15. Berakhir
****
"Bri ..., kamu nggak papa, Sayang?" tanya Mama Lisha di depan pintu kamar seraya mengetuk-ngetuk pintu dengan wajah tak kalah kalut.
Papa Herman menyusul di belakangnya, menyentuh pundak istrinya, Papa berusaha menenangkan hati Mama Lisha.
"Mas, Bri ..., Bri gak biasanya kayak gini," keluh Mama Lisha dengan bola mata mulai berkaca-kaca, wanita cantik itu menjatuhkan diri dalam pelukan suaminya.
"Sabar Sayang, mungkin Bri benar, ia butuh waktu untuk sendiri. Sebaiknya kita gak usah ganggu dia untuk saat ini," hibur Papa Herman seraya mengusap bahu istrinya dengan lembut.
Mama Lisha terdiam, menyusul suara isak tangis dari bibirnya. Sesekali ia menatap pintu kamar putrinya dengan tatapan tak rela. Wanita paruh baya itu tahu jelas bagaimana tabiat putrinya, ia takut jika keputusannya untuk mendapatkan satu anak lagi membuat Bri kecewa dan merasa marah terlebih selama ini Bri hidup sebagai anak tunggal yang selalu disayang.
Rheino perlahan datang menghampiri mama dan papa, wajahnya tak kalah cemas. Ia mengusap tengkuknya beberapa kali sebelum akhirnya ia mengucapkan beberapa patah kata pada papanya.
"Pah, biar aku yang bicara sama Brighid, semoga lewat aku dia bisa tenang dan menerima keputusan kalian. Bagaimanapun menambah anggota baru dalam sebuah keluarga adalah keputusan yang sangat berat untuk anggota keluarga yang lainnya," ucap Rheino perlahan, ia menatap papanya sekilas lalu menatap pintu kamar Brighid yang tertutup begitu rapat.
Mama Lisha menatap Rheino cukup dalam, sesekali wanita itu menatap suaminya sekilas. Menegakkan kepalanya dari pelukan sang suami, Mama Lisha menyentuh pundak Rheino dengan lembut.
"Rheino, apa kau juga merasa keberatan jika kami ingin memiliki anak?" Mama Lisha tiba-tiba bertanya, instingnya sebagai seorang ibu memang tidak bisa dibohongi.
Wajah Rheino memerah ketika mama tirinya menanyakan hal tersebut. Jauh dalam hati, ia bahkan mungkin lebih histeris daripada Brighid. Hanya saja ia seorang laki-laki, logika menahannya untuk tidak bersikap kekanak-kanakkan dan ini ..., percayalah! Begitu sangat menyakitkan.
"Jika kamu dan Bri keberatan maka kami bisa membatalkan niat kami untuk memiliki anak," lanjut Mama Lisha dengan nada lirih dan terdengar sangat kecewa.
"Bukan, bukan begitu Ma. Itu adalah hak kalian untuk menambah anak atau tidak hanya ..., hanya saja kalian terlalu mendadak mengabarkan hal ini. Tentu saja Bri merasa shock mendengarnya," jelas Rheino dengan wajah gugup, remaja itu kembali mengusap tengkuknya dengan gelisah.
Mama Lisha menatap suaminya dengan wajah amat bersalah, ia tertunduk sedih. Papa Herman merangkul pundaknya, memberi ketenangan pada istrinya agar wanita itu tabah dan tidak merasa sangat bersalah.
"Sebaiknya kalian beristirahat, aku akan berusaha bicara baik-baik sama Bri," ucap Rheino pelan. Pemuda itu berusaha meyakinkan orangtuanya meskipun a sendiri tidak yakin apakah ia bisa menenangkan Bri atau tidak.
"Ya, kami percaya sama kamu Rheino. Tolong bantu kami," ucap Papa Herman terdengar begitu serius.
Rheino menganggukkan kepala, ia tak sanggup menjanjikan apa-apa selain hanya menganggukkan kepala dan berharap jika cobaan ini segera berakhir dalam kehidupannya.
"Ayo Sayang kita istirahat," ajak Papa Herman seraya menuntun Mama Lisha untuk beranjak dari depan pintu kamar Brighid.
Rheino menghela napas panjang, ia menatap kepergian kedua orangtuanya dengan tatapan hampa. Kali ini jurus apa lagi yang bisa ia keluarkan untuk menghibur kesedihan hati Bri? Rheino tahu bagaimana perasaan Bri sekarang. Hancur, sudah pasti.
Menatap pintu kamar, Rheino terdiam cukup lama. Seakan mengumpulkan mantra sakti di seluruh penjuru dunia, Rheino bersiap untuk menebar keajaiban dalam kehidupan Brighid. Demi gadis itu, ia berusaha melupakan luka yang tertoreh dalam hatinya tadi siang. Ia tidak lupa tapi berusaha untuk pura-pura lupa. Bagaimanapun, Brighid adalah segalanya.
****
Setelah nyaris satu jam menghadapi tremor di tangannya, Bri akhirnya bisa menangis dengan luapan emosi yang meledak-ledak dalam hati. Rheino terduduk di sampingnya, sama-sama diam dan mereka hanya saling memandang satu sama lain.
Niat Rheino yang ingin menenangkan hati Bri akhirnya kandas juga. Ia hanya sanggup memandangi Bri dengan hati tak kalah hancur.
"Sekarang, kamu mau apa lagi? Jika kamu datang cuman buat hibur aku sebaiknya kamu keluar dari kamar ini dan tinggalin aku," ucap Bri diantara isak tangisnya yang pecah. Sesekali gadis itu menyeka air mata yang membanjiri pipi merahnya.
Rheino menarik napas, ia merasa kalah ketika Bri tahu apa makna kedatangannya ke kamar gadis itu. Perlahan Rheino menggeser duduknya, merapatkan tubuh ke samping Brighid lalu merangkul pundak gadis tersebut.
"Aku ..., aku benar-benar frustasi dengan hubungan ini. Aku putus asa, Rheino. Semakin aku berusaha untuk sabar dan menanti waktu yang tepat, semakin ke sini aku ..., aku merasa usahaku tuh cuma sia-sia. Aku lelah, aku lelah dengan semuanya." Brighid berkata pelan, menumpahkan segala kesedihan yang berusaha untuk ia pendam.
"Ketika aku berusaha untuk baik-baik aja, ketika aku berusaha untuk tersenyum diatas perihku, ketika aku berusaha untuk menghibur diri ..., kenapa? Kenapa hal kayak gini terus dan terus aja terjadi? Aku sudah cukup mengalah Rhein, udah cukup tapi ..., tapi kenapa Tuhan rasanya gak adil banget sama kita? Rhein apa aku salah jika aku bilang aku lelah? Apa aku salah jika aku mulai menyerah sama keadaan ini? Rhein, jawab aku! Kasih solusi, jangan diem aja!" Brighid kembali menangis, tangannya kini mengguncang dada Rheino.
Gadis itu menyadarkan lamunan Rheino yang melayang cukup jauh, ia terlalu hanyut hingga lupa bahwa kedatangannya kali ini seharusnya membuat Bri menjadi lebih baik dan bukan malah sebaliknya.
"Bri, maaf jika aku tidak bisa memberimu solusi jitu tapi inilah keadaan yang sebenarnya. Aku dan kamu, kita sama-sama tau hal apa yang menyenangkan untuk kedua orangtua kita. Meskipun kita sakit, kita sama-sama tau jika senyum orangtua kita adalah satu-satunya hal yang berharga. Aku gak punya keinginan lain selain menginginkan kamu bertahan sekali lagi dan tidak tumbang. Brighid, aku yakin kamu pasti bisa lalui cobaan yang satu ini," hibur Rheino sembari meremas jemari Brighid yang terasa begitu lembab dan dingin.
Brighid masih menangis, perlahan ia menggelengkan kepalanya dengan tatapan teramat frustasi. "Nggak, aku nggak bisa Rhein. Kayaknya kali ini aku bener-bener gak bisa."
"Bri ...."
"Please, jangan paksa aku lagi Rhein. Aku gak bisa berdiri lagi disaat kedua kakiku udah bener-bener pincang. Rhein, sebenernya aku gak pengen ngeluh tapi ..., dada ini ...." Brighid lalu memukul dadanya dengan sedikit keras. "Dada ini sakit banget, sakit. Rhein, aku udah gak mampu. Bener-bener gak mampu."
Rheino terdiam cukup lama, bola matanya menyaksikan begitu banyak air mata yang bercucuran di pipi kekasihnya. Melihat hal tersebut, Rheino tak sanggup lagi untuk berkata-kata. Ia tahu bahwa segala macam kata bijak tidak akan mampu menolong hati yang sedang patah. Begitupun dirinya, ia juga takkan sanggup berdiri jika posisinya sama seperti Brighid.
"Lalu apa maumu sekarang?" Akhirnya Rheino mengeluarkan apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Sakit memang tapi itulah yang harus ia tanyakan saat ini demi kepuasan hati Brighid.
Bri menghentikan tangisnya sejenak, ia menatap bola mata Rheino yang menatapnya begitu tajam. Perlahan ia menyeka air mata yang menetes di pipi merah jambunya. "Sebaiknya kita putus aja Rhein demi kebahagiaan orangtua kita. Percuma juga kita berjuang tapi ujung-ujungnya kita makin sakit dan gak berdaya. Aku yakin mungkin ini teguran dari Tuhan agar kita merelakan hubungan kita, kita cuma manusia dan kita gak seharusnya melawan arus. Rhein, percayalah ini sakit banget di dada aku."
Brighid kembali menangis sesenggukan, tangisnya pecah hingga terasa begitu sesak. Wajahnya memerah, bola mata gadis itu memerah dengan deraian air mata yang tiada habisnya.
Rheino terbungkam, ia tidak setuju namun melihat penderitaan Brighid yang begitu luar biasa akhirnya ia hanya bisa mendesah berat. "Kamu yakin?"
Rheino berusaha memastikan tapi pertanyaan itu justru membuat tangis Bri semakin keras. Hati Rheino merasa pilu, ia benar-benar tak bisa lagi memaksa Bri untuk bertahan dalam hubungan mereka yang rumit.
"Baiklah jika ia mau kamu, aku pasrah Bri dengan segala permintaan kamu. Hanya aja, aku harap kamu gak nyesel dengan segala keputusan kamu. Aku harap apa yang keluar dari bibir kamu adalah sesuatu yang emang bener-bener baik buat kita. Bri, meskipun detik ini kita putus aku harap kamu gakkan pernah lupain aku sebagai pacar kamu. Inget Bri, aku akan selalu ada di samping kamu."
Rheino lalu beranjak berdiri, ia berbalik badan lalu ninggalin Bri seorang diri. Dalam perjalanannya menuju ke ambang pintu, Rheino masih berharap jika gadisnya itu bakal ngejar langkah dia, meluk dia, lalu bilang maaf soal kekhilafannya minta putus. Namun, semakin Rheino mendekati ambang pintu tak ada sedikit pun niat Bri buat kejar dia. Rheino semakin kecewa, rupanya ia telah salah menerka.
Rheino menghela napas berat ketika ia benar-benar keluar dari kamar itu, ia tidak menyangka jika Bri benar-benar nglepas dia kali ini. Terlintas di pikiran Rheino mengenai keberadaan Ariel baru-baru ini namun pemuda itu buru-buru menepisnya. Ia tidak boleh berburuk sangka. Rheino percaya perasaan Bri padanya tak pernah boong.
Dari mata gadis itu, Rheino yakin jika Bri masih begitu menyayanginya sampai ke relung hati. Hanya saja keadaan yang memaksa gadis itu memilih pilihan yang berat, Rheino sadar tak seharusnya ia meminta Bri untuk terus bertahan.
Mengembuskan napas ke udara, Rheino berusaha melepas beban berat yang menggelayut di pundaknya. Ia ingin segera tidur malam ini dan berharap besok bangun dalam keadaan yang benar-benar berbeda.
"Tuhan, jika tidak ada perubahan maka berikanlah satu titik pengharapan. Jika bumi tak kaubiarkan tandus maka jangan biarkan pula hati ini kering kerontang. Aku tahu Engkau Maha Baik maka berilah kami kebaikan."
*********************************************
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top