Part 30 - Ada Tapi

Tepat seminggu semenjak kecelakaan yang dialami Aruna saat mereka berada di Pondok Alam, kini Aruna ke dokter untuk memeriksakan kembali kakinya. Dan Sebastian bersikeras menemaninya hari ini.

"Semuanya terlihat baik. Kau tidak perlu memakai perban lagi," kata dokter yang kini memeriksa kaki Aruna. Aruna pun tersenyum lebar mendengarnya. "Keren! Saya sudah gak nyaman pakenya dok," seru Aruna dan si dokter langsung tertawa keras.

Setelah dokter selesai memeriksanya tanpa memberikan obat atau vitamin apapun, Aruna pun keluar dari ruangan dokter dan melihat Sebastian masih menunggu di ruang tunggu. Pria itu terlihat sedang berbicara dengan seseorang lewat telpon. Aruna pun mendekat dan duduk di sampingnya.

"Baiklah, aku akan ke sana kalau urusanku sudah selesai," kata Sebastian pada seseorang di telpon. Aruna hanya duduk di samping Sebastian sambil menatap kakinya yang sudah terbebas dari balutan perban.

"Oke," kata Sebastian mengakhiri panggilan teleponnya.

"Bagaimana?" tanya Sebastian menoleh ke Aruna sambil memerhatikan kakinya.

"Dokter sudah melepasnya," kata Aruna senang, sambil menggerak-gerakkan pergelangan kakinya.

"Syukurlah," kata Sebastian.

"Kau kenapa?" tanya Aruna karena Sebastian terlihat tidak bersemangat seperti tadi saat berangkat.

"Ada sedikit masalah di restoran. Aku akan mengantarmu pulang kemudian aku akan ke sana. Maafkan aku. Aku berencana mengajakmu makan siang," kata Sebastian tampak menyesal.

"Hey, bukan masalah. Aku cukup bersyukur kau mau menemaniku siang ini," kata Aruna.

"Aku akan menebusnya lain kali," imbuh Sebastian.

"Baiklah," sahut Aruna.

*

Aruna duduk di samping sebuah kolam renang yang dipenuhi dengan bola-bola plastik berwarna-warni mengapung di atasnya. Beberapa kru tampak sangat sibuk di sana. Saat Sebastian berniat mengantarkan Aruna kembali ke rumah tadi, gadis itu malah minta diantarkan ke tempat Sydney yang sedang syuting sebuah iklan.

Sudah hampir tiga puluh menit Aruna duduk di sana sambil mengamati orang-orang itu bekerja. Aruna juga beberapa kali tertawa kecil saat melihat Sydney harus berkali-kali melakukan adegan yang sama. Melihatnya saja sangat melelahkan.

Beberapa kali, seorang wanita muda yang bertanggung jawab pada bagian make-up sesekali harus memoles ulang wajah Sydney. Sepertinya yang bermasalah bukanlah Sydney melainkan aktor lawan mainnya. Sydney sendiri terlihat berusaha memaksakan senyumnya saat pria itu kembali melakukan kesalahan.

Setelah empat puluh menit, Sydney akhirnya selesai dengan syutingnya. Sejujurnya, Aruna sendiri sudah mulai bosan. Dua puluh menit pertama cukup menyenangkan karena ini hal yang baru bagi Aruna. Namun, setelah melihat adegan yang sama berulang-ulang, dia bertanya-tanya kapan semua ini akan selesai.

Saat sang sutradara pada akhirnya mengakhiri syuting siang itu, Sydney menghilang di balik sebuah ruangan tidak jauh dari kolam renang tersebut. Setelah beberapa saat, gadis itu terlihat keluar dari ruangan tadi. Dia langsung menghampiri Aruna dan mendudukkan bokongnya dengan cukup keras.

"Ayo, kita cari tempat untuk makan siang," ajak Sydney. Walaupun masih terlihat sangat cantik, Aruna tahu betul gadis itu sedang lelah.


Keduanya berkendara menuju restaurant Jepang yang memiliki ruangan private. Ruangan tersebut memberikan privasi bagi pengunjungnya. Ruangan yang berukuran enam kali lima meter tersebut memiliki alas tatami dan meja persegi kayu di tengah. Mereka memesan sushi dan seafood salad.

"Astaga, rasanya aku ingin mengumpat pada cowok tadi," keluh Sydney sambil menguncir rambutnya ke belakang.

"Siapa?" tanya Aruna.

"Cowok tadi, lawan mainku. Dia bintang baru, tapi langsung melejit karena sedikit perannya di sebuah film. Dia bukan pemeran utama di film itu tapi orang-orang langsung menyukai karakternya. Karena itu sekarang ini dia menerima banyak tawaran iklan dan kudengar dia juga akan segera syuting sinetron," gerutu Sydney tampak sangat kesal.

Aruna mendengus tidak percaya. Padahal tadi Sdyney sama sekali tidak terlihat kesal. Bahkan, Aruna tadi sempat mengagumi kesabaran Sydney.

"Aku terlalu cepat memujimu tadi. Kupikir kau hebat sekali karena sudah sangat bersabar," dengus Aruna.

"Ya yang benar saja. Tidak mungkin aku marah-marah di set. Walaupun aku lebih senior dari dia, tetap saja kita bekerja di bidang yang sama. Bisa jadi nantinya dia akan lebih terkenal dibandingkan aku. Jadi aku harus tetap menghargai semua orang yang bekerja bersamaku. Tapii ... sedikit mengeluh boleh kan?" rengek Sdyney seakan meminta ijin Aruna untuk lanjut mengomentari cowok tadi.

"Boleh, tentu boleh," kata Aruna.

"Aku tidak mengerti kenapa orang-orang menyukainya. Wajahnya memang tampan tapi kemampuan aktingnya itu ... astaga. Apa kau melihat perannya di film yang melejitkan namanya?" tanya Sydney dengan menggebu-gebu.

Aruna menggeleng. "Aku belum pernah melihat film Indonesia sejak kembali. Apa judul filmnya?" tanya Aruna.

"Yesterday I Love You. Filmnya memang bagus. Dia berperan sedikit di sana. Aku bisa membayangkan berapa kali sutradara harus melakukan take untuk adegannya itu," lanjut Sydney. "Dia beruntung mendapatkan peran yang cukup kuat."

"Maafkan aku, aku malah mengoceh hal yang tidak penting. Bagaimana keadaanmu?" tanya Sydney sambil menyeruput ocha panasnya.

"Baik, terima kasih. Aku sudah lebih baik dibandingkan terakhir kau ke rumahku," jawab Aruna sedikit malu mengingat kejadian saat Sydney datang ke rumahnya tiga hari setelah Malik memutuskan pertunangan mereka. Saat itu kondisinya cukup buruk.

"Apa kau sudah bertemu dengannya lagi setelah itu?" tanya Sydney.

Aruna mengangguk. "In fact, aku bahkan baru saja pergi berlibur dengan mereka," kata Aruna. "Malik dan Wulan," imbuh Aruna cepat saat melihat ekspresi tidak mengerti Sydney saat dia mengatakan mereka.

"WHAT?!!" pekik Sydney.

Aruna pun menceritakan tentang pertemuan tidak sengaja antara dirinya dan Sebastian dengan Malik dan Wulan. Dia kemudian menceritakan bagaimana Wulan menawarkan rencana liburan bersama tersebut hingga bagaimana dirinya mendatangi kantor Malik yang berakhir dengan dia menyetujui ide gila Wulan.

"Kalian semua memang aneh. Kalau aku jadi kau, aku tidak akan sudi dekat-dekat dengan mereka berdua," cetus Sydney.

"Kau tahu aku tidak akan bisa melakukan itu. Sebenarnya aku masih takut membayangkan harus kehilangan Malik. Aku beberapa kali membayangkan kemungkinan aku akan memiliki hubungan yang baik lagi dengan Malik walaupun dia bersama Wulan. Namun sepertinya itu hal yang mustahil," urai Aruna.

"Bagaimana temanmu Sebastian itu?" tanya Sydney sambil mengerling nakal.

Aruna tersenyum simpul. "Dia baik. Tampan. Memperlakukanku dengan sangat baik. Beberapa kali mengatakan dia menungguku. Hanya saja ... entahlah. Aku belum merasakan hal yang istimewa untuknya. Dia bukan Malik. Kau tahu kan maksudku?" jelas Aruna.

"Time will heal," kata Sydney sambil meremas tangan kanan Aruna, berusaha membuat temannya kembali bersemangat.

"Ya. Time heals," kata Aruna sambil tersenyum kecil.

*

"Aku sudah memikirkannya," kata Wulan mantap. Saat itu dirinya sedang duduk di sebuah restoran bersama Malik sepulang kerja. Dia meminta, atau lebih tepatnya memaksa, Malik untuk bicara dengannya.

"Aku mendengarkan," sahut Malik.

"Aku akan pergi. Dan ada tapi," kata Wulan tenang.

"Lanjutkan."

"Aku melihat tiket liburan ke Eropa di mejamu beberapa hari yang lalu. Tiket yang kau persiapkan untuk Aruna. Aku bersedia pindah ke Thailand untuk beberapa tahun selama kau menggunakan tiket tadi dan mengajakku ikut denganmu. Aku harus memastikan Aruna percaya dengan apa yang sedang kita mainkan," kata Wulan.

Malik tertawa kecil. "Kau harus tahu Aruna percaya dengan apa yang kau mainkan. Kau tidak perlu khawatir dan terus beranggapan harus merencanakan sesuatu agar dia tidak curiga."

"Aku juga tidak percaya padamu," kata Wulan tegas.

Malik mengangguk setuju. "Selamanya kau tidak boleh percaya padaku karena selamanya aku akan terus menginginkan Aruna. Tapi lebih dari itu, aku menginginkan dia bahagia dan tetap menjadi dirinya yang sekarang," kata Malik datar.

"Kau tahu ... aku tidak peduli lagi. Aku sudah muak bersabar dan menunggumu. Aku tulus padamu tapi sepertinya kau tidak menganggapku seperti itu," ringis Wulan.

"Apa kau benar-benar mengharapkan aku akan bisa menerimamu? Dulu mungkin ya. Tapi sekarang ... sekarang seharusnya kau sadar itu tidak akan pernah terjadi," jelas Malik.

Kembali, air mata Wulan mengalir tanpa permisi dan gadis itu menyekanya kasar. "Lantas apa yang harus aku lakukan? Memberimu restu saat kau menikahi Aruna? Kau gila kalau berpikir aku akan melakukan itu," desis Wulan. "Apa kau tidak berpikir aku cukup terdesak saat itu? Apa kau tidak membayangkan posisiku?" desak Wulan lagi.

Malik menatapnya tidak percaya. Rahangnya mengeras dan dia menghela napas panjang sebelum berkata, "Apa kau tidak membayangkan posisi Aruna? Aruna mencintaiku. Aku mencintai Aruna. Kalau kau tidak peduli pada Aruna, apa kau sama sekali tidak mempertimbangkan rasa sakit yang harus kulalui karena perbuatanmu?"

Wulan terlihat kembali menghapus air matanya dengan cepat. "Aruna memiliki semua yang dia miliki. Orang tua yang menyayangi dia. Background pendidikan bagus. Teman-teman yang baik. Dia memilikimu. Tidak bisakah aku hanya meminta satu dari hidupnya? Aku hanya meminta dirimu," lirih Wulan. "Kau pikir aku juga suka melakukan ini? Bahkan hal terburuk pun akan tetap aku lakukan."

"Aku tidak akan pernah bisa bicara denganmu. Kau tidak akan pernah mengerti. Dari tadi kau hanya membicarakan dirimu. Kau tidak peduli orang lain yang sudah kau sakiti. Aku benar-benar salah menilaimu," tandas Malik.

"Pastikan Aruna melihat kita berlibur berdua di liburan romantis yang sudah kau rencanakan. Kalau tidak, kau harus mencari cara lain untuk menjauhkanku," tekan Wulan sebelum dia berdiri dari duduknya dan pergi meninggalkan Malik.

*

Malik masih duduk di sana selama beberapa saat setelah Wulan telah pergi. Dua hari lalu, dia merasa cukup bersalah karena masalah tawaran di Thailand. Pria itu sama sekali tidak menyangka tawaran yang diberikan adalah di Thailand. Namun sekarang rasa bersalah itu menguar seketika.

Mendengar bagaimana Wulan tadi, Malik berpikir adalah hal yang baik berada jauh dari Wulan. Mungkin dari situ, Wulan juga akan bisa berpikir lebih jernih. Dengan berada jauh darinya. Malik memijit dahinya merasa berat dengan permintaan Wulan barusan.

Dan lebih dari itu, dia merindukan Aruna. Dia terbiasa mendengarkan Aruna menceritakan semua detil tentang hari-harinya. Pikirannya kemudian dibawa ke kejadian beberapa tahun lalu. Kejadian yang menimpa keluarga Aruna. Dada Malik berdetak cepat saat membayangkan kalau Aruna sampai tahu tentang itu. Dia tidak boleh tahu. Selamanya tidak boleh.

* * *

Jadi, enaknya Wulan dikasih ending yang bahagia atau dia masih gak pantes buat happy endingnya sendiri? 

Boleh dong kasih pendapat kalian di kolom komen. Votenya juga jangan ketinggalan ya. Sayang kalian!!! 

Published on Monday, October 8, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top