Part 7 - Menginap
"Bisakah aku ke tempatmu? Aku benar-benar tidak ingin sendirian malam ini," suara Wulan menggema di dalam mobil.
Aruna menatap Malik, menunggu reaksi pria tersebut. Malik kini sudah menatap ke depan lagi dan diam.
"Malik, apa kau mendengarku?" suara Wulan kembali memenuhi mobil yang mereka tumpangi malam itu.
"Baiklah, aku ke tempatmu sekarang," jawab Malik pada akhirnya dan dia memutar mobilnya di putaran balik tidak jauh di depan mereka.
"Malik apa kau serius akan mengajaknya ke tempatmu?" tanya Aruna mulai sedikit panik. Malik diam. "Malik jawab aku!"
Aruna mulai tidak bisa mengontrol dirinya dan dia berkata dengan intonasi cukup tinggi. "Aku tidak menyangka hubunganmu dengannya sejauh ini. Kalau kau mengajaknya ke tempatmu, jangan memintaku untuk tidak berpikir macam-macam. Malik kita harus berhenti. Maksudku hubungan seperti ini. Aku tidak sanggup lagi," isak Aruna sambil menatap Malik lekat.
Aruna menangis pelan masih sesenggukan. Malik kemudian menepikan mobilnya. Dia melepas seatbealt dan memutar tubuh menghadap Aruna. Aruna yang melihatnya menggelengkan kepala dengan keras.
"Aku nggak mau lagi ... jangan minta aku untuk ngertiin kamu lagi," isak Aruna.
Malik menarik Aruna lebih dekat ke arahnya dan kemudian memeluknya. "Aku akan menemuinya malam ini tapi aku akan mengajakmu. Dan jangan salah paham. Kau adalah orang pertama dan satu-satunya yang pernah menginjakkan kaki di apartemenku," ucap Malik masih memeluk Aruna erat. "Kau benar. Aku harusnya memintamu menemaniku dari awal. Aku akan memperbaikinya mulai sekarang."
Dia melerai pelukannya dan menatap mata Aruna yang sudah basah karena air mata. Matanya sudah memerah. "Maafkan aku. Aku bersalah padamu. Hari ini aku sudah membuatmu banyak menangis," kata Malik sambil mengusap mata Aruna.
"Can I ask you something?" pinta Malik tiba-tiba. Aruna tidak berkata apa-apa. Hanya tetap menatap Malik dan berusaha menghentikan isakannya.
"Never doubt how I feel about you. Never give up on me. I want you and I want us. Selamanya akan selalu begitu," ucap Malik dengan mata penuh harap.
"Apa kau serius? You want us?" tanya Aruna lagi memastikan.
Malik mengangguk dan berkata, "More than anything."
Selama beberapa saat, keduanya diam hanya saling menatap. "So, can I have your promise?" tanya Malik lagi.
Aruna mengangguk sekali. "I promise," jawabnya.
*
"Keluarlah, aku sudah di depan," ucap Malik melalui telpon saat dirinya dan Aruna sudah berhenti di depan bangunan kost Wulan. Tidak lama setelah mengucapkan kalimat tersebut, Malik menurunkan ponselnya dari telinga.
Malik menoleh dan menatap Aruna dengan mata yang sayu. "Tetap di sampingku. Jangan pernah pergi dariku," pinta Malik sembari meremas jemari Aruna.
Aruna hanya menatapnya dalam diam.
"Apa kita bertiga akan ketempatmu?" tanya Aruna merasa tercekat benar-benar tidak menyukai ide ini.
Malik menggeleng pelan, "Aku tidak akan pernah membawa wanita manapun selain dirimu ke apartemenku. Aku akan membawanya ke rumahmu. Aku minta tolong temani dia malam ini."
Aruna tidak bisa menjawab. Bagaimana Malik memintanya untuk menemani mimpi buruk masa lalunya? Tapi Malik tidak pernah tahu apa yang Wulan telah lakukan padanya. Tapi ini lebih baik daripada meminta Malik membawa Wulan ke tempatnya.
Tidak seberapa lama, pagar tinggi di depan mereka terbuka dan Wulan keluar dengan menggunakan jaket rajut, celana jeans, dan tas tersampir di bahunya. Malik melepas cengkraman tangannya dari tangan Aruna dan keluar dari mobil dan Aruna menyusul.
Wulan yang awalnya terlihat tersenyum, tiba-tiba diam membeku saat melihat Aruna juga keluar dari mobil. Raut wajahnya berubah seketika dan dia menatap ke arah Malik kemudian balik menatap Aruna penuh kebencian. Aruna cukup familiar dengan sorot mata itu. Sorot mata yang membuat masa-masa SMAnya cukup berat.
"Ini sudah sangat larut. Aku tidak bisa mengajakmu ke tempatku. Aruna akan menemanimu malam ini," kata Malik yang berdiri di depan mobil. Mendengar apa yang dikatakan Malik, Wulan segera merubah ekspresi wajahnya. Gadis itu sekarang tersenyum simpul dan mengangguk sekali.
Malik masuk ke dalam mobil disusul dengan Aruna dan Wulan, yang menempati jok penumpang di belakang.
Perjalanan menuju rumah Aruna terasa sangat hening. Tidak ada diantara mereka bertiga yang berbicara. Bahkan Aruna yang tahu dia belum mengucapkan belasungkawa, memutuskan tidak mengatakannya di mobil sekarang.
Setelah kurang dari empat puluh menit perjalanan, mereka sampai di depan rumah Aruna. Malik melepas sabuk pengamannya dan memutar badan ke belakang.
"Malam ini kau tidak perlu merasa sendirian. Aruna akan menemanimu," kata Malik pada Wulan. Malik kemudian memutar badan menghadap Aruna dan menarik tangannya. "Maafkan aku," ucap Malik dan Aruna hanya mengangguk, masih tidak yakin dengan apa yang terjadi malam ini.
Ketiganya kemudian keluar dari mobil. "Aku akan langsung kembali. Ini sudah terlalu larut. Besok pagi baru aku akan menyapa om dan tante," kata Malik kepada Aruna. "Masuklah."
Aruna pun membuka pagar pintu dan menatap ke arah Wulan. Wulan kemudian berjalan ke arah Aruna. Sebelum masuk ke balik pagar, Wulan menatap Malik dan berkata, "Terima kasih."
"Berterima kasihlah kepada Aruna," jawab Malik dan Wulan terlihat mengangguk dengan berat. Setidaknya itu yang dirasakan Aruna.
Wulan masuk melewati pagar mewah rumah Aruna dan Aruna menyusul di belakang namun Malik dengan cepat menarik tangannya. Mereka berdiri cukup dekat dan Wulan hanya bisa melihat Aruna karena Malik berdiri di balik pagar.
"Terima kasih," kata Malik.
"Aku tidak melakukan ini untuknya dan jangan berterima kasih atas namanya," jawab Aruna.
"Aku tahu. Aku tidak berterima kasih untuk ini. Aku berterima kasih karena janji yang kau buat tadi. Jangan pernah lupakan janjimu. Kau tidak boleh meninggalkanku sampai kapan pun," ucap Malik. Selama beberapa saat, Aruna hanya bisa menatap Malik sebelum akhirnya dia mengangguk.
Aruna menarik tangannya dari Malik dan berjalan ke dalam rumah.
*
Setelah membersihkan dirinya dan membiarkan Wulan menggunakan kamar mandi, Aruna dan Wulan berbagi tempat tidur di atas ranjang besar Aruna. Lampu kamar tidur sudah dimatikan dan hanya menyisakan sedikit sinar dari lampu malam berbentuk bulan yang ada di atas nakas.
Keduanya tidur sambil menatap langit-langit.
"Aku turut berduka soal Ayahmu," ucap Aruna pelan, cukup yakin Wulan masih belum tertidur.
"Bagiku dia juga sudah mati lima tahun lalu," ucap Wulan sama sekali tidak ada nada menyesal.
Aruna bangkit dan duduk, menatap Wulan tidak percaya. "Bagaimana kau mengatakan hal sekejam itu tentang Ayahmu?"
"Kau tidak akan pernah tahu rasanya memiliki Ayah yang sama sekali tidak menyayangimu dan kemudian kembali padamu hanya sebagai beban. Dia tergeletak di ranjang rumah sakit cukup lama dan aku satu-satunya yang harus menjaga orang yang paling tidak menginginkanku," sahut Wulan di kegelapan kamar malam itu terdengar sama sekali tidak bersalah. "Sejujurnya aku merasa lega."
Aruna memekik pelan. "Tetap saja, dia Ayahmu. Tidak seharusnya kau mengucapkan ...," kalimat Aruna terpotong saat Wulan menyahut, "Simpan kata-kata manismu. Terdengar sangat munafik buatku."
"Hah?!" Aruna menghembuskan napas tidak percaya. "Kau pikir aku hanya berkata manis? Dia keluargamu. Bagaimana kau bisa .... ."
Wulan kembali memotong ucapan Aruna, "Keluarga? Jangan bicara soal keluarga saat kau sendiri juga tidak memiliki keluarga. Kata-kata tentang keluarga paling tidak pantas keluar dari mulutmu. Kau masih saja membuatku muak dari dulu sampai sekarang."
"Apa maksudmu? Tentu saja aku memiliki keluarga," kata Aruna dengan nada bergetar.
"Oh please .... Kau bilang orang-orang yang memungutmu ini keluarga? Apa kau tidak malu menyebut dirimu keluarga mereka? Kau bahkan tidak tahu asal usulmu sendiri," kali ini Wulan ikut duduk dan menatap Aruna penuh kebencian. Tatapan yang sama yang selalu dia lihat semasa SMA dulu.
Aruna berdiri dan menatap Wulan tidak percaya. "Kau tahu ... aku tidak akan pernah bisa bicara padamu. Hatimu memiliki terlalu banyak kebencian," kata Aruna.
"Kalau hatiku penuh kebencian, hatimu penuh kebohongan," ucap Wulan sinis.
Aruna bangkit berjalan ke arah pintu merasa tidak bisa lagi berbagi ruangan dengan Wulan. Aruna yang sudah membuka pintu tertahan saat Wulan kembali mengucapkan dengan cukup lantang, "Aku akan mendapatkan Malik. Dia tidak menginginkanmu. Dia hanya merasa kasihan padamu. Harusnya kau tahu tempatmu. Selama ini kau bermain peran sebagai anak orang kaya padahal kau sendiri tidak tahu asal usulmu."
Aruna keluar dari kamar dan membanting pintu keras. Dia berjalan ke kamar tidur tamu, dan cepat-cepat menutup pintu. Dia bisa saja menampar mulut jahat Wulan tapi dia tidak akan pernah mengotori tangannya.
Dan Wulan benar. Aruna sama sekali tidak tahu tentang asal usulnya. Ada alasan kenapa dia tidak ingin mencari tahu. Orang tuanya yang sekarang mengatakan pada Aruna bahwa orang tua kandungnya meninggal saat dirinya berusia enam bulan. Mereka meminta pada Aruna untuk tidak pernah mencari tahu tentang orang tuanya.
Dulu Aruna memang penasaran tentang orang tuanya namun rasa penasaran itu semakin lama semakin memudar. Dia memiliki banyak cinta. Orang tuanya yang sekarang adalah satu-satunya orang tua bagi Aruna.
*
"Selama ini berlagak sok kaya, traktir temen-temennya eh taunya cuma anak pungut!"
Aruna menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah suara. Dia melihat Wulan, gadis paling di cantik di SMA 1 dan memiliki cukup banyak penggemar. Aruna tidak pernah kenal dengan Wulan karena itu dia kaget saat Wulan mengatakan hal tersebut.
"Kamu ngomong sama saya?" tanya Aruna menatap Wulan lurus.
"Ya iyalah. Aruna Pratista. Emang di sini ada lagi anak pungut selain kamu?" tantang Wulan yang sudah berdiri dan berjalan ke arahnya.
"Memangnya kenapa kalau saya anak pungut? Hal itu nggak ganggu kamu kan?" jawab balik Aruna.
"Ya ganggu lah lihatnya. Nggak malu bayarin temen-temen kamu? Itu kan bukan uang kamu?" sindir Wulan lagi.
Aruna diam dan menatap Wulan penuh kebencian. Ada apa dengannya? Dan bagaimana dia tahu tentang Aruna anak angkat? Aruna memutuskan tidak meladeni Wulan dan berbalik, berjalan ke kelasnya.
Sayangnya sejak kejadian tersebut, yang terjadi di tahun kedua SMA, teman-teman Aruna tiba-tiba tidak mau lagi berteman dengan Aruna. Bahkan mereka turut serta merudung Aruna. Wulan juga masih saja mengatainya tiap kali mereka berpapasan. Hanya Sydney dan Gilang yang selalu setia di sisinya. Kalau Gilang lebih kalem menghadapi omongan buruk tentang Aruna, Sydney selalu bereaksi dengan cukup heboh.
Pernah sekali Aruna meladeni Wulan dan pada akhirnya mereka berkelahi dengan cukup sengit di kelas. Sayangnya karena kejadian tersebut, orang tua Aruna harus datang ke sekolah dan mendapatkan teguran keras dari kepala sekolah.
Aruna merasa sangat malu. Orang tua Aruna tidak memarahinya, hanya bertanya kenapa dirinya berkelahi. Aruna tidak pernah bisa mengatakan alasannya kepada mereka. Itu akan menyakiti mama dan papanya lebih besar daripada menyakitinya.
Karena itu, Aruna hanya bisa menjawab, "Soal cowok, ma, pa. Salah paham aja."
Aruna ingat bagaimana mama dan papanya tertawa terbahak-bahak saat mendengar jawaban Aruna. Seketika rasa sakit di hatinya menghilang dengan sempurna saat melihat tawa orang tuanya. Mereka terlihat bahagia melihat anaknya terlibat masalah karena masalah pubertas.
Bahkan Malik yang datang keesokan harinya bertanya tanpa henti siapa cowok yang membuat Aruna terlibat perkelahian dengan temannya. Aruna saat itu hanya tertawa dan menjawab, "Pak Man, tukang kebun sekolah."
* * *
Jadi kemarin ada beberapa yang tanya kenapa sih Aruna gk cerita aja gimana busuknya Wulan waktu SMA, nah sekarang sedikit banyak tau kan alasannya? Semoga kalian suka sama part ini. Jangan lupa vote dan komen ya. Loveee youuu .... ketemu lagi hari Sabtu ^^3
published on Wednesday, Sep 15, 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top