Part 58 - Cara Mia

"Malik."

"Malik."

Malik tersenyum dan kembali menyapa keduanya, "Hi."

Malik berjalan mendekat ke Aruna dan Sebastian kemudian dia menyalami Sebastian.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Sebastian.

"Great."

"Sebaiknya aku meninggalkan kalian berdua. Pasti ada banyak yang ingin kalian bicarakan," ujar Sebastian. Dia kemudian menepuk bahu Malik dua kali dan mengacak rambut Aruna pelan.

"Be honest to yourself. This girl deserves happiness," bisik Sebastian pada Aruna sembari menunjuk Aruna.

Aruna dan Malik sama-sama memerhatikan Sebastian masuk ke mobilnya hingga dia pergi.

Saat Aruna menoleh, Malik sudah menatap ke arahnya dengan senyum lebarnya.

"Kamu terlihat lebih cantik dengan rambut pendekmu," kata Malik sambil menunjuk rambut sebahu Aruna. Tangan Aruna pun secara otomatis terjulur menyentuh rambutnya.

"Thanks," jawab Aruna singkat.

Keduanya sama-sama terdiam di pinggir jalan kemudian akhirnya Malik yang berbicara.

"Kau tidak akan mengajakku masuk?" tanya Malik.

Aruna, yang baru menyadari kesalahannya, terkesiap. "Ya, tentu saja. Ayo," jawab Aruna sedikit canggung.

Keduanya pun berjalan menuju gedung apartemen dan naik ke lantai sebelas. Setelah melewati koridor yang tidak seberapa panjang, Aruna berhenti di depan pintu kamarnya dan memasukkan kunci. Setelah pintu terbuka, gadis itu membukakan pintu dan membiarkan Malik masuk terlebih dahulu.

Saat sudah masuk, Malik mengedarkan matanya ke seluruh penjuru ruangan. Apartemen Aruna tidak seberapa besar dan barang yang ada di sana juga tidak seberapa banyak. Hanya ada satu kamar, satu dapur kecil, dan balkon minimalis.

"Kau sudah lama di sini?" tanya Malik masih berdiri di tempatnya.

"Iya. Travis yang membantuku mencarikan tempat ini. Aku sengaja mencari tempat yang dekat dengan restaurant Sebastian. Aku tidak menyangka Sebastian menyusul tahun lalu," kata Aruna sembari mengambilkan minuman dingin untuk Malik.

"Hhmm," gumam Malik.

"Bukankah kau ada wawancara awal minggu ini?" tanya Aruna sambil menyodorkan minuman tadi dan meminta Malik duduk dengan isyarat tangannya.

"Jadi kau membaca emailku," gumam Malik lebih pada dirinya sendiri. "Kau sudah lihat?"

"Ya, aku melihatnya tadi pagi," jawab Aruna.

"Bagaimana kau tahu apartemenku?" tanya Aruna heran.

"Aku memiliki cukup banyak informan," jawab Malik.

Aruna tertawa kecil sambil berkata, "Bukankah seharusnya aku merasa khawatir?" sindir Aruna.

"Aku hanya berusaha memastikan tidak akan kehilanganmu," ucap Malik.

Aruna hanya menundukkan kepala dan menggeleng pelan sambil masih tersenyum.

"Oh ya kau perlu tahu. Aku sengaja tidak membawa uang banyak. Visaku bertahan hanya selama enam bulan, dan aku tidak akan pulang tanpamu. Jadi, kau harus tahu posisiku cukup terdesak," ucap Malik dengan cukup santai.

"Apa?! Tapi aku belum berniat pulang. I have a job here," seru Aruna dengan mata melebar.

"Dan aku benar-benar tidak akan pulang tanpa membawamu," kata Malik sekali lagi dengan nada yang kelewat biasa.

"Kau tidak bisa memaksaku," geram Aruna.

Malik berdiri kemudian merebahkan dirinya di sofa apartemen Aruna. "Aku tidur dulu. Kepalaku pusing sekali," katanya sambil menutup matanya dengan lengan kiri.

"Malik sebaiknya kau langsung ke hotel jadi kau bisa beristirahat dengan nyaman. Badanmu nanti sakit kalau kau tidur di sini," perintah Aruna.

Masih dengan posisi yang sama, Malik bergumam, "Aku tidak memesan hotel dan aku tidak membawa banyak uang. Jadi kau harus menampungku selama aku di sini. Bisakah aku tidur sebentar? Kepalaku rasanya sangat berat," ucap Malik. Sehari setelah wawancaranya, Malik langsung terbang ke Amerika. Namun dia sudah menyiapkan semuanya dua bulan sebelum keberangkatan.

Aruna berjalan mendekat ke Malik. "Malik, tidurlah di kamarku. Kalau begini, bukan hanya kepalamu nanti yang sakit. Badanmu juga," katanya.

Gadis itu kemudian menarik tangan pria itu dan memaksanya bangun. Malik membuka matanya dan tersenyum.

"Ada apa?" tanya Aruna melihat ekspresi aneh di wajah Malik.

"Kau menyentuh tanganku saja kenapa rasanya aku sudah sangat senang," ringis Malik dan Aruna terdiam sebentar kemudian buru-buru melepaskan tangan pria itu.

"Tidurlah di sana," ucap Aruna dengan canggung sambil menunjuk ke kamarnya.

Malik pun menurut dan berjalan menuju tempat tidur Aruna.

*

Sudah lima jam Malik tertidur dan Aruna tidak tega untuk membangunkan pria itu. Gadis itu sengaja mengambil kursi dan duduk di samping Malik. Dia sangat merindukan Malik. Dia memerhatikan setiap detil wajah Malik, mulai dari alisnya yang tebal, bulu mata panjangnya, dan rahangnya yang tegas.

Gadis itu terhenyak saat suara ponselnya berdering cukup nyaring. Aruna langsung berdiri dan mengambil ponselnya supaya benda itu tidak membangunkan Malik.

"Ya Sebastian," bisik Aruna padahal dia sekarang sudah berdiri di luar kamar tidurnya.

"Bagaimana Malik?" tanya Sebastian di seberang sana.

"Kami belum sempat mengobrol banyak. Dia langsung tidur dan masih sampai sekarang," jawab Aruna masih berbisik.

"Dia pasti sangat lelah. Kenapa kau berbisik?" tanya Sebastian.

"Aku tidak ingin membangunkannya," jawab Aruna dengan suara yang sama pelannya.

"Baiklah. Karena besok kau libur, ajaklah dia ke tempatku," kata Sebastian.

"Ya, baiklah."

Saat Aruna menutup panggilan telepon Sebastian dan berbalik, Malik baru keluar dari kamar dengan wajah terlihat sangat mengantuk.

"Kau bangun," sesal Aruna pada dirinya sendiri namun Malik mendengarnya dan menjawab dengan gumaman.

"Kau mau mandi?" tanya Aruna masih berdiri di tempatnya dengan cukup canggung.

"Sebenarnya aku lapar," ucap Malik.

"Aku tidak menyiapkan apa-apa. Sebaiknya kita makan di luar. Bagaimana?" usul Aruna.

Malik mengangguk setuju masih dengan mata yang mengantuk. "Tapi kau yang mentraktirku ya. Aku hanya membawa uang yang hanya cukup untuk tiket pulang," balas Aruna.

Aruna hanya menggeleng tidak mengerti.

"Basuhlah mukamu dulu, aku tunggu di luar," kata Aruna kemudian masuk kamar dan dalam sekejap keluar lagi sambil membawa coat-nya.

*

"Kau pelit sekali," protes Malik.

Saat ini dirinya sedang duduk di café terbuka di area Chelsea Market di 75 Ninth Ave bersama dengan Aruna. Mereka menikmati tacos, corn pudding, dan lime juices.

"Gajiku juga tidak seberapa besar dan kau memintaku untuk mentraktirmu. Aku harus hati-hati dengan pengeluaranku," protes Aruna.

"Apa kau benar-benar hanya membawa uang yang cukup untuk tiket pesawat pulang?" tanya Aruna dengan wajah serius sembari mencondongkan badannya ke Malik.

"Iya," ucap Malik sambil mengunyah taco yang memenuhi mulutnya.

"Kenapa? Apakah perusahaanmu mengalami masalah?" tanya Aruna dengan dahi berkerut.

"Bukankah aku menceritakan hampir semuanya padamu?" tanya Malik lagi, masih sembari mengunyah.

"Karena itu," dengus Aruna. "Perusahaanmu sepertinya tidak mengalami kesulitan tapi kenapa kau malah bangkrut begini," lanjut Aruna sambil menyenderkan punggungnya di kursi besi yang dia duduki dengan dramatis.

"Bukankah aku bilang waktuku hanya enam bulan. Jadi terserah kamu. Kita bisa kembali sebelum visaku habis atau kau mau menunggu sampai aku benar-benar didepak dari sini," ucap Malik santai.

"Kau bisa pulang lebih dulu. Aku akan menyusulmu nanti," ucap Aruna tanpa menatap Malik.

"Then I'll stay. Dan selama aku di sini, aku akan benar-benar bergantung padamu," kata Malik sambil meringis.

"Kalau begitu kau harus terbiasa makan dua kali sehari saja dengan porsi sebesar ini," ucap aruna sambil melirik ke arah makanan yang ada di tangan mereka masing-masing.

"Ke mana kau pergi pagi tadi bersama Sebastian?" tanya Malik setelah keduanya diam selama beberapa saat.

"Pernikahan temannya."

"Oh," sahut Malik.

"Sebastian akan cukup kerepotan," gumam Malik dan Aruna menunjukkan ekspresi tidak mengerti.

"Maksudnya?" tanya Aruna.

"Ya, sebentar lagi dia harus mendatangi pernikahan lagi dan pernikahannya akan diadakan di Indonesia," terang Malik.

"Pernikahan? Pernikahan siapa?" tanya Aruna.

"Pernikahan kita tentu saja," seru Malik sambil tersenyum lebar sambil bangkit dari duduknya dan mengecup dahi Aruna singkat.

"Ayo, aku sudah selesai dengan makan malamku," kata Malik sambil menarik tangan Aruna.

*

Setelah menikmati makan malam singkat, Aruna dan Malik berjalan di sepanjang Chelsea Market. Keduanya hanya berjalan berdampingan sembari membaur dengan banyak orang yang memadati kawasan itu.

Chelsea Market dikenal sebagai salah satu tempat di mana terdapat banyak food stalls terbaik di New York. Makanan yang dijual di sini juga sangat beragam mulai dari makanan Thailand, gelato, bagel, hingga restoran yang menyajikan makanan berat dengan rasa yang sangat enak.

"Bagaimana pekerjaanmu?" tanya Malik.

Aruna menoleh sekilas ke pria itu sebelum menjawab. "Baik. Aku ... menikmatinya," jawab Aruna.

"Pekerjaanmu sepertinya juga berjalan lancar. Kau sekarang memiliki sekretaris pribadi juga kan. Pasti menyenangkan. Ivanka kan namanya? Kau menyebutnya lima kali dalam email-emailmu," sahut Aruna panjang.

Malik tertawa kecil, membuat Aruna menoleh.

"Jadi kau memang membaca emailku," kata Malik, masih berjalan pelan dengan Aruna di sisinya.

"Kenapa tidak pernah membalas emailku?" imbuh Malik.

Aruna kini menutup mulutnya dan merutuki dirinya yang tidak bisa menahan diri. Dia hanya berjalan dengan kepala melihat ke arah kakinya dan kaki Malik yang berjalan seirama.

Berbeda dengan Aruna yang menolak menatap Malik, Malik terus menoleh ke Aruna dengan senyum yang tidak bisa hilang dari wajahnya.

Selama sisa perjalanan ke apartemen Aruna, keduanya lebih banyak diam.

*

"Sebaiknya kau menginap di tempat Sebastian," ujar Aruna saat dia menatap sofa dan tempat tidurnya bergantian.

"NO!" pekik Malik dan Aruna langsung menoleh dan menatapnya tajam.

"Kau tidak bisa terus-terusan tidur di sofa dan aku tidak mampu membayar hotel untukmu. Aku bisa membayar motel murah kalau kau tidak keberatan," usul Aruna.

"Astaga! Apa kau serius?! Kau pikir aku tidak tahu bagaimana bentuk motel yang barusan kau sebut itu?!" gerutu Malik.

"Karena itu kenapa jauh-jauh ke sini tidak membawa uang yang banyak!" sungut Aruna.

"Karena itu. Kita bisa pulang minggu ini kalau kau mau! Yang pasti aku tidak akan pulang tanpamu!" tekad Malik kemudian merebahkan dirinya di sofa dan menutupi wajahnya dengan bantal sofa yang ada di sana.

"Ya sudah. Kita lihat saja apa kau bisa bertahan," keluh Aruna.

"Oh yeah, you're absolutely right! Let's see if you can handle this," seru Malik dengan suara teredam karena wajahnya yang tertutup bantal.

*

"Aruna .... Arun .... Runa .... Arr .... ."

Aruna menepis tangan yang memainkan wajahnya. Dia masih sangat mengantuk dan kenapa ada orang yang malah mengganggu tidurnya.

"Aruna .... ."

Panggil suara itu lagi dan Aruna hanya diam.

"Sayang."

Aruna masih menutup matanya.

"Sweetheart."

Aruna masih tidur.

"Pumpkin."

Aruna menggeram pelan, merasa sangat jengkel pada orang yang mengganggu tidurnya. Dan kali ini orang ini menjadi semakin cerewet.

"Cutie patootie."

"My one and only."

"Apple of my eye."

"Princess."

"Beautiful."

"Sweetie honey pie."

"Sweet pea."

"Cara Mia."

"MALIK STOP! IT'S SUNDAY AND I NEED MORE SLEEP! Lagipula apa itu Cara Mia!" sembur Aruna yang langsung terduduk dan menyorot Malik dengan sangat menakutkan.

Bukannya menciut, Malik malah tersenyum menatap Aruna. "It's your nickname now then .... Cara Mia, can I have my breakfast?" pinta Malik yang berlutut di samping ranjang Aruna dengan tatapan memelas.

"UURRRGhhh!!!"

***

Maliknya udah ngebet banget bawa Aruna pulanggggg ...... jangan lupa vote dan komen ya. Malik dan Aruna cinta kalian!!!! 

Published on Saturday, Jan 8, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top