Part 44 - Video
Aruna tidak bisa bersabar. Sudah dua hari sejak pesan yang dia kirimkan ke Malik tidak kunjung mendapatkan jawaban. Sydney juga belum menghubungi lagi. Hari itu di studionya, dia kesulitan untuk melukis karena terlalu penasaran dengan apa yang dikatakan Sydney. Apa benar itu Wulan? Tidak mungkin. Dia berkali-kali menyangkalnya sendiri.
Gadis itu kemudian membersihkan kuas dan menyambar tasnya, memutuskan akan bertanya kepada seseorang.
*
Tepat jam makan siang, Mario yang hendak turun untuk makan, dihentikan oleh sekretaris Malik. "Pak Mario, ada yang nyariin. Namanya Bu Aruna," kata wanita itu.
"Hah?! Aruna?!" sontak Mario kaget karena tidak pernah Aruna mencari dirinya walaupun mereka saling kenal sejak masih kuliah.
"Suruh ke ruangan saya," kata Mario dan dia pun berbalik, kembali ke ruangannya sendiri.
Tidak seberapa lama, sebuah ketukan pelan terdengar di pintu dan Mario mempersilahkan masuk.
"Hai," sapa Aruna dengan senyum khasnya.
"Aku kaget waktu diberitahu kau di sini. Duduklah. Ada yang bisa kubantu?" kata Mario sembari mempersilahkan Aruna untuk duduk di sofa hijau sederhana di ruangannya. Setelah Aruna duduk, Mario pun duduk di sampingnya.
"Ada apa?" tanya Mario lagi.
"Aku merasa tidak enak karena baru menyapamu ketika ada perlu," kata Aruna sambil mengusap tengkuknya dan tersenyum kecil.
"Jangan khawatir. Kau juga temanku. Jangan sungkan. Apa yang bisa kubantu?" sahut Mario sambil memiringkan badannya menghadap ke Aruna.
"Apa Malik di Eropa sekarang?" tanya Aruna.
"Ya dia berangkat sekitar seminggu yang lalu. Apa dia tidak memberitahumu?"
Aruna tertawa kecut, "Sebenarnya dia tidak memiliki kewajiban harus mengatakan padaku. Kita tidak lagi memiliki hubungan. Aku ... hanya .... penasaran. Apakah ... dia ....," kata Aruna sedikit tidak yakin dia punya kepercayaan diri untuk bertanya lebih lanjut.
Namun belum sempat Aruna menyelesaikan kalimatnya, telepon di meja Mario berdering nyaring.
"Maaf, sebentar ya," pamit Mario dan pria itu bangkit dari duduknya, berjalan menuju meja yang berjarak hanya lima langkah dari sofa tadi. Mario tidak mengangkat gagang telepon itu, namun memencet tombol speaker.
"Pak Mario, ini Tyas," suara seorang wanita terdengar melalui pengeras suara.
"Ada apa Tyas?" tanya Mario sambil berdiri di samping mejanya.
"Saya sudah menyelesaikan kelengkapan dokumen kepindahan Mbak Wulan sesuai perintah Mbak Cindy. Ada beberapa dokumen yang perlu ditanda-tangan Mbak Wulan. Saya simpan dulu sampai Mbak Wulannya balik dari Eropa atau saya serahkan Pak Mario hari ini?" tanya Tyas.
Mario menoleh sebentar ke Aruna dan menyadari gadis itu sedang menatap serius ke pesawat teleponnya.
"Bawa ke sini nanti setelah jam makan siang," perintah Mario.
"Baik Pak, terima kasih."
"Oke," sahut Mario dan Tyas menutup sambungan teleponnya.
Mario pun kembali berjalan ke sofa. Dia melihat Aruna menatap kosong ke depan seakan-akan sedang berpikir keras.
"Maaf. Jadi .... ," lanjut Mario setelah duduk kembali di samping Aruna.
Aruna tergagap, terlihat dirinya barusan sedang melamunkan sesuatu. "Ada apa?" tanya Mario.
"Tidak apa-apa. Mario maafkan aku. Aku baru ingat aku ada janji dengan seseorang. Aku akan menemuimu lagi lain waktu. Aku balik dulu. Maaf sudah menyita waktu makan siangmu," ucap Aruna sembari berdiri dari duduknya.
"Apa kau yakin?" tanya Mario sambil mengernyit.
"Iya. Aku pergi dulu. Sekali lagi terima kasih untuk waktunya," ucap Aruna dan Mario mengangguk dengan raut wajah tidak yakin.
*
Aruna keluar dari kantor Malik dengan perasaan semakin tidak karuan. Bahkan seisi kantor sepertinya tahu bahwa Wulan ke Eropa bersama Malik. Apa yang dia harapkan dengan datang ke sini? Apa dia berharap Malik tidak pernah pergi dengan Wulan?
Aruna yang berdiri di depan gedung kantor tersebut, dikagetkan dengan panggilan masuk di ponselnya. Dia memasukkan tangan ke tas besarnya dan merogoh ponsel yang ada di dalam sana.
"Ya Sebastian," jawab Aruna.
"Kau di mana?" tanya Sebastian di ujung sana.
"Aku ... aku baru mau cari makan siang. Ini lagi di deket studio," sahut Aruna sambil menutup matanya, seketika dia merasa bersalah karena telah berbohong.
"Bisakah aku menemuimu malam ini?" tanya Sebastian.
"Nanti malam? Ya ... oke ... tentu saja," jawab Aruna.
"Oke, I'll see you tonight," ucap Sebastian. "Love you."
"Hhmm ...," gumam Aruna, masih belum sanggup menjawab kata yang barusan dilontarkan Sebastian. Dia merasa sangat jahat. Apa yang dia lakukan sekarang di depan kantor Malik dan di saat yang sama, menjalin hubungan dengan seorang pria sebaik Sebastian? Dia seperti seorang pacar yang diam-diam sedang berniat selingkuh.
Setelah Sebastian menutup panggilan teleponnya, Aruna menuju mobil untuk kembali ke studionya. Dia memutuskan untuk melupakan masalah Wulan dan Malik ini. Apapun yang telah di katakan Sydney telah meracuninya dan dia berniat tidak melakukan hal ini lagi.
Aruna sedang mengemudikan mobilnya ketika dia melihat notifikasi pesan masuk di ponsel. Mobilnya saat ini berhenti karena lampu merah yang menyala. Pesan tadi berasal dari Sydney. Sydney sedang membagikan sebuah video. Saat lampu merah berganti menjadi hijau, Aruna kembali melajukan mobilnya dan setelah beberapa meter, dia menepikan mobilnya, terlalu penasaran dengan apa yang dikirim Sydney.
Setelah menemukan spot yang aman untuk berhenti di pinggir jalan, Aruna pun mengambil ponselnya dan membuka video tadi. Awalnya terlihat sebuah set syuting film dengan banyak kru berkumpul di sana. Kemudian, dia mendengar suara Sydney, "Itu dia." Sepertinya Sydney yang sedang merekam video tersebut. Kamera terlihat berjalan menuju ke suatu tempat yang lebih sepi dan dia melihat seorang wanita dengan rambut hitam legam panjang memunggunginya.
"Wulan," panggil Sydney dari balik kamera.
Wanita berambut hitam panjang tadi langsung berbalik, dan seketika matanya melebar saat melihat Sydney. Entah bagaimana Sydney memegang ponselnya namun sepertinya Wulan tidak menyadari bahwa Sydney sedang merekamnya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Sydney.
"Aku tidak perlu mengatakannya padamu," jawab Wulan ketus dan wanita itu berbalik cepat kemudian berjalan meninggalkan Sydney.
Jantung Aruna berdetak sangat cepat. Bahkan sekarang dia bernapas menggunakan mulutnya karena rongga di hidungnya sepertinya tidak bisa memompa cukup banyak oksigen untuknya saat ini. Tangannya bergetar dan dia tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Saat itu juga, Aruna langsung menelepon Sydney dan berharap gadis itu mengangkatnya. Setelah dua kali nada sambung, Aruna langsung menghembuskan napas lega saat Sydney menjawab panggilannya.
"See?! I told it's Wulan," sahut Sydney di ujung sana.
"Bagaimana bisa ... tapi .... ," Aruna bahkan bingung harus berkata apa.
"Kapan kau bertemu dengannya?" tanya Aruna.
"Sekitar satu jam yang lalu," jawab Sydney mantap.
"Apa kau sudah menghubungi Malik?" tanya Sydney.
"Belum. Aku mengirimkan pesan dua hari lalu tapi dia tidak membalas pesanku. Apa mereka ....," Aruna menggantung kalimatnya. "Aku akan meneleponnya hari ini," lanjut Aruna dan dia menutup teleponnya setelah mengatakan terima kasih pada Sydney.
Dia melihat jam tangan. Jam satu siang. Melihat postingan terakhir Malik, dia sepertinya sekarang masih di Belanda. Dengan waktu enam jam lebih awal, berarti masih pagi di sana. Aruna pun memutuskan menelepon Malik.
Saat nada sambung sudah berbunyi, Aruna tidak bisa mengendalikan rasa gugupnya. Dia menggerakkan kakinya dengan gelisah dan tangan kanannya mencengkeram kemudi dengan sangat keras hingga buku jarinya memutih.
*
Masih merasa mengantuk, Malik menggapai ponsel yang dia letakkan di night stand di samping ranjang hotelnya. Saat melihat nama Aruna di layar ponsel, dia langsung terbangun dan bangkit. Selama beberapa detik, dia bahkan membiarkan ponsel itu berdering tanpa henti. Ada apa gadis ini meneleponnya?
Panggilannya tidak kunjung berhenti walaupun dia hanya menatap benda itu. Dengan berat, Malik pun akhirnya mengangkatnya.
"Ada apa Aruna?" seluruh tubuh Malik serasa lemas saat bibirnya mengucapkan nama Aruna. Dia sangat merindukan teman masa kecilnya, sahabatnya, dan satu-satunya wanita yang sangat dia inginkan dalam hidupnya.
"Bagaimana kabarmu? Kau masih berlibur?" tanya Aruna di ujung sana.
"Hhmmm ... aku di Amsterdam. Aku baik saja," jawab Malik sambil berdeham.
"Ada apa meneleponku?" tanya Malik berusaha terdengar dingin.
"Aku ... tidak apa-apa. Aku hanya memastikan kau menerima pesanku. Kau akan membawakanku souvernir kan?" tanya Aruna.
Malik merasa asing. Aruna bukan tipe orang yang akan meminta cinderamata seperti ini. Namun, Malik tetap membalasnya, "Ya aku membaca pesanmu. Maaf aku belum sempat membalasnya."
"Tidak masalah. Aku paham. Apa ... Wulan bersamamu saat ini?" tanya Aruna lagi dan Malik menelan ludahnya.
"Ya ... dia ... masih tidur," jawab Malik dan tangannya yang sedang tidak memegang ponsel langsung terkulai lemas.
"Baiklah. Hope you two have a great time di sana," ucap Aruna dan Malik menjawab dengan dehaman singkat.
Setelah menutup sambungan teleponnya, Malik langsung merebahkan badannya ke atas ranjang. Rasanya seluruh tenaganya terserap habis. Sampai saat ini pun dia masih tidak yakin apa yang dia lakukan ini benar. Namun saat membayangkan konsekuensi saat Wulan mengatakan hal itu pada Aruna, badannya bergidik.
Dia tidak akan sanggup melihat Aruna terpuruk seperti itu. Lagipula, Aruna sudah memiliki Sebastian di sisinya. Dia akan baik-baik saja. Sayangnya, entah sampai kapan dia tidak akan baik-baik saja.
*
Aruna menatap jalanan di depannya dengan tatapan kosong. Tangan kirinya masih meremas ponselnya dan tangan kanan di kemudi. Namun dia masih menepikan mobilnya. "Kenapa kau berbohong Malik? Ada apa? Apa kau takut aku akan melihat kesempatan ketika tahu kau dan Wulan tidak berangkat bersama?" gumam Aruna pada diri sendiri.
*
Malam itu, sesuai janjinya, Sebastian datang menjemput Aruna di rumahnya. Ayu menyambut Sebastian dengan sangat ramah. Sebastian pintar sekali mengambil hati orang tua Aruna.
"Kau sudah siap?" tanya Sebastian saat Aruna sudah di ruang tamu.
"Ya," jawab Aruna sambil tersenyum.
Setelah berpamitan pada orang tua Aruna, Sebastian dan Aruna pun berangkat. "Kita mau ke mana?" tanya Aruna saat mereka sudah di dalam mobil.
"Romantic dinner with my beautiful girlfriend," jawab Sebastian sambil mengerling ke arah Aruna.
Aruna mengangguk. Badannya sedang bersama Sebastian tapi hati dan otaknya sedang memikirkan orang lain.
* * *
Karena mereka semua orang baik, jadi, aku juga harus kasih ending yang baik buat mereka. Kalau Wulan, ... nanti lah dibaca sendiri aja :D
Wah sudah di part 44. Nggak kerasa, sudah mau di penghujung akhir kompetisi High Future Books. Rasanya menyenangkan ikut kompetisi menulis seperti ini. Sempet mikir nanti kalo sudah selesai agak sayang karena menyenangkan bisa menulis dan kenalan dengan peserta lain. Jadi, please wish me luck ya .
Semoga kita masih bisa denger kabar Malik, Aruna, Sebastian dan Wulan walaupun cerita ini nanti sudah ending. Again, don't forget to vote dan komen. Sayang kalian!!!!
Published on Saturday, Dec 11, 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top