Part 54 - Lorong Putih

Aruna mendengarkan penjelasan Ibunya tentang alasan Malik membatalkan pernikahan yang hanya tinggal menghitung hari waktu itu. Saat ini, walaupun Aruna sudah mendengar alasan Malik, bahwa pria itu ingin melindungi dirinya, Aruna tidak yakin dia bisa kembali bersama Malik lagi. Kini, ada bagian dari dirinya yang membuatnya merasa tidak pantas mendapatkan siapa pun. Terutama pria sebaik Malik.

"Jadi .... Mama minta kamu sekarang mengerti Malik dan memberikan dia kesempatan. Karena, anak itu terus berharap kesempatan itu segera kamu berikan," ucap Ayu.

"Mungkin memang sebaiknya Malik gak dapetin Aruna Ma," sahut Aruna pelan.

"Maksud kamu?" tanya Ayu .

"Aruna sekarang gak yakin lagi bisa menjalin hubungan dengan siapa pun. Aruna terlalu takut. Aruna gak pantes," urai Aruna.

"Kamu jangan pernah bilang kayak gitu. Siapa pun yang mendapatkan kamu ... orang itu akan menjadi orang paling beruntung karena berhasil mendapatkan gadis yang cantik, baik hati, dan pintar seperti kamu. Kamu, anak Mama dan Papa yang paling berharga," kata Ayu kemudian mendekap Aruna dalam pelukannya.

"Makasih Ma. Makasih Mama dan Papa waktu itu masih mau menerima Aruna," isak Aruna dalam pelukan Ibunya.

"Mungkin kamu merasa Mama dan Papa sudah menyelamatkan kamu, tapi Mama dan Papa lah yang kamu selamatkan. Kalau kamu gak ada, Mama dan Papa mungkin sudah pisah lama. Sejak ada kamu, hidup kami benar-benar lebih berwarna. Tidak ada satu hari pun Mama dan Papa menyesal memiliki kamu. Malah, Papa dan Mama hampir setiap malam membicarakan betapa beruntungnya kami bisa membesarkan kamu," hembus Ayu.

*

Di hari ketiga setelah Aruna mengutarakan keinginannya untuk menemui Ayah kandungnya, Aruna, bersama kedua orang tuanya pergi ke RS Pasien Gangguan Jiwa Berat yang berada cukup jauh dari rumah mereka. Perjalanan menuju ke sana memakan waktu dua jam.

Saat di perjalanan, Aruna yang duduk di jok depan bersama Ayahnya, memerhatikan mobil di belakang mereka melalui spion.

"Pa, apa itu mobil Malik?" tanya Aruna sambil melihat ke arah spion.

"Papa sudah menyuruhnya untuk tidak ikut. Namun dia memaksa," jawab Papanya dengan mata masih fokus ke jalanan.

"Aruna, biarin aja," sahut Ayu.

Aruna menoleh ke mamanya sekilas dan kemudian mengangguk.

Sesampainya di tempat tujuan, Aruna, Damar, dan Ayu turun. Aruna sempat melirik ke arah mobil Malik. Pria itu masih belum menyadari kalau Aruna sudah tahu dia ada di belakang mereka.

"Ayo," kata om Damar dan Aruna mengalihkan kembali pandangannya, kali ini menatap Papanya dan mengangguk dengan mata penuh keraguan. Bahkan sampai sekarang pun Aruna belum yakin dia memiliki keberanian untuk menemui Ayah kandungnya. Tapi keingin tahuan lebih besar dibandingkan rasa takutnya.

Beberapa kali Aruna memutuskan untuk tidak pernah menganggap Ayah kandungnya ada dan masih hidup. Banyak sekali waktu di mana di memutuskan untuk melanjutkan hidupnya seperti sebelum dia tahu tentang semua ini. Sayangnya sudah terlambat. Dia sudah terlanjur tahu. Seberapa keras dia berusaha untuk mengabaikan rasa ingin tahunya, rasa ingin tahu tadi terus saja menghantuinya.

Aruna sudah cukup familiar dengan bangunan ini. Dia sudah ke tempat ini tiga kali sebelumnya. Namun dia hanya sampai di depan gedung. Kini, dia benar-benar memasuki gedung dengan aura dingin ini, bersama Ayah dan Ibunya.

Setelah mengatakan tujuan kedatangan mereka kepada petugas penjaga, Aruna pun mengisi form kunjungan yang cukup panjang. Damar dan Ayu melihat di samping Aruna saat gadis itu sedang mengisi form tadi.

Setelah mengisi nama daftar pasien yang hendak mereka kunjungi, seorang petugas merubah ekspresinya. Dia seakan tidak yakin akan memberikan Aruna, Ayu, dan Damar ijin.

"Pasien Benny tidak pernah mendapatkan kunjungan dari siapa pun selama lebih dari dua puluh tahun lebih. Apa kau yakin sudah mengisi form ini dengan benar?" tanya seorang petugas laki-laki dengan seragam kemeja dan celana putih. Saat bertanya, petugas tadi menunjuk kolom bagian hubungan dengan pasien menggunakan bolpointnya.

"Iya," jawab Aruna. Dia bisa merasakan bagaimana suaranya tercekat.

"Boleh saya bicara berdua saja dengan Anda?" petugas yang sama bertanya pada Aruna.

Aruna menatap Ayu dan Damar bergantian seakan menunjukkan dia tidak siap dengan apapun yang akan dibicarakan petugas ini padanya jika mereka hanya berdua. Damar mengusap punggung Aruna dan menganggukkan kepala, seakan memberikan Aruna kekuatan dan kepastian bahwa mereka akan selalu di sana saat dirinya membutuhkan.

Aruna pun menoleh ke petugas tadi dan mengangguk. Sang petugas berjalan lebih dulu dan Aruna mengikuti di belakang. Hanya sepuluh langkah, sebelum sang petugas berhenti. Dia hanya ingin memberikan jarak dari orang tua Aruna.

"Ini pertama kalinya kau bertemu dengannya," kata petugas tadi. Bukan bertanya. Melainkan berkata dengan tegas, sebelum dia hendak mengatakan sesuatu yang harus dia sampaikan.

"Aku baru tahu tentang dia baru-baru ini. Dan tidak mungkin bagiku untuk tidak bertemu dengan Ayah kandungku sendiri," jelas Aruna.

"Aku mengerti," petugas yang sama berkata.

"Ada beberapa hal yang perlu kamu tahu sebelum aku membawamu untuk menemui pasien Benny," lanjut si petugas. Aruna mengangguk dan menunggu dengan sabar petugas tadi menyelesaikan kalimatnya.

"Sebaiknya kita duduk," dan petugas tadi mengajak Aruna duduk di bangku kayu yang dicat putih di dekat mereka. Sang petugas mempersilahkan Aruna duduk dengan tangannya. Dan saat Aruna sudah duduk, petugas tadi menempati tempat kosong di samping Aruna.

"Pasien Benny sudah dirawat di rumah sakit ini selama lebih dari dua puluh tahun. Selama itu, pasien sama sekali tidak menunjukkan perubahan yang diharapkan oleh sebagian besar keluarga pasien di sini. Bahkan, pasien Benny cukup sering menunjukkan sikap agresif kepada pasien lain. Karena itu, dia lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang isolasi. Jadi ... kalau Mbak membayangkan sosok yang akan menyambut anaknya dengan tangan terbuka, Mbak harus bersiap untuk kecewa mulai dari sekarang," terang si petugas.

"Anda pastinya aware dengan alasan dia dibawa ke sini kan?" tanya si petugas.

"Ya, aku tahu," jawab Aruna.

"Sulit bagi kami untuk membiarkan seseorang seperti Pak Benny berada di luar. Jadi .... Aku harap kamu mengerti jika sulit bagi kami untuk mengabulkan permintaan itu," lanjut si petugas.

"Aku ... entahlah ... aku tidak terlalu mengharapkan apa-apa saat datang ke sini. Hanya ingin melihatnya. Itu saja," terang Aruna.

"Baiklah. Kamu juga tidak berharap dia akan mengenalimu kan?" si petugas kembali bertanya.

"Tidak. Aneh jika dia malah mengenaliku," gumam Aruna.

"Baiklah kalau begitu. Aku akan membawamu untuk melihatnya," kata si petugas sambil berdiri dari tempat duduknya.

Aruna pun ikut berdiri. "Tunggu," potong Aruna.

"Bolehkah aku melihatnya bersama orang tuaku?" pinta Aruna dengan sangat.

Si petugas menoleh kemudian menatap Ayu dan Damar yang sedang berdiri beberapa langkah dari mereka.

"Kau boleh membawa satu orang saja," jawab si petugas.

"Terima kasih," jawab Aruna.

"Kalau kau mengijinkan, aku ingin menemanimu menemui Ayah kandungmu."

Aruna menoleh dan kaget saat melihat Malik sudah berdiri di sana. Dia menatap Aruna dengan mata teduhnya.

"Kumohon," imbuh pria itu kepada Aruna.

Aruna menoleh ke arah Malik dan orang tuanya secara bergantian. Dia kemudian menoleh ke Ayu dan Damar lagi. Orang tuanya mengangguk seakan mengerti apabila Aruna mengharapkan Malik lah yang menemaninya.

"Biarkan aku yang menemanimu," pinta Malik sekali lagi.

Aruna pun menganguk dan si petugas mengerti dengan berkata "Baiklah" kemudian membawa keduanya ke lorong yang membawa mereka masuk ke bagian rumah sakit yang lebih dalam.

Lorong yang mereka lalui benar-benar sunyi. Cat tembok putih dan lantai berwarna putih membuat rumah sakit tersebut tampak semakin dingin. Si petugas berhenti di sebuah ruangan di mana ada sebuah jendela kaca di bagian pintunya.

Aruna dan Malik masuk ke ruangan yang telah dibukakan oleh si petugas. Di dalam ruangan tersebut hanya ada empat kursi dan satu meja besar. Mejanya cukup besar untuk ukuran kursi yang disediakan. Ruangan juga tidak memiliki warna lain selain putih. Hanya ada aksen silver dari kursi yang tersedia. Selebihnya hanya warna putih.

"Kalian duduklah. Kami akan membawa pasien Benny ke sini," ucap si petugas.

Baik Malik dan Aruna mengangguk mengerti.

Malik menoleh ke Aruna dan dia bisa melihat ketegangan di wajah gadis itu. Dia bahkan tidak mempermasalahkan dirinya yang ada di sana.

Malik tidak berkata apa-apa. Hanya berusaha memberikan dukungan untuk Aruna tanpa dia harus mengucapkannya dalam kalimat.

Sekitar sepuluh menit kemudian, pintu kembali terbuka dan tangan Aruna langsung meraih tangan Malik dan mencengkeramnya. Malik menggunakan tangan satunya untuk membungkus kepalan tangan Aruna.

Petugas yang lain datang dengan seorang pria dengan seragam pasien berwarna putih tulang. Pria itu tinggi, berperawakan tegap, dengan sorot mata yang sangat tajam.

Pria ini kemudian duduk di kursi yang berada di seberang kursi yang diduduki Aruna dan Malik. Pria ini memakai seragam pasien dengan tangan terbungkus ke belakang karena pengait seperti pada sabuk kulit di bagian belakangnya.

Si petugas yang membawanya, kemudian berdiri di ambang pintu tanpa melihat ke arah mereka.

Selama beberapa detik, Aruna hanya duduk diam sambil menunduk. Dia bahkan tidak berani mengangkat kepalanya. Malik, di lain pihak, meremas tangan Aruna berusaha memberikan semangat untuk gadis itu. Malik juga memerhatikan si pria yang sudah pasti adalah Benny. Si pria tidak menoleh sedikit pun ke Malik. Dia hanya menatap Aruna tajam.

Malik kembali meremas kepalan tangan Aruna berusaha meyakinkan Aruna untuk segera menyelesaikan apa yang dia ingin lakukan.

Setelah beberapa saat, Aruna akhirnya mengangkat kepalanya. Matanya bergetar melihat sorot mata tajam yang ditujukan padanya. Pria ini, memiliki mata dan bibir yang mirip dengan Aruna. Aruna menjadi semakin gugup. Dia mengharapkan seseorang yang tidak akan menatapnya dengan sorot menakutkan seperti ini.

Baik Aruna maupun si pria masih saja diam. Aruna merasa kepalanya mendadak berat. Untuk mengeluarkan suara pun dia seakan kesulitan.

"Apa kabar?"

Aruna menoleh ke arah Malik dan Benny juga akhirnya menoleh ke Malik. Namun hanya dua detik. Setelah itu dia kembali menatap Aruna dengan tajam.

"Apa kau mengenaliku?" tanya Aruna pada akhirnya dengan suara bergetar. Dia tidak tahu apa yang harus dia katakana.

Sayangnya Benny tidak merespon pertanyaannya.

"Apa kau ingat aku?" Aruna kembali bertanya.

Dan sekali lagi, Benny hanya diam sambil terus menatap Aruna tajam.

"Kau membunuh istri, saudara, dan anak-anakmu. Apa kau ingat?" kembali Aruna memancing jawaban.

Masih, pria itu hanya diam dengan mulut tertutup rapat.

Aruna tidak mengerti, dia menoleh ke petugas yang berdiri tadi. Untungnya si petugas sedang melihat ke arah mereka.

"Jangan khawatir, ini normal. Dia hampir tidak pernah bicara," kata si petugas dengan senyum santainya.

Si petugas bahkan membantu Aruna dan Malik dengan mencoba berkomunikasi dengan Benny. Namun sama saja, Benny mengunci mulutnya dengan sangat rapat.

"Apa dia masih ingat dengan dirinya sendiri?" tanya Malik pada si petugas.

"Entahlah. Dia akan seperti ini setiap kali dokter bertanya padanya. Kalau pun dia bicara, dia hanya mengatakan makanan apa yang ingin dia makan saat itu. Dia lebih banyak menggunakan kekerasan di sini pada pasien lain," lanjut si petugas masih dengan senyum ramah.

Anehnya saat itu, Benny menoleh ke petugas, dan berkata, "Aku mau makan nasi Padang."

"Lihat kan?!" seru si petugas kepada Malik dan Aruna seakan dia merasa senang bisa membuktikan apa yang baru saja dia katakan.

"Kalau kau bisa mendapatkan masakan Padang di sini, aku bisa meminta steak," ujar si petugas sambil menatap Benny jengkel.

"Malik, sebaiknya kita pulang," kata Aruna lirih.

"Baiklah."

Malik mengatakan pada si petugas bahwa mereka sudah selesai. Si petugas mengerti dan mengajak Benny kembali ke ruangannya. Tepat saat Benny berjalan hendak melewati pintu dengan si petugas memegang lengannya, dia berkata, "Aku tidak mengenalmu. Jangan minta aku melihat kalian lagi."

Tidak hanya Malik dan Aruna yang kaget dengan kalimat yang meluncur dari mulut Benny karena si petugas juga tampak syok.

"Aku akan membawa pasien kembali ke kamarnya," kata si petugas yang sempat bingung.

***

Pagiii .... Gimana rencana tahun baru nanti malam? Semoga kalian bisa menghabiskan waktu dengan saudara dan orang yang kalian sayangi. 

Last day of 2021. Semoga tahun depan semuanya lebih baik bagi kita semua dan impian-impian kita bisa tercapai. Aamiin ... 

Terima kasih sudah baca cerita yang aku tulis. Seperti biasa, jangan lupa vote dan komennya. Love you sooooooooooo muchhh!!!! 

Published on Friday, Dec 31, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top