Part 45 - Jangan Membenciku
Sebastian membawanya ke sebuah retoran mewah untuk romantic dinner yang dia sebutkan tadi. Aruna sendiri belum pernah ke tempat itu, jadi saat pertama kali masuk, hal mencolok di dalam restoran tersebut adalah sebuah pohon besar yang menjulang tepat di tengah-tengah restoran hingga ujung pohon menyentuh langit-langit bangunan.
Sebastian menggandeng tangan Aruna dan mengajaknya duduk di lantai dua yang bisa terlihat dari lantai satu juga karena design mezaninenya.
"Dari mana kau tahu tempat ini? Aku bahkan belum pernah ke sini," ucap Aruna sambil melepas sling bag yang dia bawa dan menaruhnya di kursi kosong tepat sampingnya.
"Aku mencari tahu di internet dan restoran ini salah satu rekomendasi yang diberikan Google," ucap Sebastian.
Seorang pelayan datang dan memberikan buku menu kepada keduanya sebelum dengan sopan, mempersilahkan dirinya sendiri.
"Bagaimana progress rencana pameranmu?" tanya Sebastian dengan buku menu yang masih tertutup, sedangkan Aruna sudah mulai memilih-milih.
"Entahlah. Aku masih memiliki sepuluh lukisan yang rampung. Mungkin aku belum bisa kalau mau mengadakan pameran tunggal," jawab Aruna dengan mata masih fokus dengan berbagai menu yang ada di buku.
"If you can't go with solo exhibition, sebaiknya kau mengikuti collective exhibition seperti terakhir kali di New York," usul Sebastian.
"Ya, rencananya begitu. Aku harus segera mencari info," jawab Aruna kali ini sudah mengangkat kepala dan jari telujuk kanan sedang menunjuk ke menu yang dia pilih.
"Aku pesan ini," imbuh Aruna.
"Baiklah, aku akan memesan yang sama," sahut Sebastian.
Sebastian mengangkat tangannya dan seorang pelayan dengan sigap mendatangi meja mereka dan mencatat pesanan yang disebutkan Sebastian.
"Maaf beberapa hari ini aku tidak datang ke tempatmu," kata Aruna.
"Tidak masalah. Aku juga menyesal kalau kau datang dan aku tidak bisa menemanimu," ucap Sebastian dengan senyum di wajah.
"Apakah restoranmu masih ramai?"
"Ya, syukurlah. Semua berjalan sangat lancar. Lebih dari yang aku bayangkan. Kami juga sedang mencari pegawai tambahan untuk tempat kami," ucap Sebastian.
Aruna mengangguk pelan. Dia menatap wajah tampan Sebastian, berusaha menghipnotis dirinya sendiri dengan segala yang dimiliki Sebastian.
"Kenapa?" tanya Sebastian sambil tertawa kecil.
"Kenapa apa?" Aruna bertanya balik.
"Kenapa kau terus melihat wajahku?" tanya Sebastian.
"Kau sangat tampan dan baik. Wanita mana pun yang mendapatkanmu pasti sangat beruntung," ucap Aruna masih menatap wajah pria yang duduk di depannya.
Sebastian mengernyit tidak mengerti. "Aruna, you are that lucky girl," ucap Sebastian merasa aneh. Seakan Aruna lupa bahwa dialah pacarnya.
"Yeah, sure. I am that lucky girl," ucap Aruna sambil tersenyum kemudian mengalihkan pandangannya ke pohon yang menjulang tinggi di dekat mereka.
Makan malam malam itu berjalan menyenangkan. Sebastian dan Aruna banyak mengobrol. Namun, Aruna masih berusaha keras mengenyahkan jawaban Malik tadi siang saat dia menelponnya.
"Ya ... dia ... masih tidur."
"Ya ... dia ... masih tidur."
"Ya ... dia ... masih tidur."
"Ya ... dia ... masih tidur."
Suara Malik terus saja mengiang di kepalanya. Dia semakin merasa bersalah pada Sebastian karena beberapa kali, Aruna terlihat sedang melamun. Beberapa kali pikirannya lebih banyak terisi dengan Malik sehingga dia bahkan tidak bisa benar-benar memdengarkan ucapan Sebastian.
Setelah selesai dengan makan malam mereka, Sebastian dan Aruna pun meninggalkan restoran.
"Kau mau ke mana lagi setelah ini?" tanya Sebastian saat keduanya berjalan keluar.
Aruna menundukkan kepala. Semakin lama dia bersama Sebastian, semakin besar rasa bersalah yang dia rasakan. Sampai akhirnya, "Sebastian aku tidak bisa."
Ucapan Aruna yang tiba-tiba itu membuat Sebastian bingung. Pria itu berhenti dan menoleh ke Aruna yang tertinggal satu langkah darinya.
"Maksud kamu?" tanya Sebastian.
"Aku tidak tahu. Aku ... aku benar-benar tidak bisa. Bagaimana ini?" racau Aruna dengan mata mulai berkaca.
Sebastian meletakkan kedua tangannya di bahu Aruna dan menundukkan kepalanya untuk bisa melihat gadis itu. "Are you ... crying?" tanya Sebatian kaget.
"Aku berbohong. Seharian ini, aku terus saja memikirkan Malik. Aku berusaha ... percayalah ... aku benar-benar berusaha membuang jauh dia dari otakku ini, tapi ... tidak bisa," rintih Aruna.
"Kenapa tiba-tiba? Bukankah dia sudah ...," sahut Sebastian.
"I don't know why but he lied. He lied to me. He told me about being in Europe with Wulan. But the truth is, he's not," rintih Aruna.
"Apa maksud kamu? Aku benar-benar tidak mengerti. Aku sama kagetnya dengan apa yang kau katakan barusan tentang memikirkan Malik. Tapi aku berusaha tidak marah. Aku akan mendengarkanmu. Jadi, katakan dengan jelas," ucap Sebastian tampak kekecewaan di wajahnya.
Aruna pun menceritakan tentang Sydney yang tanpa sengaja bertemu dengan Wulan di Thailand. Aruna juga mengaku tentang menghubungi Malik lebih dulu tadi siang dan bagaimana Malik berbohong tentang Wulan.
"Aku berusaha tidak ambil pusing tentang mereka. Tapi aku tidak bisa. Aku ingin tahu kenapa Malik berbohong," ucap Aruna setelah menceritakan itu, dengan Sebastian yang mendengarkan seksama tanpa sedikit pun memotong.
Keduanya masih berdiri di depan restoran tadi dan Aruna berkali-kali meminta maaf pada Sebastian.
"Kau tahu kan ini maksudnya apa?" lontar Sebastian.
Aruna mengangguk dan sekali lagi mengucapkan kata maaf.
"Aku tidak akan bisa menerima mu lagi setelah ini," kata Sebastian.
"Aku tahu. Aku juga tidak pantas mendapatkanmu lagi setelah ini," lirih Aruna merasa sangat bersalah pada Sebastian.
Sebastian meraih tangan Aruna dan menggenggamnya. "Stop saying you're sorry. I get it. You're just trying to be honest with what you feel. Pergilah. Tanyakan padanya. Jangan ada penyesalan," ucap Sebastian sambil membelai pucuk kepala Aruna lembut.
"Jangan membenciku," pinta Aruna dengan mata berkaca-kaca.
"Tidak akan."
Dan keduanya berpelukan erat.
*
Malam itu, Sebastian pulang ke apartemennya dengan perasaan yang sangat kacau. Selama ini, dia tidak pernah sekali pun kesulitan menaklukkan hati wanita. Bahkan saat mereka sudah berpisah pun, wanita mana pun tidak akan keberatan menerimanya lagi.
Dia tertawa kecil. Bagaimana seorang Casanova seperti dirinya gagal merebut hati seorang Aruna. Namun di hati kecilnya, Sebastian bisa memperkirakan ini akan terjadi entah sekarang atau nanti. Apakah itu berarti dia juga memiliki sedikit kepercayaan untuk Malik sama halnya dengan Aruna? Tidak. Sepertinya dia mempercayai cinta dan ketulusan Aruna untuk Malik.
*
Setelah bersabar selama beberapa hari sembari menunggu visanya keluar, pada akhirnya Aruna berangkat. Sesuai info dari Mario, Malik akan berada di sana selama empat puluh hari, jadi Aruna masih akan sempat menyusul.
Aruna hanya mencoba peruntungannya. Dia juga baru pertama ini ke Eropa namun sedikit pun dia tidak merasa takut. Kalau pun dia tidak bisa menemukan Malik di sana, Aruna akan pulang. Sedikit pun, dia tidak akan menyesali keputusannya.
Aruna juga sudah berpamitan kepada orang tuanya. Walaupun merasa Aruna terlalu nekad, mereka sama sekali tidak mencegah Aruna untuk pergi.
Pagi pukul sepuluh waktu setempat, Aruna tiba di Zurich Airport. Dia hanya berbekal satu ransel besar. Dia kemudian menelepon Malik dan merapalkan doa dalam hati agar pria itu mau mengangkat panggilan teleponnya.
Di nada panggil kelima, Malik mengangkat panggilan dari Aruna. Gadis itu langsung bisa bernapas lega.
"Hai," sapa Aruna lega sembari mengatur napasnya.
"Hai. Ada apa?" Aruna bisa mendengar jawaban dari Malik di seberang sana.
"Kau di mana sekarang?" tanya Aruna lagi.
Malik tidak langsung menjawab. Setelah tiga detik diam, Malik akhirnya menjawab, "Switzerland."
"Wow," sahut Aruna. Bagaimana pun juga Aruna harus bisa membuat Malik mengatakan dia di mana.
"Kau masih di hotel bersama Wulan?" tanya Aruna lagi.
"Ehhmmm ... tidak. Kami sudah di luar. Ada apa meneleponku?" tanya Malik mulai merasa aneh.
Namun, Aruna mengabaikan pertanyaan Malik. Kembali, dia bertanya, "Zurich?"
"Nein," jawab Malik.
Aruna memutar otaknya. "Basel?" tanya Aruna lagi.
"Nein."
Aruna menggigit bibir bawahnya. Dia mulai merasa cemas bagaimana jika Malik menolak menjawabnya. Dengan sedikit harapan yang tersisa bahwa Malik masih peduli padanya, Aruna kembali bertanya, "Grindelwald?"
"Nein. Aruna ada apa sebenarnya. Kenapa kau terus bertanya?" tanya Malik terdengar mulai tidak sabar.
"Aku hanya ingin tahu tempat yang kau kunjungi sekarang. Sebenarnya aku sedang senggang sekarang ini dan mencari teman untuk mengobrol," jawab Aruna asal sambil mencari tempat duduk di bandara.
"Bagaimana dengan Sebastian?" tanya Malik.
"Restorannya sedang sangat ramai jadi aku tidak bisa menghubunginya. (jeda dua detik) Jadi .... Lauterbrunnen?" seru Aruna lagi berusaha terdengar biasa agar Malik mau menjawabnya.
"Interlaken," jawab Malik pada akhirnya.
'Bagus!' seru Aruna dalam hati.
"Wahh ... apa kau baru sampai?" tanya Aruna lagi.
"Yah, kami baru sampai semalam jadi kami akan di sini selama tiga atau empat hari," jawab Malik kali ini agak panjang.
"Baiklah. Malik aku pergi dulu. Mama manggil. Nanti aku telpon lagi. Bye!" dan Aruna langsung menekan tanda mengakhiri panggilan di ponselnya dengan cukup heboh walaupun hal tersebut tidak memberikan efek apapun.
Dia pun berdiri dan mencari tahu cara agar bisa sampai ke Interlaken.
* * *
Semoga kalian suka part ini dan masih mau setia di sini sampai tamat.
Jangan lupa vote dan komennya. Luv you!!!
Published on Monday, Dec 13, 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top