Part 8 - 100 tahun
Aruna terbangun dengan keringat dingin di seluruh tubuhnya. Dia bermimpi buruk. Mimpi tentang Malik yang memutuskan untuk meninggalkannya dan menggandeng tangan Wulan tepat di hadapannya.
Dengan napas berat, Aruna menyeka dahinya dan berjalan ke arah kamar mandi. Dia ingat Wulan masih di rumahnya tapi dia tidak yakin sanggup menghadapi gadis itu lagi. Aruna hanya menyeka muka karena semua bajunya ada di kamar yang sekarang ditempati Wulan.
Aruna turun ke dapur di mana mama dan papanya sudah duduk di kursi meja makan.
"Kata Dita ada temen kamu nginep ya?" tanya mamanya.
"Iya ma," jawab Aruna masih dengan wajah pucatnya.
"Kamu sakit nak?" tanya papanya.
Aruna menggeleng kemudian mencium pipi mama dan papanya, kebiasaan yang tidak pernah dia lupakan saat di rumah. "Cuma mimpi buruk," jawab Aruna kemudian ikut duduk bersama mereka.
"Loh kok malah duduk? Temennya diajak sarapan dulu," perintah mamanya lembut.
Aruna menggeliat malas namun tetap berdiri menuruti sang mama. Dengan langkah berat, Aruna pun berjalan ke kamarnya. Setelah di depan pintu, Aruna mengetuk pintu dua kali sebelum langsung masuk. Wulan sepertinya juga tidak tidur nyenyak seperti dirinya.
Gadis itu duduk di depan meja riasnya sedang menyisir rambutnya.
"Beruntung banget kamu ya. Bisa jadi kalau kamu nggak dibuang orang tua kamu, hidupmu nggak akan seindah ini," cibir Wulan bahkan saat Aruna masih melangkah dua langkah ke dalam kamar.
"Astaga ini masih pagi," gumam Aruna pelan pada dirinya sendiri.
"Ayo turun. Sarapan. Ditunggu orang tuaku," kata Aruna lantang kemudian berbalik hendak keluar dari kamar.
"Orang tua kamu?" sindir Wulan sinis.
"Oke, stop. Aku paham kamu nggak suka aku, dan percayalah aku juga nggak suka sama kamu. Jadi, please, setelah sarapan kamu bisa langsung pulang dan kita nggak perlu saling lempar kalimat buruk lagi," kata Aruna kembali berjalan ke arah pintu namun kemudian dia berbalik. "Aku pikir kau benar-benar membutuhkan teman karena kehilangan Ayah kamu. Tapi sepertinya kamu baik-baik aja," imbuh Aruna.
Aruna yang sudah kembali berbalik, menghentikan langkahnya saat Wulan berkata lantang, "Aku tidak main-main dengan apa yang aku ucapkan tadi malam. Malik akan segera menyadari dia lebih membutuhkan aku."
Mendengar ucapan Wulan, Aruna tidak mau lagi berbalik. Dia keluar dari kamar dan sekali lagi berkata singkat, "Turunlah untuk sarapan."
Saat Aruna turun, disusul dengan Wulan, Malik sudah duduk bersama mama dan papanya dan mengobrol akrab dengan mereka.
Aruna menoleh ke belakang sebentar dan benar saja Wulan sudah berjalan di belakang mengembangkan senyum manis lagi. Akhirnya, kelimanya sarapan bersama.
Mama dan papa Wulan mengucapkan belasungkawa atas kematian Ayahnya. Selama sarapan pagi itu, Wulan tampak begitu manis di depan mama, papa, dan Malik. Beberapa kali bahkan gadis itu terlihat sangat terpukul atas kehilangannya. Aruna hanya bisa memandangnya tidak percaya. Dan ya, Aruna hanya diam sambil menatap tajam ke arah Wulan.
'Dia benar-benar rubah,' batin Aruna masih menatap tajam ke arah Wulan.
Papa Aruna pamit meninggalkan meja makan terlebih dahulu dan disusul Malik dan Wulan. Tentu saja Aruna merasa berat melihat Malik pergi bersama Wulan. Namun mereka menuju ke tempat yang sama dan tidak ada yang bisa Aruna lakukan saat ini.
Aruna tidak mau mengantar Malik dan Wulan sampai ke depan pintu. Karena itu, Aruna langsung kembali ke kamarnya.
*
Malik menatap sedih punggung Aruna yang naik ke kamarnya. Dia merasa bersalah kepada Aruna namun tidak mungkin membiarkan Wulan berangkat sendiri sedangkan mereka berangkat ke tempat yang sama.
"Kau merasa baikan?" tanya Malik saat dia dan Wulan sudah berada di dalam mobil.
"He'em," angguk Wulan. "Walaupun aku merasa tidak nyaman karena Aruna banyak sekali mengajakku ngobrol," kata Wulan sambil diselingi tawa kecil.
Wulan menoleh ke arah Malik namun Malik masih fokus dengan jalanan di depannya. "Aruna menceritakan hal-hal yang diluar jangkauanku, mulai dari barang-barang brandednya hingga negara mana saja yang sudah dia kunjungi. Aku merasa tidak ada apa-apanya dibandingkan dia."
"Iya dia sudah mengunjungi banyak negara," balas Malik.
"Iya, dia juga menceritakan liburannya di Eropa. Aku merasa sangat iri padanya. Dia memiliki segalanya. Aku tidak," lirih Wulan.
"Apa kau yakin kita membicarakan Aruna yang sama?" tanya Malik kemudian menepikan mobilnya dan menatap tajam ke arah Wulan.
"Maksudnya?" tanya Wulan dengan intonasi tinggi dan mata bergetar.
"Setahuku Aruna paling tidak mau membeli barang mahal karena dia sudah menghabiskan banyak uang untuk peralatan melukisnya. Dan dia belum pernah ke negara manapun selain Amerika. Keluarga Aruna lebih menyukai wisata dalam negeri," timpal Malik sembari menatap Wulan tajam.
"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Malik lagi. "Kenapa kau berkata bohong tentang Aruna?"
"Apa kau tidak percaya padaku? Aku juga tidak tahu ternyata Aruna berbohong tentang apa yang dia sombongkan tadi malam. Melihat betapa kayanya dia, tentu saja aku percaya," sungut Wulan.
"Aku tahu pasti Aruna tidak akan mengatakan hal-hal seperti itu. Jadi .. tolong berhentilah. Aku seperti tidak mengenalmu kalau kau melakukan ini," balas Malik.
Wulan menatap Malik tajam, "Jadi kau berpikir aku berbohong? Tidakkah kau berpikir Aruna mengatakan hal seperti itu untuk membuatku merasa rendah saat bersamamu? Tidakkah kau berpikir Aruna merasa keberatan atas hubungan kita?"
Malik mencengkeram kemudi dengan sangat keras hingga buku-buku jarinya memutih. "Sepertinya kau lupa jadi aku harus mengingatkan. Kau tahu, kita tidak memiliki hubungan apa-apa selain pertemanan. Aku hanya bersedia menemanimu karena aku tahu kau memerlukan seseorang tapi aku tidak bisa menawarkan lebih dari menjadi seorang teman. Dan, Aruna memang keberatan tentangmu. Tapi dia tidak akan pernah melakukan itu," desis Malik yang merasa paginya seketika terasa berat.
Mata Wulan melebar, dan dia hanya terpaku di sana.
"Kuharap kau akan menemukan pria yang akan mencintaimu dengan tulus. Dan aku tidak akan kemana-mana selama kau belum bertemu dengan pria ini. Tapi mulai sekarang kau harus paham, aku adalah tunangan Aruna jadi kalau kau memintaku menemanimu lagi, aku akan datang bersama Aruna," jelas Malik.
Tanpa menunggu Wulan bereaksi, Malik kembali melajukan mobilnya.
*
Nanti malam aku akan kerumahmu lagi. Terima kasih masih mau menerimaku.
Aruna membaca pesan dari Malik beberapa kali. Entah kenapa dia merasa tidak nyaman membaca kalimat kedua. Dia merindukan Malik. Tapi bukan Malik yang ini. Dia merindukan Malik yang hanya akan memandang dirinya dan selalu tersenyum tanpa sebab saat menatapnya. Aruna yang hendak mengetik pesan balasan, mengurungkan niatnya.
Siang ini aruna berencana mengunjungi beberapa tempat yang akan dia sewa untuk studio barunya. Lokasi terakhir yang dia kunjungi bersama Sydney cukup membuatnya jatuh cinta. Hanya saja satu masalah. Lokasinya terlalu dekat dengan tempat Wulan.
Siang itu Aruna berniat untuk mendatangi beberapa lokasi sendirian. Setelah berpamitan dengan mamanya, Aruna pun melajukan mobil.
Lokasi yang pertama cukup strategis dan harganya sangat terjangkau. Sayangnya tempatnya tidak terlalu luas dan langit-langitnya tidak terlalu tinggi. Lokasi kedua yang dia datangi kurang tepat karena di sana ada sebuah bengkel yang pastinya tidak akan cocok dia gunakan sebagai studio lukisnya.
Karena siang itu cukup terik, Aruna memutuskan untuk berhenti sebentar di sebuah café yang menyajikan berbagai macam minuman dingin. Aruna memesan vanilla latte dingin dan merasa air conditioner di café sangat segar.
Saat menunggu pesanannya datang, ponselnya berbunyi. Nama Malik muncul dan Aruna menjawabnya.
"Hai," sapa Malik di seberang sana dan Aruna menjawab dengan kata yang sama.
"Kau sedang di luar?" tanya Malik.
"Iya."
Jeda sebentar. "Ke mana?" tanya Malik lagi.
"Cari studio buat di sini," jawab Aruna.
"Kenapa nggak nunggu aku. Aku bisa menemanimu. Aku juga tahu beberapa tempat yang pasti cocok dengan keinginanmu," ucap Malik.
Aruna tahu Malik memang paham benar dengan tempat seperti apa yang cocok dengan Aruna. Bahkan studio yang dia sewa di New York juga atas rekomendasi Malik.
"Kau di mana? Aku akan menjemputmu," imbuh Malik cepat.
Aruna mengecek jam tangannya dan jam makan siang sudah lewat. "Tidak perlu. Aku bawa mobil sendiri."
"Kalau begitu, bisakah kau pulang? Cari tempatnya nanti bareng sama aku ya," pinta Malik dengan nada memelas.
Aruna terdiam mendengarkan permintaan Malik. Sudah berapa banyak pria ini berubah. Kalau dulu Malik lah yang selalu memutuskan sesuatu untuk Aruna tanpa gadis itu bisa menolaknya. Seakan Malik adalah kakak yang selalu bisa memastikan adiknya baik-baik saja, memastikan adiknya bahagia, dan memastikan adiknya mendapatkan apa yang diperlukan.
"Nggak perlu Malik. Aku bisa sendiri," ringis Aruna.
"Makasih," kata Aruna saat seorang pramusaji meletakkan minuman yang dia pesan di meja.
"Kamu nggak mau aku temenin?" tanya Malik.
"Bukan gitu. Aku tahu kamu sibuk dan aku bisa handle ini sendiri," sanggah Aruna.
"Oke. Tapi berjanjilah kau tidak akan membuat keputusan dulu sebelum kau menunjukkan tempatnya padaku," pinta Malik.
"Oke."
Setelah Malik menutup sambungan telpon, Aruna menyeruput minumannya. Kembali ponselnya berbunyi dan kali ini dari sambungan luar negeri. Aruna cukup tahu siapa yang menelponnya.
"Hai beautiful," sapa Sebastian di ujung sana.
"Hai Sebastian," jawab Aruna, sebuah senyum langsung merekah di wajahnya.
"Kau berjanji akan menghubungiku kemarin. Apa kau baik-baik saja?" tanya Sebastian.
"Yeah, I'm good. Maaf sudah membuatmu khawatir," jawab Aruna.
"Apa yang terjadi kemarin?"
Aruna kembali menyeruput vanilla lattenya. "Bukan apa-apa, jangan khawatir. Bagaimana restoranmu?" tanya Aruna berusaha mengalihkan topik.
"I have a good news and bad news. Which one do you want to hear first?"
Aruna tertawa, "Bad news I guess."
Aruna bisa mendengar Sebastian mendesah dengan cukup dramatis di ujung sana. "Keluargaku menyuruhku kembali ke Phillipines dan memintaku menjalankan restoran di sana. Mereka ... mengharapkan aku segera menikah."
Sontak Aruna langsung tertawa dengan cukup keras mengingat bagaimana Sebastian masih menikmati masa-masa lajangnya dengan berganti pacar setiap minggunya.
"So when is the deadline?" tanya Aruna lagi masih tidak bisa menghentikan tawanya.
"Sepertinya akan dibahas lebih lanjut kalau aku sudah bersama keluarga besar," dengus Sebastian.
"So what is the good news?" tanya Aruna.
"The good news is ... aku memutuskan membuka restoran baru di Asia dan aku memikirkan Bali," kata Sebastian.
"Bali?"
"Ya, Bali. Aku jadi bisa lebih sering mengunjungimu, and vice versa," lanjut Sebastian.
"Bagus sekali," seru Aruna.
"Kalau tahu keluargaku berharap aku segera menikah, seharusnya aku memintamu menikahiku dari dulu," ucap Sebastian di seberang sana.
"Dan aku pasti menjawab tidak. Aku tidak bisa melihat pasanganku berganti-ganti pasangan tiap minggu," tawa Aruna.
"Kau tahu, walaupun aku memiliki banyak mantan pacar, tapi aku tidak pernah berselingkuh. Aku selalu menyudahi sebelum memulai yang baru. Dan yang baru bukan penyebab aku memutuskan pacarku," Sebastian membela dirinya sendiri.
Aruna kembali tertawa, "Itulah masalahmu. Kau terlalu cepat bosan."
Sebastian terdiam, berdeham, dan berkata, "Kalau denganmu, aku cukup yakin tidak akan bosan walau sampai 100 tahun."
*
~ ~ ~ Masang foto ini sampe keder ~ ~ ~
*
Eh nggak usah senyum, yang lagi digombalin Aruna bukan kita :P ... nggak sabar Sebastian ke Indonesia. Tapi trus Malik gimana?
Vote dan komen dulu aja, nanti aku pikirin enaknya gimana, XP
Published on Saturday, September 18, 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top