Part 47 - It Gets Stronger
"I'm getting back my fiance. I'm here stealing my fiance," ucap Aruna sembari tersenyum lebar.
Malik membeku. Dia merindukan gadis yang saat ini berdiri di depannya dengan senyumnya yang cerah. Matanya mulai berkaca. Bolehkah dia berlari sekarang dan membungkusnya dalam pelukannya sekarang? Apakah dia masih harus menahan dirinya? Apakah dia boleh mencoba kesempatan ini? Apakah boleh?
Beberapa hari ini Malik tidak yakin akan keputusannya. Dia terlalu takut membiarkan Aruna menghadapi kenyataan tentang orang tua Aruna. Tapi dia juga masih tidak sanggup merelakan Aruna. Is this the sign? The sign that he should take the risk, now that Aruna is here, standing right in front of his eyes.
"Ex fiance," lirih Malik sambil menatap Aruna lekat.
Gadis itu masih saja tersenyum sambil mengangguk. "You're right. Ex fiance. Forgive me. But you never be my ex bestfriend right?" ucap Aruna.
Malik bisa melihat wajah lelah Aruna walaupun gadis itu masih dengan bodohnya tidak pernah lupa untuk tersenyum. Apa yang membuatnya sampai jauh-jauh ke sini? Aruna diam dan Malik tahu betul dia menunggu reaksinya. Malik berjalan perlahan mendekati Aruna.
Setelah tiga langkah lebar, kini Malik dan Aruna hanya berjarak tiga puluh centi.
"Kamu ... kenapa nangis?" gumam Aruna pelan dengan mata mengernyit. Malik sendiri sudah merasakan air mata menggenang di matanya dan dia tidak mampu membendungnya. Dalam satu kali sentakan, Malik menarik Aruna mendekat ke arahnya dan memeluknya erat.
"Kenapa kau bodoh sekali," kata Malik di sela pelukannya yang erat. Malik melingkarkan kedua tangannya dengan sempurna ke badan Aruna. Dia sangat merindukan gadis ini. Dia terlalu takut kehilangan Aruna. Dia terlalu takut Aruna kehilangan dirinya sendiri. Namun, dia tidak bisa menahannya lagi. Dia ingin bersikap egois.
"Hhmm?" tanya Aruna dengan suara teredam karena pelukan Malik.
"Kenapa kau memelukku? Apa berarti kau masih menyukaiku?" imbuh Aruna tapi Malik sepertinya tidak berniat melepas pelukannya.
"Aku tidak sanggup lagi jauh darimu. Aku benar-benar tidak bisa hidup tanpa kamu di sampingku," isak Malik. "Kenapa kau bodoh sekali. Kenapa kau jauh-jauh menemuiku," kata Malik dengan suara bergetar.
*
Aruna mengerutkan dahinya. Ini sama sekali jauh dari apa yang dia bayangkan. Kenapa Malik menangis? Kenapa Malik mengatakan dia tidak sanggup jauh darinya. Namun Aruna diam. Dia mengulurkan tangannya dan mengusap punggung Malik lembut. Malik semakin terisak dalam diam.
Seharusnya hanya tawa yang menular. Namun nyatanya, mata Aruna ikut berkaca-kaca. Dia tidak tahu apa yang membuat Malik menangis namun Malik tidak pernah terisak sampai seperti ini di hadapannya. Dan ... dia sangat merindukan pria ini.
Setelah beberapa menit, Malik akhirnya mengurai pelukannya. Pria itu menangkup wajah Aruna dengan kedua tangannya kemudian mencium dahi Aruna.
"Kenapa kau bodoh sekali," ulang Malik namun dengan tatapan yang teduh.
"Bisa berhenti mengatakan aku bodoh," sela Aruna.
"Karena kau memang bodoh dan aku berterima kasih untuk itu," ucap Malik.
"Ayo, kau perlu istirahat," imbuh Malik cepat kemudian menggandeng tangan Aruna.
Aruna pun menurut dan berjalan mengikuti Malik. Malik mengambil ransel Aruna dan menyampirkan di bahunya. Ada banyak pertanyaan yang ingin dia ajukan.
Saat di dalam kereta, Malik duduk di samping Aruna dan masih menggenggam tangan Aruna erat seakan Aruna akan menghilang kalau dia tidak melakukannya.
"Kita mau ke mana?" tanya Aruna.
Malik menoleh dan menjawab, "Ke hotel. Mama nunggu kita di sana."
"Mama? Maksud kamu tante Anggie?"
Malik mengangguk, masih menatap Aruna lekat. Pria itu menyelipkan rambut Aruna ke belakang telinga dengan sorot mata dalam.
"Wulan nggak pergi sama kamu kan?" kali ini Aruna tidak mau melepas kesempatan untuk bertanya langsung pada Malik dan melihat reaksi pria itu. Satu-satunya pria yang selalu bisa dia percaya.
"Karena itu kamu datang ke sini?" Malik bertanya sembari memiringkan badannya agar bisa menghadap Aruna.
Aruna mengangguk. "Kenapa berbohong?" tanya gadis itu.
"Kamu tahu dari mana?" Malik kembali bertanya.
Aruna menghela napas panjang. Dari tadi Malik terus bertanya padanya tanpa memberikan jeda untuknya mendapatkan jawaban.
"Sydney lagi syuting di Thailand dan mereka secara tidak sengaja bertemu. Aku ... heran kenapa kamu bilang Wulan lagi sama kamu waktu aku tanya beberapa hari lalu. Apa kalian putus?" tanya Aruna.
Malik diam seperti sedang berpikir keras.
"Malik, apa kalian putus?" Aruna mengulang pertanyaannya.
Pria itu menggelengkan kepalanya. Aruna tidak mengerti dengan bahasa tubuhnya.
"Jadi ....?" Aruna menuntut jawaban.
"Can you promise me one thing?" kata Malik sambil mengeratkan genggaman tangannya. "Mulai saat ini aku tidak akan berbohong lagi sama kamu. Kenyataannya, aku tidak sanggup buat jauh dari kamu. I've been there and that suffocates me. I can't really breathe normally. Jadi ... aku minta kamu mau berjanji sama aku satu hal. Dan ini sangat penting."
Aruna mengerutkan dahinya. Kata-kata Malik membuatnya semakin bingung. Tanpa menunggu jawaban dari Aruna, Malik meneruskan kata-katanya.
"Nantinya apapun yang terjadi, seburuk apapun harimu, semenakutkan bagaimana pun hal yang akan kau hadapi, berjanjilah kau tidak akan mendorongku jauh," pinta Malik dengan mata bergetar seakan dia membayangkan sesuatu yang menakutkan akan terjadi.
"Malik aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan. Memangnya kamu mikirkan apa? Dan ... selama ini ... kamulah yang mendorongku jauh," ucap Aruna pelan.
Malik menarik Aruna kembali ke dalam pelukannya. "Aku minta maaf," lirih Malik. "Aku memang bodoh. Aku tidak cukup berani. Maafkan aku. I will do the opposite way this time as long as you can promise that."
Aruna tertawa kecil dalam pelukan Malik. Setelah tadi mengatai Aruna bodoh, sekarang Malik mengatai dirinya sendiri bodoh. Aruna ingin bertanya lebih lanjut namun kereta berhenti dan Malik mengajaknya turun.
Dari naik kereta, turun, hingga sekarang berjalan menuju hotel, Malik tidak sekalipun melepas genggaman tangannya. Mereka berjalan pelan melewati perumahan penduduk yang sangat cantik karena bunga berwarna-warni yang menghiasi rumah mereka. Jarak dari satu rumah dengan rumah lainnya juga tidak berdekatan.
"Come on," Malik menarik tangan Aruna dan beberapa meter dari sana, Aruna bisa melihat sebuah hotel.
Saat sudah masuk ke dalam lobby hotel, Aruna langsung disambut tante Anggie yang ternyata menunggu mereka.
"Aruna anakku. Kamu ke sini sama siapa? Ada keperluan? Sampe kapan?" tanya tante Anggie sembari membungkus Aruna ke dalam pelukan hangatnya.
"Aruna nggak tahu Malik ke sini sama tante. Mama juga nggak tahu," ucap Aruna.
"Iya, Malik yang nyuruh tante tutup mulut," jawab Anggie.
"Kenapa?" tanya Aruna bingung.
"Tante juga nggak tahu. Tapi daripada dia gak balik dari liburannya, tante milih ngikutin kemauan dia," cibir Anggie sambil melirik anaknya.
"Malik antar Aruna ke kamar dulu Ma," ucap Malik dan Anggie mengangguk.
"Nanti malam kita makan malam bersama ya," kali ini Anggie menatap Aruna.
Aruna pun mengangguk sambil tersenyum sopan. Malik dan Aruna pun berjalan ke dalam lift.
"Kamu menginap di mana?" tanya Malik.
Aruna tertawa kecil. "Aku baru datang pagi ini dan sama sekali tidak menyewa penginapan," jelas Aruna.
"Apa? Kamu baru datang pagi ini? Jadi ... kamu hanya bawa ini?" seru Malik sambil menunjuk ransel Aruna yang masih tergantung di bahunya.
"Aku ... membayangkan kau akan mengusirku. Jadi, aku berencana langsung pulang kalau itu terjadi. Hanya saja, aku tidak tahan buat tahu kenapa kamu bohong soal Wulan. Dan aku tidak bisa tanya hanya hal sepenting ini lewat telepon," urai Aruna.
Pintu lift terbuka dan keduanya keluar. Namun Malik berhenti di depan lift dan berdiri menghadap Aruna.
"Kenapa tidak menungguku pulang dan baru bertanya?" tanya Malik lagi tidak percaya.
"Aku ... tidak sabar menunggu. Kalau aku masih memiliki kesempatan sama kamu, aku mau ambil kesempatan itu secepatnya, sekecil apapun kemungkinan itu," kata Aruna dengan wajah memerah.
Malik menatapnya dalam. Sangat dalam hingga rasanya, tatapan mata Malik menghujam hingga jantungnya. "Maafkan aku," ucap Malik.
"Aku sangat bersalah sama kamu. Maafkan aku," ulang Malik.
"Apa maksudnya .... ini, kita memiliki kesempatan?" Aruna memastikan.
"Dari dulu sampai sekarang, aku cuma milik kamu," ucap Malik.
"Dan kau pernah jadi milik Wulan," ejek Aruna.
"Tidak pernah ada Wulan. Walaupun dulu kita dekat, hubungan kami sama sekali tidak seperti yang kau bayangkan," jelas Malik tegas.
"Tapi kau yang bilang akan menikahinya," Aruna mengingatkan.
"Aku berbohong," cetus Malik cepat.
"Berbohong? Kenapa?" Aruna mengerutkan dahinya.
Lagi, Malik terdiam dan raut wajahnya menjadi dua kali lebih serius dibandingkan sebelumnya.
"Bagaimana dengan Sebastian?" tanya Malik tiba-tiba.
"Kau masih bersamanya?" Malik kembali bertanya meminta kepastian.
"Kami sempat berkencan ... tapi ... sangat singkat. Dan sekarang, tidak lagi. Aku tidak akan berdiri di sini kalau aku masih berkencan dengan Sebastian," tegas Aruna.
"Baguslah," Malik menghembuskan napas lega.
"Jadi bagaimana dengan Wulan?" kali ini Aruna yang meminta kepastian.
"Kita bahkan tidak pernah berkencan," jawab Malik dengan senyum kecil di bibirnya.
"Aku tidak mengerti. Kalau kalian tidak pernah berkencan, lantas kenapa kamu mengatakan akan menikahinya? Dan kenapa kau membatalkan pertunangan kita?" tanya Aruna, terlihat mencoba menerka.
"Aku akan menjelaskannya tapi tidak sekarang. Sekarang, kamu butuh istirahat," kata Malik kali ini menarik tangan Aruna dan membawanya ke kamar hotel.
*
"Ini kamar siapa?" tanya Aruna saat sudah masuk ke dalam kamar sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar.
"Kamarku. Awalnya aku pikir akan membiarkanmu beristirahat selama beberapa jam. Aku tidak tahu kamu belum memesan penginapan. Kau bisa tidur di sini malam ini. Aku bisa tidur sama mama," ucap Malik.
"Kamu ... bisa tidur di sini kalau kamu mau," ucap Aruna hati-hati, tapi dia kemudian cepat-cepat menambahkan, "Ini bukan pertama kalinya kita tidur bareng, .. mak .. maksudku bersebelahan. Dan aku percaya sama kamu."
Malik tertawa melihat melihat kecanggungan Aruna. Malik mendekat dan memeluk Aruna singkat. "Istirahatlah. Aku akan menjemputmu untuk makan malam," pria itu kemudian keluar dari kamar. Namun sebelum menutup pintu, Malik berhenti, kemudian berbalik.
"I love you. And it gets stronger," ucap Malik kemudian tersenyum simpul dan menutup pintunya.
*
Setelah makan malam yang cukup melelahkan karena tante Anggie tidak hentinya bertanya secara detil kapan Aruna sampai, dia datang bersama siapa, apakah orang tuanya tahu, dan kenapa dia ke Swiss, Aruna akhirnya bisa kembali ke kamarnya.
Saat makan malam tadi, Anggie juga sempat menelepon orang tua Aruna dan mengatakan anak mereka sedang bersamanya. Ayu tentu merasa sangat lega mendengarnya. Aruna tahu betul bagaimana beratnya mama dan papanya memberikan dirinya ijin untuk bisa datang ke sini.
Mereka menginap di Victoria Jungfru di mana pemandangan alam Interlaken bisa terlihat dari sini.
Aruna tidak banyak mengobrol dengan Malik karena tante Anggie tidak hentinya bertanya padanya. Aruna hendak merebahkan badan di atas ranjang saat pintu kamarnya diketuk. Aruna pun berjalan menuju pintu dan melihat ke luar melalui door viewer atau kaca kecil bulat yang ada di pintu. Malik berdiri di sana.
Aruna mengatur napasnya sebelum membuka pintu.
"Ada apa?" tanya Aruna saat sudah membuka pintunya.
"Aku ... bisa tidur di sini?" tanya Malik sambil mengusap tengkuknya.
"Hah?" respon Aruna.
"Mama bersikap heboh dengan mengusirku dari kamar. Katanya aku harus menemanimu," ucap Malik terlihat menahan malu.
*
Malik berjalan kembali ke kamar mengekor Ibunya. Namun saat sudah di depan pintu, Ibunya berhenti mendadak hingga Malik menabraknya.
"Ada apa Ma?" tanya Malik bingung.
Anggie berbalik. "Kamu ngapain di sini?" tanya Anggie sinis.
"Kamar Malik dipake Aruna Ma," jelas Malik dengan wajah heran seakan hal itu sudah jelas.
"Aruna jauh-jauh ke sini buat kamu. Akhirnya ada kesempatan Aruna bisa jadi calon menantu Mama lagi. Mama gak mau kesempatan ini hilang. Lagipula Mama percaya sama kamu," kata Mamanya serius dan penuh penekanan sebelum membuka pintu dan membantingnya tepat di depan Malik.
"Tapi Malik yang gak percaya sama diri Malik," gumam Malik lesu.
*
Semenjak bertemu dengan Sydney beberapa hari lalu, Wulan merasa tidak tenang. Gadis itu bisa saja mengatakan pada Aruna tentang pertemuan mereka. Setelah cukup lama berada di Thailand, Malik tidak sekali pun menanyakan keadaannya.
Walaupun masih marah atas apa yang Malik perbuat saat meninggalkannya sendirian di bandara, Wulan masih sangat menginginkan Malik. Kalaupun Malik tidak bersamanya, pria itu harus menepati janjinya untuk tidak menemui Aruna.
Wulan membenci Aruna dari dulu dan sekarang rasa benci itu semakin besar. Semua yang tidak dimiliki Wulan, dimiliki Aruna. Padahal, mereka memiliki latar beakang sama.
Wulan pun memutuskan menelepon Malik. Namun, hingga dua puluh panggilan tidak terjawab, pria itu tidak menerima panggilan teleponnya.
*
* ** Anggie, the lady they met, and Malik * * *
Setelah ini, gantian, kita bakal sama-sama lihat perjuangan Malik. Tetap setia di sini ya. Jangan lupa vote dan komennya.
Sampai ketemu hari Senin, dan semoga akhir pekan kalian seru dan menyenangkan :)
Malik dan Aruna cinta kalian!!
Published on Saturday, Dec 18, 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top