Part 48 - Restu

"Mama bersikap heboh dengan mengusirku dari kamar. Katanya aku harus menemanimu."

"Ya ... tentu .. tidak masalah. Lagipula ini kan kamarmu. Atau kalau kamu mau, aku bisa pindah ke kamar tante Anggie," kata Aruna sedikit canggung.

Malik tertawa kecil. Keduanya masih berdiri di ambang pintu. "Kamu di sini aja, temani aku," kata Malik yang sudah melangkah masuk dan menarik tangan Aruna lembut.

Malik memerhatikan lampu kamar yang sudah padam. "Sudah mau tidur?" tanya Malik pada Aruna dan Aruna menyadari Malik melihat ke arah kamar yang sudah gelap. Dia pun mengangguk.

"Tidurlah," imbuh Malik.

"Kau juga segera tidur kan? Kamu .... gak akan .... tidur di sofa kan?" kata Aruna.

"Aku tidak keberatan tidur di sofa," ucap Malik.

"Aku," sergah Aruna cepat.

Malik menatapnya bingung. Aruna meneruskan, "Aku yang keberatan. Tidak masalah kita berbagi itu," ucap Aruna sambil menunjuk ranjang.

"Baiklah," jawab Malik sambil mengangguk. "Kamu duluan aja. Aku perlu mengecek email kerjaan dulu."

"Baiklah," kata Aruna kali ini dia yang mengangguk.

*

Sudah hampir satu jam Aruna menutup badan dan separuh wajahnya dengan selimut. Dia tidak ingin Malik tahu dia belum tidur. Tapi dia juga tidak ingin tidur. Dia masih merasa ini semua seperti mimpi. Aruna menikmati melihat Malik terlihat serius dengan pekerjaannya. Malik yang dia cintai. Dia takut kalau dia tertidur, dan saat terbangun, Malik akan berubah lagi.

Karena itu Aruna berusaha sekuat tenaga menahan matanya yang semakin berat. Dia bahkan beberapa kali menggigit bibirnya pelan hanya agak dia kembali sadar.

Setelah beberapa saat, Malik terlihat meletakkan tabletnya dan berdiri sambil meregangkan badannya. Malik berjalan menuju tempat tidur dan dengan sudut matanya, Aruna bisa melihat Malik berjalan ke arah Aruna berbaring.

Aruna pun dengan cepat menutup matanya.

Pria itu berbisik lembut, "Aku cinta sekali sama kamu. Aku gak mau wanita lain selain kamu. Aku mau selamanya sama kamu. Arunaku."

Aruna bisa merasakan kecupan singkat di pipi dan dahinya. Setelah kecupan singkat itu, Aruna bisa merasakan Malik berjalan ke arah lain dan naik ke tempat tidur tepat di sampingnya.

Aruna berusaha menahan deru jantungnya. Dia ingin sekali membuka mata dan mengucapkan hal yang sama. Namun, Aruna menahan diri.

*

Keesokan paginya, Aruna terbangun dan mendapati Malik terbaring menghadap dirinya. Gadis itu tersenyum dan menolak untuk menutup matanya kembali. Malik nampak sangat damai dalam tidurnya.

Hanya beberapa detik dia bisa menikmati ketenangan itu karena menit berikutnya, Malik juga membuka matanya. Mereka berbaring berhadapan dengan mata saling berpandangan.

"Pagi," sapa Malik dengan suara parau khas orang bangun tidur.

"Pagi," kata Aruna hampir bersamaan.

"Tidurmu nyenyak?" tanya Aruna karena dia melihat Malik tertidur dengan sangat pulasnya.

"Sangat nyenyak. Bagaimana denganmu?" Malik bertanya balik.

"Aku juga," jawab Aruna.

"Aku tidak ingin pulang. Aku ingin kita di sini terus," ucap Malik berubah serius.

Aruna hanya tertawa kecil mendengarnya.

"Aku tidak bercanda," protes Malik.

"Tidak semudah itu kan? Kamu juga punya bisnis di mana banyak orang menggantungkan hidupnya di sana. Dan aku masih memiliki orang tua di rumah," kikik Aruna.

Mata Malik menggelap. Aruna memerhatikan perubahan raut wajah Malik.

"Ada apa?" tanya Aruna dengan alis menyatu.

"Aku mau kamu jadi istri aku. Kamu mau kan setelah kita pulang dari sini, langsung menikah denganku? Tidak perlu pesta dulu. Kita langsung ke kantor agama. Nanti tante Ayu dan om Damar langsung jemput kita. Mau kan?" desak Malik dan hal tersebut membuat Aruna tergelak.

"Aku memang masih percaya sama kamu tapi tidak dengan mama dan papa. Kamu harus meyakinkan mereka," celetuk Aruna.

"Tapi aku serius mau kita langsung nikah. Tolong jangan menolak," pinta Malik.

"Kamu kenapa sih!" kata Aruna sambil mendorong baru Malik kemudian bangkit dari tidurnya.

"Sudah, aku mau mandi dulu," ucap Aruna kemudian menghilang di balik pintu kamar mandi.

Malik semakin takut. Dia harus memastikan kali ini Aruna yang tidak akan mundur dan meninggalkan dia.

Dengan ketakutan itu, Malik bangkit dan keluar kamar menuju kamar mamanya. Apa yang dia katakan barusan, harus terwujud.

*

Malik mengetuk pintu kamar Anggie dan tidak lama Ibunya membuka pintu. Tidak seperti Malik yang masih terlihat berantakan dengan rambut acak-acakan, Anggie terlihat sudah memoleskan make-up tipis di wajahnya.

"Ngapain?" tanya Anggie pada anaknya.

"Ma, temeni Malik telepon tante Ayu dan om Damar sekarang," tandas Malik cepat.

"Hah?! Ngapain telepon mereka?" seru Anggie tidak mengerti.

Malik menyeruak masuk dan kemudian duduk di kursi di dalam kamar. Malik langsung menghubungi seseorang walaupun Anggie berdiri menghadap dirinya dan menunggu penjelasan Malik.

"Pa, papa sibuk? Malik minta waktunya sebentar," ucap Malik dan Anggie menatap anaknya semakin tidak mengerti.

Detik berikutnya, Malik mencoba meyakinkan orang tuanya untuk menelepon orang tua Aruna saat itu juga. Malik tidak menjelaskan kenapa, namun dia mendesak bahwa nantinya kalau mereka pulang, dia ingin langsung ke kantor urusan agama.

"Kenapa gak pulang dulu dan menjelaskan ke orang tua Aruna secara langsung?" tanya Ayahnya heran.

"Malik minta tolong Pa. Kali ini tolong kabulkan permintaan Malik," pinta Malik dengan wajah frustasi.

"Apa kamu lupa, saat membatalkan pertunangan dengan Aruna, kamu juga membuat keputusan tiba-tiba seperti ini. Bagaimana papa bisa meyakinkan mereka kalau papa sendiri gak yakin sama permintaan kamu kali ini nak?" kata papanya di seberang sana.

Taufik terlihat duduk di kursi di ruangan kantornya dengan setelan jas lengkap. Malik menyisir rambutnya kasar.

"Ma ...," kali ini Malik memohon pada Anggie dengan mata memelas.

"Mama bisa percaya sama kamu kan kali ini?" tanya Anggie pelan dan Malik mengangguk mantap.

Akhirnya, Anggie mencoba meyakinkan suaminya.

"Ma ... Mama lupa gimana marahnya Damar sama aku waktu Malik membatalkan pertunangan anak kita?" ucap Taufik.

"Ya sudah nanti biar Malik yang ngomong sama Ayu dan Damar. Kita support dia aja. Pa ... Aruna di sini dan kalau dia yakin, papa juga harus percaya sama Malik," imbuh Anggie.

Taufik membuang napas kasar dan mengangguk pelan.

"Makasih Pa," ujar Malik.

Anggie pun menelepon Ayu sedangkan Malik tidak memutus panggilan video dengan Ayahnya.

Anggie berjingkat pelan saat mama Aruna mengangkat panggilan teleponnya.

"Ayu kamu lagi di mana? Lagi sama Damar gak?" tanya Anggie.

Jeda.

"Damar juga di situ?! Kebetulan sekali," Anggie terlihat lega. "Bagus. Ini ... ada sesuatu yang mau disampaikan sama Malik. Kita boleh telepon kalian sebentar?" tanya Anggie terlihat sama khawatirnya dengan Malik.

Jeda.

"Iya ini sekarang."

Jeda.

"Oke .. oke .... kita telepon sekarang," jawab Anggie pelan sebelum menutup sambungan teleponnya.

Anggie mengangguk pada Malik dan kemudian Malik bergegas ke kamar mandi merapikan rambutnya.

Tidak lama, dia kembali menghadap ponselnya dan menambahkan kontak tante Ayu ke panggilan video yang sudah tersambung dengan Ayahnya tadi.

Malik duduk dengan sopan menghadap ponsel dan Anggie duduk di sandaran kursi di sampingnya. Tidak lama, wajah tante Ayu dan om Damar terlihat di layar ponselnya. Mereka terlihat sedang duduk di dalam mobil.

"Ada apa Malik?" tanya Ayu.

"Siang tante Ayu ... om Damar. Tante sama om pastinya tahu Aruna sedang di sini. Saya sangat berterima kasih sama om dan tante sudah mengijinkan Aruna datang ke sini, menemui saya. Kalau Aruna tidak dengan beraninya datang ke sini, selamanya mungkin saya juga tidak akan akan memiliki keberanian dan keyakinan seperti sekarang. Om, tante, Malik tahu Malik sudah mengucapkan minta maaf entah berapa kali setelah membatalkan pernikahan Aruna ..... dan ..... Malik bersedia meminta maaf seumur hidup Malik."

"Tapi, Malik mohon .... Om Damar dan Tante Ayu bisa memercayakan Aruna sekali lagi sama Malik. Malik janji, kali ini saya nggak akan pernah ninggalin Aruna dan akan melakukan apapun itu supaya bisa membuat Aruna bahagia. Malik ingin menikahi Aruna setelah kita sampe di Indonesia nanti," kata Malik serius.

Ayu dan Damar terlihat saling melempar pandangan sebelum kembali menatap Malik.

"Kenapa berubah pikiran lagi?" keluh Damar.

Malik menoleh ke Anggie kemudian menatap layar ponsel lagi. Dia tahu dia tidak akan bisa semudah itu meyakinkan Ayu dan Damar.

"Pa, Malik mau bicara bertiga aja sama om Damar dan tante Ayu," kata Malik.

"Kamu yakin?" tanya Taufik.

"Iya Pa. Malik tutup dulu sambungan dengan Papa ya," pinta Malik sopan dan Taufik mengangguk.

Setelah sambungan dengan Taufik terputus, Malik mengambil ponselnya dan berjalan ke luar kamar.

"Kamu mau ke mana?" tanya Anggie bingung.

"Malik perlu ngomong bertiga aja sama tante Ayu dan om Damar. Nanti Malik balik lagi ke sini," kata Malik kemudian mencium pipi Ibunya cepat dan keluar kamar.

Malik berjalan di sepanjang koridor dan menemukan sebuah balkon yang menghadap ke pegunungan indah di Interlaken. Malik pun berjalan ke sana dan kemudian kembali menatap ponselnya.

"Ada hal penting yang Om Damar dan Tante Ayu harus tahu. Alasan kenapa dulu Malik dengan pengecutnya membatalkan pernikahan dengan Aruna," kata Malik serius dan orang tua Aruna mendengarkan dengan seksama.

*

Malik bisa melihat bagaimana terkejutnya orang tua Aruna saat Malik menceritakan tentang ancaman Wulan.

Tante Ayu bahkan menutup mulutnya dan terlihat seperti akan menangis.

"Kalau begitu ... jangan berubah pikiran. Pilihan kamu dulu sudah benar. Aruna gak boleh tahu. Mama juga gak mau Aruna tahu. Kalau kamu mau melindungi Aruna, tante setuju sama keputusan kamu dengan tidak menikahi Aruna," seru Ayu dengan suara bergetar.

"Ma ... tenang Ma," Damar terlihat menenangkan istrinya. "Mungkin memang sebaiknya Aruna tahu."

"Papa pasti gak serius kan! Gimana kalau Aruna maksa kete ... Nggak... Nggak ... Aku gak mau!" seru Ayu terlihat sedikit terguncang.

"Ma ... tenang Ma," Damar kembali menenangkan istrinya

"Malik gak bisa hidup tanpa Aruna, tante. Dan tante juga lihat sendiri Aruna jauh-jauh ke sini buat saya. Aruna masih percaya sama saya, jadi waktunya buat saya untuk percaya sama Aruna," ucap Malik.

"Nggak, kali ini tante nggak akan kasih restu. Lagipula, apa yang bisa menjamin teman kamu Wulan itu tidak akan menyakiti Aruna lagi kalau dia tahu kamu nikah sama Aruna!" bentak Ayu.

"Tante, tolong kasih Malik kesempatan. Malik sangat mencintai Aruna. Hidup Malik cuma Aruna," pinta Malik, dia merasa badannya sangat lemas. Dia tidak menyangka reaksi Ayu akan seperti ini. Dia tidak menyangka Ayu berpikir caranya dulu adalah yang terbaik.

"Gimana kalau Aruna jadi berubah setelah tahu tentang ini. Belum lagi, dia tidak tahu kalau Aruna masih hidup. Tante nggak mau Aruna ... Aruna memiliki hidup yang sempurna sama tante dan om. Jangan merusak itu karena keinginan egois kamu!" Ayu kembali berteriak.

Malik terhuyung ke belakang. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Sebuah air mata dengan cepat meluncur dari matanya.

"Malik, nanti kita telepon kamu lagi. Om akan bicara sama tante dulu," ucap om Damar tampak menenangkan.

Malik mengangguk. "Om Damar, tante Ayu, Malik minta maaf semuanya jadi seperti sekarang karena Malik. Karena Malik bertemu dengan orang yang salah," ucap Malik pelan.

"Jangan menyalahkan diri kamu buat kejahatan orang lain," kata om Damar lagi. "Kami tutup dulu."

Saat sambungan telepon itu terputus, Malik merasa dunianya serasa senyap. Dia tidak akan bisa jika disuruh meninggalkan Aruna lagi. Dia sudah tidak sanggup untuk melakukan itu lagi.

*

"Dasar rubah!"

Wulan menoleh dan mendapati Sydney berdiri lima langkah darinya sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Maksud kamu apa?! Apa kamu gak keterlaluan mengatai orang tanpa alasan?!" sungut Wulan. Beberapa hari ini, dia cukup stres dengan kenyataan dia tidak bisa menghubungi Malik.

"Apa kamu gak malu bilang ke semua orang kamu sedang liburan sama Malik padahal kenyataannya kamu malah cari uang di sini," cemooh Sydney.

"Aku gak perlu jelasin ke kamu," sentak Wulan.

"Siapa juga yang mau dengar penjelasan kamu! Semua yang keluar dari mulut kamu itu dusta. Kamu pikir orang masih akan ada yang percaya sama kamu? Hah?!" sentak Sydney.

Wulan mengepalkan tangannya. Kalau saja tidak ada banyak orang di sana, Wulan bisa saja melayangkan tamparannya ke wajah Sydney.

"Aku gak mau buang waktu sama orang temperamen kayak kamu," dengus Wulan.

Wulan yang sudah berbalik dan berjalan beberapa langkah, kemudian berhenti. Dia memutar tubuhnya lagi dan bertanya, "Apa kamu bilang Aruna?"

"Apa urusannya Aruna sama kamu?" cemooh Sydney.

"Jadi kamu bilang?" ulang Wulan dengan sorot mata menakutkan.

"Di antara semua orang, bukankah Aruna yang paling berhak tahu kebohongan busuk kamu?" hardik Sydney.

Wulan diam. Dia memerhatikan wajah Sydney. Dia memiliki firasat bahwa Sydney telah memberitahu Aruna. 

* * *

Rencananya mau habis di 50 part tapi sepertinya bakal lebih. Tapi aku usahakan tidak lebih sampe panjang banget. Mungkin less than 60 Parts. 

Semoga kalian suka part ini. Jangan lupa vote dan komen ya. Malik dan Aruna cinta kalian. 

Published on Monday, Dec 20, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top