Part 27 - Sepeda

Malik menyadari kesalahannya. Kenapa dia secara refleks dan tidak sadar mengambilkan nasi untuk Aruna? Sadar bahwa Sebastian dan Wulan juga melihat apa yang dia lakukan, Malik dengan cepat mengambil piring Wulan untuk melakukan yang sama.

"Berikan piringmu," kata Malik pada Sebastian setelah mengambilkan nasi di piring Wulan. Sebastian hanya menaikkan alisnya. Malik bersyukur setelah itu mereka tidak melihat mereka dengan aneh lagi.

Dinner istimewa malam itu benar-benar spesial. Tidak hanya makanannya yang benar-benar menggoda namun juga seluruh suasana di sana. Angin malam yang berhempus lembut, penerangan dari lampu dan lampion menambah suasana romantis, taburan kelopak bunga mawar di atas karpet yang mereka duduki benar-benar memberikan wangi yang lembut, dan suara jangkrik dari kejauhan.

Selama tiga puluh menit pertama, keempatnya menikmati hidangan yang disediakan dan mengomentari makanan yang masuk ke mulut mereka. Sebastian yang paling banyak mengulik makanan malam itu karena sebagai seorang chef, dia ingin tahu bumbu apa saja yang mereka gunakan.

Hingga satu jam berlalu, semuanya berjalan lancar. Mereka berbincang dengan normal dan ringan, hingga.

"Apa kalian menginap di kamar yang sama juga?" tanya Wulan sambil menatap Aruna dan Sebastian bergantian.

'Juga? Apa dia baru saja mengatakan juga?' Malik semakin geram mendengarnya.

"Tidak. Kamar kami berbeda," jawab Sebastian dengan senyum ramahnya.

"Oh. Kenapa? Aku pikir kalian .... ," Wulan sepertinya sengaja menggantung kata-katanya berharap Sebastian atau Aruna-lah yang akan menyelesaikan kalimatnya.

Namun baik Sebastian dan Aruna hanya diam. Sebastian tersenyum ke arah Aruna dan Aruna membalas senyuman Sebastian. "Maafkan pertanyaanku," kata Wulan sambil tertawa canggung.

"Bukan masalah," masih Sebastian yang memberikan respon.

"Kalian terlihat sangat serasi," imbuh Wulan.

Malik menatap Aruna dan gadis itu menunduk melihat piringnya sambil masih mengunyah makanan yang ada di mulut. Malik tahu bahwa Aruna adalah orang spesial baginya, dan saat sudah kehilangan dirinya, Malik semakin menyadari pentingnya Aruna bagi dia.

"Aku sudah selesai, aku ke kamar dulu," kata Malik kemudian berdiri.

"Malik ini kartu kamarnya," kata Wulan buru-buru mengeluarkan kartu berwarna hitam dan menjulurkannya kepada Malik. Malik diam, ragu tentang apa yang harus dia lakukan. Jika dia mengambil kartu itu, Aruna akan percaya bahwa dirinya dan Wulan menginap di kamar yang sama dan hal itu akan sangat menyakiti gadis itu. Namun jika dia menolak kartu tersebut, kemungkinan Aruna masih tidak akan melepaskan dirinya.

"Terima kasih," kata Malik akhirnya sambil mengambil kartu yang diulurkan Wulan. Dia bisa melihat Wulan tersenyum sangat puas. Dia tidak berani menatap Aruna.

*

Aruna berbalik ke kanan dan kiri tanpa henti, berusaha menemukan posisi tidur yang nyaman dan membuatnya dirinya sendiri tertidur dengan cepat. Namun hingga pukul dua siang, dia masih saja tidak terpejam. Merasa frustasi, Aruna pun mengambil jaketnya dan keluar dari kamar.

Dia mungkin terlihat baik-baik saja. Namun, jauh di dalam hatinya, Aruna sedang tidak baik-baik saja. Selama ini dia terlatih untuk memendam perasaannya dan berfokus pada hal yang patut dia syukuri. Tentu saja Malik adalah hal terbesar yang selalu dia syukuri dalam hidupnya. Dengan kehilangan Malik, dia benar-benar seperti kehilangan arah.

Aruna berjalan ke luar kamar hotel hingga ke luar resort. Udara malam itu sedikit dingin dibandingkan saat mereka makan malam tadi. Aruna mengeratkan jaketnya dan memeluk dirinya sendiri sambil berjalan tanpa arah. Lingkungan sekitar resort dikelilingi dengan dedaunan hijau dan hamparan rumput hijau.

Setelah berjalan kira-kira satu kilometer, Aruna melihat sebuah tenda berdiri di sana dengan api unggun yang menyala di depannya. Aruna berjalan mendekat dan saat dirinya berbelok hingga bisa melihat tenda dari arah depan, dia melihat seorang pria sedang duduk di depan api unggun. Dari sosoknya, Aruna tahu pasti dia siapa namun dia tidak yakin karena itu dia berjalan mendekat. Dan di sanalah dia melihat Malik sedang memegang sebuah cangkir besar dan duduk sendirian di depan sebuah api unggun yang menyala.

Aruna ingin mendekat tapi kakinya sangat berat untuk melangkah. Dia hanya bisa terpaku di sana sambil melihat Malik yang duduk sendirian sembari sesekali menambahkan ranting-ranting kering ke api unggun kecil di depannya. Aruna berharap Malik akan menoleh dan melihatnya. Mungkin dengan begitu, tidak akan sulit baginya untuk mendekat.

Sayangnya Malik tidak menyadari keberadaannya hingga Aruna hanya bisa diam di sana sampai beberapa saat. Hingga Malik masuk ke dalam tendanya, barulah Aruna berbalik dan kembali ke kamarnya.

Aruna yang sudah merebahkan dirinya di atas kamar tidur hotel, melihat langit-langit dan berpikir apa yang dilakukan Malik di sana. Apakah Wulan tertidur di dalam tenda? Tapi sepertinya tenda tadi hanya cukup untuk satu orang. Tanpa disadari, air matanya menetes di kanan dan kiri matanya. Aruna tidak yakin apakah dia menangis karena membayangkan Wulan ada di dalam tenda ataukah karena raut sedih Malik tadi.

*

Pukul enam pagi, Malik, Wulan, Aruna, dan Sebastian sudah berkumpul di depan hotel dengan Pak Ardiman sudah siap mengajak mereka semua bersepeda santai.

"I'll ride the club car. I can't ride a bike," Sebastian berdeham dan mereka semua menatapnya dengan tidak percaya. Aruna bahkan secara terang-terangan memukul bahunya dan tertawa keras.

"Jadi si Sebastian serba bisa tidak bisa naik sepeda?!" seru Aruna bersemangat.

Sebastian memandang Aruna dan mengangguk malas. Wulan tersenyum simpul sedangkan Malik tidak menunjukkan ekspresi berarti.

"So, can I ride the club car?" tanya Sebastian pada Pak Ardiman sembari mengabaikan Aruna yang masih belum puas mengoloknya.

"Boleh, tidak masalah," jawab Par Ardiman.

Akhirnya, Malik, Pak Ardiman, Aruna, dan Wulan bersepeda dengan Pak Ardiman dan Malik di depan sedangkan Aruna dan Wulan bersepeda di belakang mereka. Sebastian melajukan cluc car-nya dengan pelan di belakang mereka.

Jalanan yang mereka lalui pada awalnya cukup lancar dan mulus, hingga mereka memasuki area hutan di mana medan menjadi semakin sulit. Sebastian juga tidak terlihat karena dia harus berbelok ke arah lain yang bisa dilewati club car.

Aruna melihat beberapa kali Malik menoleh ke belakang, sepertinya memastikan Wulan dan dirinya tidak tertinggal. Aruna sendiri mulai kesulitan mengendalikan laju sepedanya. Selain kerikil dan batu berukuran sedang yang membuat sepeda yang dia naiki berguncang cukup hebat, jalanan pun semakin menurun. Pak Ardiman juga beberapa kali mengingatkan mereka untuk berhati-hati.

Dan saat jalanan menurun yang mereka lalui terhalang akar pohon besar dan Aruna terlewat menyadarinya, sepeda Aruna menjungkal ke depan hingga dia mendarat ke tanah dengan cukup keras. Wulan yang berada sedikit di belakang Aruna langsung berhenti dan Malik yang menoleh serta mendapati Aruna sudah terjatuh di tanah, dengan cepat melompat dari sepedanya.

Pak Ardiman juga mendengar suara jatuh Aruna yang cukup keras. Dia juga segera menghentikan sepedanya.

Malik berlari ke arah Aruna dan berlutut di depannya. "Kamu gak apa-apa?" tanya Malik panik sambil membantu Aruna untuk duduk.

"Gak apa-apa," kata Aruna berusaha membuat tubuhnya duduk.

Aruna menatap Malik yang melihat ke arah dahinya dengan mata melebar. Secara otomatis, Aruna menyentuh dahinya dan sebuah cairan merah kini membasahi telapak tangannya.

"Kau berdarah," kata Malik tercekat.

"Mungkin hanya luka kecil," jawab Aruna menenangkan karena dia tidak merasakan sakit di dahinya namun lebih ke kakinya. Aruna tahu dia tidak akan bisa berdiri normal dengan kondisi sakit di kaki yang dirasakannya.

"Astaga Aruna, kau berdarah!!" pekik Wulan terlihat ketakutan.

Aruna berusaha bangkit tapi kakinya sangat sakit. Malik yang berjongkok di depannya dengan cepat memutar tubuh dan menawarkan punggungnya pada Aruna.

"Cepat naik," kata Malik tegas.

"Gak apa-apa Malik. Tunggu sebentar aja, aku lurusin kaki dulu," jawab Aruna.

"Cepat naik!" kali ini nada suara Malik semakin tinggi dan Aruna terhentak hingga secara refleks dia merangkulkan tangannya mengelilingi leher Malik. Dengan perlahan dan pasti, Malik mengangkat tubuhnya dan Aruna yang sudah menempel di punggungnya.

"Mas Malik jalan ke arah sana, saya tunggu di sana ya Mas. Saya siapkan mobil. Mbak Wulan ayo ikut saya," ajak Pak Ardiman.

Wulan terlihat ragu harus meninggalkan Malik dan Aruna berdua. "Saya nemenin mereka aja Pak," kata Wulan.

"Gak apa-apa Mbak, jalan setapaknya gak jauh. Ayo Mbak Wulan, ikut saya," ajak Pak Ardiman lagi.

Aruna melihat Wulan menoleh ke arahnya dan Malik, kemudian akhirnya dia mengangguk ke arah Pak Ardiman.

Dengan berat, Wulan mengambil kembali sepedanya dan mengikuti Pak Ardiman.

Malik sama sekali tidak menunggu Wulan pergi dan langsung membawa Aruna melalui jalan setapak yang ditunjuk Pak Ardiman tadi.

"Malik, Malik, pelan," kata Aruna yang berada di punggung Malik karena pria itu berjalan hampir setengah berlari.

Malik sepertinya tidak mendengar Aruna karena dia masih berjalan dengan kecepatan yang sama. Aruna semakin mengeratkan pelukannya karena takut dia bisa jatuh.

Mereka akhirnya keluar dari jalanan setapak hutan dan Pak Ardiman belum sampai. Namun Aruna baru tahu bahwa Malik sama sekali tidak berencana menunggu Pak Ardiman dan Wulan karena dia langsung berjalan ke arah mobilnya masih dengan setengah berlari.

"Malik, kita sebaiknya nunggu Pak Ardi," kata Aruna masih mengencangkan pegangannya.

Malik tidak menjawab dan saat sudah di depan mobilnya, Malik membuka pintu dan mendudukkan Aruna di sana. Dia berjalan memutar dan segera duduk di belakang kemudi.

"Kita ke rumah sakit. Ada satu tidak seberapa jauh dari sini," kata Malik sambil mengaitkan seatbeltnya dengan sangat tergesa.

"Malik, tenanglah, aku tidak apa-apa," kata Aruna lagi namun Malik masih terlihat sangat panik.

Saat sudah di jalan pun Malik melajukan mobilnya cukup cepat karena jalanan juga sangat sepi. Setelah berkendara sekitar sepuluh menit, mereka akhirnya sampai di sebuah rumah sakit yang tidak seberapa besar. Malik menghentikan mobilnya di depan gedung bertuliskan IGD besar.

*

"Ada sedikit luka robek di dahinya. Tapi aku tidak perlu menjahitnya. Dan karena kakinya terkilir, kakinya harus diperban. Kalian bisa kembali lima hari lagi," kata dokter yang memberikan penanganan pada Aruna.

"Obatnya bisa diambil di apotik ya. Tenang, mbaknya baik-baik saja," kata dokter tadi sambil menepuk bahu Malik dua kali sebelum berlalu.

Aruna masih duduk di atas bed rumah sakit dengan Malik duduk di kursi tepat di sampingnya.

Setelah dokter tadi pergi, Malik menekuk kedua tangannya di atas ranjang dan menelungkupkan kepalanya di sana. Bahunya tampak bergetar.

"Malik, kau kenapa?" tanya Aruna yang sudah mengulurkan tangannya tapi tidak berani menyentuh bahu pria itu.

Malik mengangkat kepalanya dan menoleh ke kiri agar Aruna tidak bisa melihatnya.

"Aku ke toilet dulu," katanya dan dia buru-buru keluar dari kamar tersebut.

*  * 

Hope you love his part. Jangan lupa vote dan komennya yaaaa !!!!! Love you !!!! 

Published on Monday, November 1, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top