Part 35 - Lifetime Friend

Aruna tahu bahwa dia seharusnya tidak menantikan hari ini, tapi tetap saja, dadanya berdegup kencang membayangkan dia akhirnya berkesempatan meluangkan waktu lagi dengan Malik. Sejak pria itu memutuskan pertunangan mereka, keduanya belum pernah benar-benar meluangkan waktu bersama.

Sesakit apapun Aruna waktu itu, hingga dia mengunci diri sendiri di kamar hampir seminggu, Aruna kini tahu apapun yang terjadi, dia hanya ingin Malik bahagia walaupun itu berarti dia tidak memilih dirinya.

"Taufik udah dateng pa," ujar Ayu pada suaminya Damar. Aruna bisa melihat Ayahnya tampak berat dengan ide ini, tapi dia tidak bisa menolak permintaan istrinya.

Ketiganya pun keluar dan melihat Taufik, Anggie, dan Malik keluar dari mobil mereka. Malik menyalami orang tua Aruna. "Aku ikut mobil Malik sama Anggie dan Aruna ya pa. Papa sama Taufik aja," pinta Ayu. Damar melihat istrinya dengan ragu. Tak urung, pria itu tetap mengangguk patuh.

Taufik pun mengekor Damar untuk naik ke mobilnya, sedangkan Ayu dan Anggie sudah naik ke jok penumpang di belakang. Malik melihat ke arah Aruna dan mengangguk saat Aruna juga melihatnya. Dan Aruna pun ikut dengan mobil Malik.

Perjalanan ke Wonosobo memakan waktu sekitar tujuh jam. Mereka berangkat pagi-pagi sekali. Selama di perjalanan, Malik tidak banyak bicara. Begitu juga dengan Aruna. Hanya Ayu dan Anggie yang sepertinya masih asyik mengobrol tentang kenangan mereka bersama Irene, teman yang hendak merekai temui ini.

"Mau gantian sama aku?" tanya Aruna setelah sekitar empat jam perjalanan.

"Gak perlu. Kamu tidur aja gak apa-apa," jawab Malik. Aruna menatap ke Malik. Pria ini hanya diam sepanjang perjalanan. Aruna merindukan Malik dan dia menikmati duduk di samping Malik walaupun mereka tidak saling bertukar kalimat. Aruna menatap ke jok belakang dan mendapati ibu mereka sudah tertidur.

"Kapan ya kita terakhir ikut ke Wonosobo?" tanya Aruna mencoba membuka obrolan.

"Waktu kita kelas lima SD. Kita menginap di sana lima hari," jawab Malik.

Aruna tertawa kecil. "Kami masih inget ya," sahut Aruna.

"He em," gumam Malik.

"Aku pengen ke Prau lagi, sama padang savana Dieng," celetuk Aruna lagi.

Malik tersenyum dan senyum itu tertangkap mata Aruna. Aruna menghela napas pelan. Hanya berbincang seperti ini rasanya dia sudah merasa puas. Apapun yang bisa dia bagi dengan Malik merupakan kebahagiaan bagi Aruna. Bahkan hal kecil seperti ini. Dia ingin selalu bisa berbagi dengan Malik.

Malik menoleh sekilas ke Aruna dan keduanya bertatapan selama sedetik sebelum Malik kembali fokus dengan jalanan di depannya.

"Gak laper?" tanya Malik.

"Nggak. Kamu laper?" Aruna bertanya balik dan Malik menggeleng.

Setelah berkendara selama tujuh jam lima belas menit, mereka semua akhirnya sampai di rumah tante Irene. Ibu Aruna dan Ibu Malik tersenyum lebar dan saling bertukar pandang saat melihat suami mereka turun dari mobil sambil tertawa lepas.

"Ada yang udah baikan Nggie," celetuk Ayu.

"Anak kita aja baikan, masa kita gak baikan," sahut Damar.

"Wah tamu jauh udah dateng!!"

Semuanya menoleh dan mendapati tante Irene dan om Gilang sudah keluar dari rumah, menyambut mereka semua.

"Lancar kan perjalanannya?" tanya om Gilang.

"Iya lancar," jawab Taufik.

"Ayo masuk," ajak om Gilang dan mereka semua pun masuk ke dalam rumahnya dan tante Irene.

Aruna menyukai rumah tante Irene yang berada di kawasan Dieng ini. Walaupun rumah mereka dari luar tampak sangat sederhana dan bergaya tradisional, namun di dalamnya tidak kalah nyaman dengan hotel. Nuansa kayu mendominasi kediaman rumah tante Irene dan aksen warna coklat serta putih membuat kediaman mereka terasa sangat hangat.

Tante Irene memiliki dua anak, Gavin, yang baru saja lulus kuliah dan sekarang fokus dengan lahan pertanian yang dimiliki orang tuanya, serta Kina yang masih duduk di bangku SMA.

Mereka semua mengobrol dengan santai di ruang keluarga, dan Malik serta Aruna sangat menghargai mereka semua karena tidak ada satupun yang membahas tentang gagalnya rencana pernikahan mereka walaupun tante Irene dan om Gilang tahu tentang itu.

Menjelang sore, Aruna memutuskan berjalan kaki di sekitar rumah tante Irene. Dia sangat menyukai udara di sana dan pemandangan hijau yang membentang di depannya. Aruna berjalan hingga beberapa kilometer di jalan setapak di tengah persawahan. Beberapa pekerja masih terlihat bekerja di sana.

"Damai ya di sini."

Aruna langsung menoleh dan ternyata Malik sudah berjalan di belakangnya. "Malik," ucap Aruna kaget. Malik kemudian berjalan mendahului Aruna, menuju sebuah saung yang tidak jauh dari sana. Aruna pun mengikuti di belakangnya. Saat Malik duduk di sana, Aruna juga ikut duduk.

Selama lima menit, keduanya hanya diam sambil duduk bersebelahan di saung tadi sembari menikmati pemandangan hijau di depan mereka. "Aku sudah maafin kamu," celetuk Aruna tiba-tiba, membuat Malik menoleh.

Aruna pun ikut menoleh dan menatap Malik, kemudian tersenyum simpul. "Aku tahu kamu gak pernah minta maaf ke aku. Kamu harusnya tahu kan yang kamu lakuin itu bener-bener jahat. Tapi, aku sudah maafin kamu. Sekeras apapun aku mencoba benci sama kamu, aku tetep gak bisa," urai Aruna.

Malik hanya terdiam, masih menatap Aruna yang kini sudah mengalihkan matanya ke pemandangan di depannya. Aruna menghirup napas panjang. "Aku masih menyukai kamu. Aku berani bilang kayak kini karena cukup yakin kamu gak akan goyah mengingat kamu udah membatalkan pernikahan kita. Dibandingkan memiliki kamu sebagai suami, aku masih ingin memiliki Malik sebagai teman seumur hidup," ucap Aruna dengan senyum getir.

"Aku gak akan menghalangi dengan wanita manapun kamu nantinya akan menikah. Kalau boleh, bisa gak kita tetap kayak dulu. Nantinya kalau aku sudah menikah dan punya suami pun, aku yakin dia gak akan keberatan denganmu. I want you as my lifetime friend, for me it's more than enough," lanjut Aruna.

"Maaf, aku gak bisa menjanjikan itu," jawab Malik.

Aruna kembali tersenyum sedih. "Gak masalah kalau kamu belum bisa sekarang. Kapan pun kamu merindukan teman masa kecilmu ini, dia akan selalu siap membuka tangannya buat kamu," kata Aruna.

"Boleh tanya sesuatu?" tanya Malik.

"Gak perlu pake ijin pasti aku jawab," kata Aruna.

"Kamu ... jadian sama Sebastian?" tanya Malik.

Aruna menoleh dan menatapnya. "Kamu ... ke Eropa sama Wulan?" Aruna malah bertanya balik.

Keduanya kemudian terdiam, tidak ada yang menjawab pertanyaan dari masing-masing mereka. Baik Aruna dan Malik sama-sama tidak mau menjawab. Selama tiga menit keduanya bungkam.

"Sebaiknya kita kembali, mau gelap," ucap Malik dan dia berdiri kemudian mengulurkan tangannya untuk membantu Aruna turun. Tanpa ragu, Aruna pun menerima uluran tangan Malik. Saat sudah turun, Malik belum melepaskan tangannya. Dia menatap ke arah tangan mereka yang masih bertautan. Malik kemudian berjalan ke rumah masih dengan tangannya menggenggam tangan Aruna.

*

"Mbak Aruna sama Mas Malik keren ya. Mereka gak jadi menikah tapi masih bisa berteman dekat. Tadi sore aja Kina lihat mereka berjalan sambil gandengan," ujar Kina yang sedang berada di dapur untuk menyiapkan makan malam bersama mamanya Irene, dan Ayu serta Anggie.

"Gandengan?"

"Gandengan?"

Ulang Ayu dan Anggie bersamaan dan Kina mengangguk mantap. Ayu dan Anggie saling bertatapan. Ada harapan di mata mereka namun sedetik kemudian mereka menyadari mereka mungkin kembali melakukan kesalahan dengan berpikir seperti itu.

"Kalau boleh tahu, kenapa mereka batal menikah?" tanya tante Irene hati-hati.

Ayu dan Anggie tidak langsung menjawab. Tiga detik, empat detik. Akhirnya, "Malik yang mutusin duluan Ren," jawab Anggie.

"Kenapa?" tanya Irene lagi dan Kina sepertinya juga terlihat sangat penasaran.

"Sampai sekarang pun aku sendiri juga gak tahu pasti alasan kenapa dia batalin pernikahan. Padahal sebelumnya dia sendiri yang minta tanggal pernikahannya dimajukan. Dia juga sudah nyiapin bulan madu kejutan buat Aruna. Aku bener-bener gak paham sama anakku sendiri," jawab Anggie lebih lanjut.

"Padahal mereka serasi banget," celetuk Kina sambil menatap ketiga wanita itu bergantian.

"Aku juga lihatnya Malik masih suka curi pandang ke Aruna. Aruna cerita ke kamu gak Yu. Barang kali Malik cuma bilang alasan dia ke Aruna," tanya Irene ke Ayu.

"Aruna gak bilang apa-apa ke aku. Malik anak yang baik. Pasti dia memiliki alasan dia sendiri. Aku sama Aruna menghargai keputusan dia," ucap Ayu sambil menatap Anggie hangat. Wanita itu tidak ingin temannya terus-terusan meminta maaf padanya.

Anggie kembali terlihat sedih. Ayu tahu betul apa yang sedang dipikirkan temannya itu.

*

Menjelang jam sembilan malam, Malik yang berada di dalam ke kamar sendiri, melihat ke arah pegunungan yang terlihat hitam di depannya dihiasi dengan kerlip-kerlip lampu rumah penduduk setempat. Dia memikirkan kata-kata Aruna. Dia menginginkan Aruna melebihi dia menginginkan apapun di dunia ini. Tapi dia terlalu takut jika dia menyanggupi permintaan Aruna, Wulan masih tidak akan terima.

Malik pun mengambil ponselnya dan menelepon wanita itu. Wulan mengangkat panggilannya setelah dua kali nada sambung.

"Wahhh ... kau menelepon di luar jam kantor," sahut Wulan di seberang sana.

"Kenapa kau ingin ke Eropa?" tanya Malik.

"Apa kau sudah mempertimbangkannya?" tanya Wulan terdengar senang.

"Jawab saja."

"Aku masih tidak percaya pada kalian. Aku harus memastikan kalian tidak akan memiliki hubungan lagi apapun itu," ujar Wulan.

"Tiketnya tanggal 27. Kau bisa mengatakan pada siapa pun yang kau mau kalau kita akan ke Eropa," ucap Malik.

"Kau serius?" tanya Wulan di ujung sana.

"Aku tutup dulu," kata Malik kemudian menutup sambungan teleponnya.

* * *

Aigoooo ... gak kerasa udah Part 35 aja. Semoga 'Stealing My Fiance' bisa end pas di chapter 50 ya. Berarti tinggal 15 part lagi. Semoga kalian semua bisa dukung aku terus sampai kompetisi ini berakhir dengan baca cerita Aruna dan Malik, kemudian vote dan komen pastinya. 

Salam sayang dari Aruna dan Malik ('ε` )♡ 

Published on Saturday, November 20, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top