Part 28 - Dahi atau Kaki
Malik bergegas ke toilet rumah sakit. Tangannya bahkan masih bergetar. Saat melihat darah mengalir di kepala Aruna, mata Malik seakan menggelap. Dia takut sesuatu yang buruk terjadi pada gadis itu. Kalau sampai itu terjadi, dia tidak akan memaafkan dirinya sendiri.
Dia membiarkan air di wastafel mengalir dan kemudian mulai membasahi wajahnya. Saat kembali ke ruangan, Sebastian dan Wulan sudah ada di sana. Sebastian mengulurkan tangannya ke dahi Aruna yang sudah tertutup perban.
Malik masuk dan Wulan langsung mendekat ke arahnya. "Syukurlah tidak ada yang serius," kata Wulan tapi bukan ke Aruna melainkan ke Malik. Malik hanya mengangguk dengan berat.
"Aku sudah membereskan barang-barangmu jadi kita bisa langsung pulang setelah ini," kata Sebastian nampak tidak kalah khawatirnya dengan Malik.
"Sebaiknya kita kembali ke hotel dulu. Kita belum membereskan barang-barang kita," ajak Wulan pada Malik. Malik, yang sepertinya tidak mendengar apa yang baru saja dikatakan Wulan, menatap Aruna dengan penuh penyesalan. Dia seakan tidak rela meninggalkan Aruna di sana.
"Aku yang akan menjaganya," kata Sebastian tegas. Tatapan Sebastian seakan mengingatkan Malik untuk menjaga jarak dari Aruna.
*
Sebastian tidak menyukai tatapan Malik pada Aruna. Dia bukannya cemburu, dia bukan tipe pencemburu. Dia hanya tidak suka Malik masih menunjukkan sikap peduli seperti yang baru saja dia lakukan. Malik mungkin tidak tahu bahwa Aruna masih berusaha menghilangkan dia dari hati dan pikirannya. Dan dengan bersikap seperti ini, Sebastian khawatir Aruna akan kembali berharap.
"Aku yang akan menjaganya," tegas Sebastian.
Malik hanya diam. Dia diam beberapa saat sambil menatap Aruna. Pada akhirnya, dia tidak menjawab atau mengangguk namun langsung berbalik dan berjalan menjauh. Wulan menyusulnya dengan cepat dari belakang.
"Kau mau istirahat dulu?" tanya Sebastian saat Malik dan Wulan sudah pergi.
"Kenapa dia melakukan itu tadi. Aku bisa berpikir dia masih peduli padaku," lirih Aruna.
"Jangan. Apapun yang dia lakukan tidak akan mengubah apapun," tegas Sebastian. "Wulan tadi juga mengatakan padaku Malik sudah memintanya menikahi dirinya."
Mata Aruna bergetar dan dengan suara tercekat dia berkata, "Ya. Malik pernah mengatakan hal yang sama padaku. Kenapa aku bodoh sekali. Dibandingkan kaki dan kepalaku, hatiku terasa jauh lebih sakit."
Sebastian yang berdiri di samping Aruna, mendekat dan memeluk gadis itu lembut.
"Maafkan aku," isak Aruna dengan suara teredam karena pelukan Sebastian.
"Berhentilah meminta maaf," bisik Sebastian.
*
Sepanjang perjalanan, Aruna memerhatikan Sebastian yang fokus mengemudi. Aruna cukup paham seberapa playboynya Sebastian. Namun, dia juga tahu dari banyak wanita yang dikencani Sebastian, tidak ada satu pun yang sakit hati padanya saat mereka sudah berpisah. Sebastian sangat tahu bagaimana menghormati mereka.
Namun, berbeda dengan Malik yang mampu membuatnya jatuh cinta, Sebastian hanya bisa membuatnya merasa kagum. Selama mengenal Sebastian, Aruna selalu mencintai Malik jadi dia tidak pernah sekalipun mempertimbangkan perasaannya pada pria ini. Tapi sekarang semuanya sudah berbeda.
"Apa kau sudah puas memandang wajah tampanku?" kata Sebastian sambil menyeringai dengan tatapan masih lurus ke jalanan di depannya.
"Kau tidak malu saat mengatakannya?" sindir Aruna.
"Malu? Kenapa? Aku mengatakan yang sebenarnya," sahut Sebastian.
"Astaga aku merinding mendengarnya," kata Aruna sambil melihat bulu-bulu halus kecil di tangannya. Sebastian tertawa keras mendengarnya.
"Mana yang lebih sakit? Kaki atau kepalamu?" tanya Sebastian sedikit menoleh ke Aruna sebelum kembali fokus mengemudi.
"Aku tidak merasakan sakit di kepalaku tapi kakiku memang sangat nyeri," jawab Aruna.
"Tidurlah. Aku bangunkan kalau sudah sampai," pinta Sebastian.
"Tidak. Aku akan menemanimu. Lagipula aku tidak sedang mengantuk. Aku khawatir melihat reaksi orang tuaku nanti," ucap Aruna sambil tertawa kecil.
"Ya, aku bisa membayangkan. Saat aku mendengar Pak Ardi mengatakan kau mengalami kecelakaan, aku sangat panik," Sebastian mengingat dirinya tadi yang langsung melompat dari club car dan berlari menuju mobilnya. Sebastian cukup yakin Malik membawanya ke rumah sakit terdekat tanpa Pak Ardi memberitahunya karena dia akan melakukan hal yang sama.
"Bagaimana restoranmu?" tanya Aruna.
"Persiapannya sudah hampir selesai. Mungkin dua minggu lagi aku akan mulai membuka tempatku," terang Sebastian. "Kau harus menjadi pelanggan pertamaku."
"Tentu saja! Kau tidak tahu seberapa kangen aku dengan masakanmu. Terutama grilled salmonmu. Itu masuk ke menu kan?"
"Tentu saja," seru Sebastian dengan senyumnya yang memikat.
*
"Kenapa kau berbuat begitu tadi? Apa kau tidak melihat aku sudah berusaha bersabar? Kalau kau terang-terangan mengabaikan aku di depan Aruna lagi, aku tidak akan peduli lagi aku bisa mendapatkanmu atau tidak. Aku akan benar-benar menghancurkan Aruna," sungut Wulan saat mereka sudah turun dari mobil sekembalinya dari rumah sakit.
"Kau pikir aku juga tidak bisa menghancurkanmu kalau kau sampai melakukan itu?! Aku tidak akan mempedulikan apapun lagi kalau kau sampai berani melakukannya," sahut Malik dengan sorot mata menakutkan.
"Karena itu!! Jangan memancingku!!" teriak Wulan seperti orang kesetanan.
"Bukankah berlibur ini idemu! Apa kau tidak membayangkan kemungkinan mereka akan menyadari aku sama sekali tidak peduli padamu?! Apa memangnya yang kau bayangkan? Aku akan berpura-pura bersikap romantis padamu? Kau sebaiknya cepat bangun," desis Malik dan dia berjalan cepat meninggalkan gadis itu.
Malik bisa mendengar Wulan berkata di belakangnya, "Kalau aku tidak bisa mendapatkanmu, maka Aruna juga tidak berhak memilikimu. Kau bisa bersama Aruna dalam keadaan dirinya yang sudah rusak."
Malik berhenti. Dia mengepalkan tangannya. Kalau saja Wulan bukan perempuan, sudah pasti dia akan mendaratkan tinjunya di wajah Wulan.
*
Sesuai dugaan Aruna, mama dan papanya menanggapi kecelakaan yang menimpanya sebagai sesuatu yang besar. Bahkan saat Aruna belum sempat duduk, mereka sudah memaksa Aruna untuk memeriksakan diri ke rumah sakit lagi. Mama dan papa Aruna khawatir ada diagnosa yang terlewat karena fasilitas yang kurang memadai di rumah sakit di pedesaan.
Aruna yang berulang kali mengatakan dirinya baik-baik saja, pada akhirnya menyerah dan menuruti orang tuanya. Sebastian yang masih ada di sana, menawarkan diri untuk mengantarkan mereka.
"Ayo nak," kata Ayu pada Sebastian.
"Sebastian kamu pulang aja. Kamu pasti capek habis nyetir empat jam," kata Aruna.
"Nggak masalah. Aku seneng bisa nganterin calon keluarga aku," kata Sebastian dan Aruna buru-buru membungkam mulut Sebastian karena khawatir orang tuanya bisa mendengar.
*
Sepulang dari liburan di Pondok Alam lima hari lalu, Malik tidak pernah lagi bertemu atau berpapasan dengan Aruna. Dia sangat ingin tahu keadaan gadis itu tapi dia menahan diri untuk tidak menghubunginya lebih dulu.
Sebuah ketukan di pintu dan Malik mempersilahkannya masuk. Ternyata Mario.
"Kau sudah siap dengan wawancara nanti malam?" tanya Mario sambil duduk di kursi di seberang Malik.
"Ya."
"Aku akan menemanimu nanti," kata Mario.
Malik mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
"Apa ini?" tanya Mario sambil membuka beberapa kertas yang tampak seperti brosur berwarna-warni.
"Tiket?! Ada namamu dan nama Aruna," pekik Mario. "Apa kau akan pergi dengannya?"
Malik menatap kertas yang sekarang dipegang Mario dengan lesu.
"Itu seharusnya menjadi kado bulan madu kami. Aku tidak membutuhkannya lagi," jawab Malik sambil beralih ke komputernya. Membayangkan seharusnya dirinya akan berangkat ke Eropa bersama Aruna membuatnya semakin sesak.
"Kau tidak akan pergi?" tanya Mario lagi.
"Lebih baik aku bekerja," jawab Malik acuh.
"Tapi ini tiket perjalanan keliling Eropa. Kalaupun kau tidak bisa mengajak Aruna, kau harus pergi sendiri," usul Mario dengan penuh penekanan.
"Entahlah," jawab Malik lirih. Dia kemudian mengingat sesuatu. "Bagaimana permintaanku kapan hari?"
"Oh iya aku lupa memberitahumu. Dia bisa memasukkan lamaran di perusahaan Bu Jessica. Akan diprioritaskan," terang Mario.
"Bagus," sahut Malik.
"Kenapa kau masih peduli padanya setelah apa yang sudah dia lakukan padamu?" tanya Mario.
"Aku tidak ingin menambah satu lagi alasan dia semakin membenci Aruna. Tapi aku juga sudah tidak tahan melihatnya. Aku harap dia menemukan kebahagiaan di tempat barunya nanti," jawab Malik.
*
Wulan masuk ke dalam ruangannya setelah barusan dia menelepon gadis itu.
"Duduklah," perintah Malik dan Wulan duduk di depan Malik.
"Soal aku memintamu mengundurkan diri beberapa hari lalu. Aku serius tentang itu. Dan aku sudah menemukan posisi yang tepat untukmu. Kesempatan karir lebih bagus dan gaji lebih tinggi. Kau bisa menghubungi beliau," kata Malik sambil menyodorkan sebuah kartu nama dan meletakkannya di depan Wulan.
Wulan mengambilnya. "Aku akan mengatakan pada yang lain aku mengambil kerja di tempat lain karena kita berencana menikah," ancam Wulan.
"Kau bisa mengatakan apapun yang kau mau selama kau tidak bekerja di sini lagi. Sebaiknya kau menghubungi beliau cepat," kata Malik sembari berdiri dari duduknya.
"Aku masih ada janji dengan seseorang. Tolong tutup pintunya saat kau keluar," kata Malik kemudian meninggalkan Wulan di ruangannya.
*
Wulan mengetuk-ketuk meja dengan kartu nama yang diterimanya barusan. Dia merasa sangat terhina tapi dia tidak peduli lagi. Selama Aruna tidak bisa mendapatkan Malik, dia tidak peduli bagaimana Malik memperlakukannya.
Pandangan Wulan kemudian beralih ke kertas mengkilat dengan warna cerah di meja Malik. Dia meraih kertas itu dan membacanya.
"Hah," dengus Wulan. Dia sangat tidak percaya Malik mempersiapkan hal seperti ini untuk Aruna. Dia awalnya merasa sangat iri. Namun kemudian, sudut bibirnya terangkat dan wajahnya tersenyum puas.
* *
Selamat siang .... semoga kalian suka sama part ini. Liburannya sudah selesai, sekarang back to drama lagi hahahahaa ...
Ketemu lagi hari Sabtu untuk Part 29 ya. Love you !!!
Published on Wednesday, October 3, 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top