bantu Mama panggilin ya," perintah Mama pada Bri sebelum anak gadisnya lenyap dibalik pintu.
Brighid tak menjawab tapi instruksi mamanya tidak bisa ia abaikan begitu saja. Berjalan malas menuju ke kamar Rheino, Bri mengetuk pintu sedikit keras.
"Apa?" tanya Rheino sembari membuka pintu kamar. Rupanya pemuda itu habis mandi, rambutnya yang basah sesekali menetes membasahi bahu. Handuk berwarna maroon masih setia bertengger di tengkuknya.
"Tuh dicariin cewek," jawab Bri seraya menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.
"Cewek? Siapa?"
"Gak tahu. Minta pertanggungjawaban kali."
"Pertanggungjawaban?" ulang Rheino makin gak ngerti.
"Udah temuin aja. Gitu aja kok ribet," umpat Bri lalu beranjak pergi dari hadapan Rheino. Bayangan gadis itu hilang dibalik pintu, menyusul embusan napas panjang dari hidung Rheino.
Siapa yang dimaksud Bri barusan? Kenapa gadis itu kelihatan bete banget?
Rheino menggeleng lalu keluar dari kamar. Pemuda berkaos putih menuruni tangga, langkahnya terhenti ketika Luna beradu tatap dengannya. Lima detik kemudian ....
"Aaaaa .... Devgan Sayang," teriak Luna dengan girang. Gadis itu beranjak berdiri lalu berlari menghampiri Rheino di susunan anak tangga.
Tak lama kemudian gadis itu sudah menggelayut manja di tangan kiri Rheino, memeluknya dengan erat dan wajah yang berbinar semringah.
"Luna, kapan kamu datang?" tanya Rheino dengan nada canggung seraya turun dari tangga. Pemuda itu susah payah berjalan karena gadis yang menggelayuti lengannya terasa sedikit berat.
"Devgan, aku kangen sama kamu. Kamu gak kangen ya?" tebak Luna seraya menoel pipi Rheino membuat Rheino harus beberapa kali bergidik guna menghindari serangan tangan jahil Luna.
"Dalam rangka apa kamu pulang?" tanya Rheino sekali lagi membuat Luna cekikikan. Gadis itu lalu duduk di kursi ruang makan, atensinya penuh tertuju pada pemuda ganteng yang kini duduk di sampingnya.
"Aku kan udah bilang, aku kangen kamu. Masa iya aku kangen tapi aku nggak pulang?!" Luna lalu merangkul pundak Rheino dengan manja, bersamaan dengan itu Bri bisa menyaksikan bagaimana Luna memperlakukan Rheino.
Tanpa sadar Bri menggigit bibirnya dengan gemas, ia meremas pegangan tangga dengan kencang. Sesuatu yang aneh kini tengah bermain dengan hatinya.
"Rheino, aku udah kenalan loh sama Mama kamu. Mama kamu cantik ya," puji Luna seraya melirik ke arah Mama yang masih sibuk memasak.
Mama Lisha tersenyum lalu menggeleng, membiarkan kedua anak itu saling melepas kangen tanpa banyak berkomentar.
"Oh ya Rhein, aku udah nyalonin diri buat jadi mantu keluarga ini. Btw, gak papa kan?" celoteh Luna sekali lagi seraya menoel pipi Rheino.
Rheino yang meminum air putih di gelasnya langsung tersedak, ia kaget luar biasa akan keberanian Luna mengatakan hal itu pada keluarganya.
"Tuh ..., tuh kan!" Luna memperingatkan lalu mencabut beberapa tisu diatas meja guna membersihkan mulut, tangan, dan kaos Rheino yang basah.
"Kamu gak usah kaget gitu, napa? Biasa aja kali. Lagipula mamamu gak keberatan kok kalo aku jadi mantunya. Iya gak Ma?" Luna lalu melirik sekilas pada Mama Lisha yang hanya senyum-senyum aja.
Luna masih saja membantu Rheino membersihkan diri, terlihat begitu perhatian dan penuh cinta. Bri yang berdiri di atas anak tangga merasa udah gak mampu lagi buat liat, segera berbalik badan dan kembali ke dalam kamarnya.
Mengunci pintu, Bri segera memukul-mukul dadanya sedikit kencang. Napasnya naik turun tapi ia segera menyangkal jika ia sedang cemburu sekarang.
Brighid berjalan pelan menuju ke atas ranjang, sayup-sayup candaan Luna dan tawanya yang riang masih terdengar dan tembus ke dalam kamarnya. Mendadak Brighid merasa muak dengan gadis itu.
"Siapa dia? Dia bukan siapa-siapa!" ucap Bri pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan perasaannya yang begitu tak karuan. Tawa Luna kembali menembus kamarnya, membuat Bri merasa putus asa lalu buru-buru menyetel tape recorder yang ada di kamarnya.
Mendadak kamar Bri seperti kapal pecah, suara tape recorder yang melantunkan lagu rock era 90-an cukup menolong menyamarkan tawa Luna yang terdengar begitu horor. Persetan dengan papa Herman yang akan marah, masa bodo juga jika mama akan teriak-teriak gak jelas.
Mengempaskan tubuhnya di ranjang, Bri menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Terlintas di memorinya beberapa kenangan indah saat masih bersama Rheino dan keluarganya masih bahagia seperti dulu.
Memejamkan mata sejenak, tiba-tiba Bri bisa meneteskan air mata. Ia rindu kisah-kisah itu, rindu dimana setiap minggu pagi Rheino pasti akan mengajaknya pergi ke wahana dan bermain bersamanya hingga puas. Mencoba beberapa es krim dengan rasa baru, membaca beberapa buku gokil di toko buku, atau berjalan bergandengan di sepanjang trotoar kota.
Bri merindukan hal itu. Benar-benar rindu.
**********************************************
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top