Part 26 - Kuda dan Lampion

"Kalau kami menikah, aku berharap kau datang."

Aruna menolehkan kepalanya cepat menghadap Malik. Apakah Wulan menganggap apa yang dia lakukan belum cukup menyakitkan? Bagaimana bisa dia mengungkit tentang pernikahan? Dan bagaimana bisa juga dia memintanya datang?

Aruna kembali menatap Malik yang sedang membelai seekor gajah kecil yang sedang bermain dengan induknya. Aruna terlalu mencintai Malik. Walaupun dia tidak bisa memiliki kesempatan membahagiakan Malik, tidak bisakah dia melihat Malik bahagia dengan wanita yang tepat?

"Apa kau mencintainya?" tanya Aruna lirih tanpa menatap Wulan.

"Tentu saja," jawab Wulan dengan senyum mengejek. Seakan Aruna tidak perlu menanyakan hal tersebut.

"Lakukan apapun yang membuatnya bahagia," imbuh Aruna.

"Kau tidak perlu memberitahuku soal itu," timpal Aruna.

Aruna dan Wulan yang berdiri berdampingan dengan jarak hanya empat langkah itu melihat Sebastian berlari kecil ke arah mereka.

"Kalian rugi sekali tidak turun ke sungai. Ini menyenangkan sekali!!" seru Sebastian yang sudah sangat basah kuyup.

Malik juga berjalan dengan pelan ke arah mereka bersama Pak Ardiman.

"Ayok, habis ini kita ke peternakan kuda," kata Pak Ardiman. "Ada yang bisa berkuda?"

"What did he say?" tanya Sebastian ke Aruna.

"He asked if any of us can ride a horse," terang Aruna.

"I can ride a horse!" seru Sebastian sembari mengangkat tangannya.

"Saya juga pernah," sahut Wulan.

Aruna melirik Malik dan benar saja, pria itu sedang menatapnya. 'Apakah Malik sedang memikirkan hal yang sama?' tanya Aruna pada dirinya sendiri.

Saat mereka SMA, Malik lah yang mengajarkan Aruna cara menunggang kuda. Mereka beberapa kali mengunjungi kakek buyut Malik yang memiliki peternakan kuda. Saat itu mereka naik kereta api berdua untuk mengunjungi rumah kakek buyut Malik. Aruna benar-benar bahagia saat itu.

"Bagus sekali. Saya gak perlu tanya Mas Malik karena saya sudah pernah lihat sendiri kemampuan berkuda Mas Malik. Mbak Aruna gimana?" tanya Pak Ardiman.

Aruna mengangguk dengan ragu. Dia sudah lama tidak menunggang kuda jadi entah dia masih memiliki kemampuannya yang dulu atau tidak.

Setelah Sebastian dan Malik berganti pakaian, kelimanya kembali berjalan menuju club car transporter, dan dengan Pak Ardiman memegang kemudi, mereka pun menuju peternakan kuda.

Tempatnya tidak terlalu jauh. Pak Ardiman mengajak mereka ke kandang kuda di sana dan kembali menjelaskan tentang kuda-kuda yang ada di sana. Setelah mengajak berkeliling dan memperkenalkan kepada mereka seekor kuda yang baru saja dilahirkan, Pak Ardiman mengajak keempatnya untuk bersiap-siap.

Seorang karyawan di sana membantu Malik, Sebastian, Aruna, dan Wulan memakai helm, dan boot tunggang. Karena keempatnya sudah cukup familiar dengan berkuda, Pak Ardiman tidak perlu membantu mereka saat akan naik ke atas kuda, berbeda dengan para pemula yang biasanya ragu atau takut saat akan menaiki kuda.

Malik menghentakkan kedua kaki ke perut kuda dengan lembut dan kuda pun mulai berjalan biasa. Wulan mengikuti di belakangnya, kemudian Aruna, dan terakhir disusul oleh Sebastian. Semakin lama, keempatnya mulai membuat kuda yang mereka naiki berlari cepat.

Tidak ada yang mengajak atau mengusulkan, namun secara otomatis, keempatnya mengendarai kuda dengan cukup cepat dan saling susul-menyusul. Malik memimpin, diikuti dengan Aruna, dan Sebastian. Wulan tertinggal beberapa meter dari mereka.

Malik semakin memimpin begitu juga dengan Aruna. Kedua kuda Malik dan Aruna berlari berdampingan dengan sangat cepat. Malik dan Aruna menoleh dan saling melempar senyum, seakan mereka ditarik kembali ke masa-masa SMA di mana mereka banyak menghabiskan waktu di padang rumput seperti ini.

Setelah kurang lebih dua jam, mereka kembali ke tempat mereka pertama kali mulai. Pak Ardiman menyambut Malik dan Aruna dengan tepukan tangan yang sangat meriah. Begitu juga dengan Sebastian yang hanya sedikit di belakang mereka. Malik dan Aruna tertawa lebar dan sedikit melupakan masalah di antara mereka.

Malik, Aruna, dan Sebastian sudah turun dan selang beberapa menit, mereka melihat Wulan datang.

"Sepertinya kalian bersenang-senang," seru Pak Ardiman terlihat lebih bangga dibandingkan keempatnya, seperti seorang ayah yang melihat anak-anaknya berhasil mengendalikan kuda. Dan semuanya mengangguk, setuju dengan kata-kata Pak Ardiman.

"Karena sudah mau sore, kalian boleh ke kamar resort dulu buat istirahat. Nanti saya tunggu di lobby hotel jam tujuh malam. Oke?"

*

Mau tidak mau Aruna melihat ke arah Malik. Aruna masih tidak percaya bahwa Malik akan bermalam di kamar yang sama dengan Wulan.

"Shall we?" kata-kata Sebastian membuyarkan pikiran Aruna dan dia menatap Sebastian yang sudah membawa dua kartu untuk kamar mereka masing-masing.

Aruna kembali menoleh sebentar ke arah Malik yang masih berbicara dengan resepsionis. Aruna pun berjalan bersama Sebastian menuju kamar mereka tanpa berani menoleh lagi.

"Apa kau masih tidak bisa menerimanya?" tanya Sebastian saat mereka berjalan di jalan setapak yang cukup asri dengan bunga-bunga cantik mengiringi sepanjang jalan di kanan-kiri.

Sejujurnya, Aruna masih tidak rela melepaskan Malik. Dia masih saja gagal mangalihkan perhatiannya dari Malik. Dia masih saja mencuri pandang ke Malik dan masih saja ingin tahu tentang dirinya. Apakah dia sangat bodoh? Malik sudah menyakitinya tapi kenapa dia masih saja mau tahu tentang dirinya.

Kamar Aruna dan Sebastian berhadapan. Sebelum Sebastian masuk ke kamarnya, dia menatap Aruna dan mengelus rambutnya lembut.

"Kuharap kau bisa cepat melupakannya. Aku serius tentang menunggumu," kata Sebastian lembut. Aruna mengangguk.

"Terima kasih Sebastian. Untuk semuanya," kata Aruna.

*

Aruna segera merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur hotel yang terasa sangat nyaman dan udara panas yang dari tadi dirasakannya seketika menguar saat udara dingin kamar merasuk ke tubuhnya.

Aruna memejamkan mata dan membayangkan hal yang tidak-tidak. Dia membayangkan Malik dan Wulan masuk ke kamar yang sama dan apa saja yang bisa mereka lakukan di sana. Aruna mulai menepuk-nepuk kepalanya berharap menghilangkan segala pikiran itu.

Dia berusaha memejamkan mata, berharap dirinya bisa tertidur segera.

*

Malam itu, Aruna memakai gaun terusan putih di bawah lutut dan membiarkan rambutnya tergerai dengan alami. Tepat pukul tujuh malam, pintu kamarnya diketuk dan Sebastian berdiri dengan sangat tampannya di sana. Sebastian memakai kemeja berwarna putih dan celana jeans. Keduanya tampak seperti pasangan yang memakai pakaian senada.

Sebastian menekuk lengannya dan menawarkannya pada Aruna. Dengan senyum lebar, Aruna menyambut lengan Sebastian dan mengalungkan tangannya ke lengan pria itu.

"Kau terlihat sangat cantik," puji Sebastian saat mereka berjalan menuju lobby.

"Terima kasih. Kau juga terlihat sangat tampan," balas Aruna.

Saat keduanya keluar dari lift, mereka melihat Malik dan Wulan sudah duduk di sana. Malik memakai kaos turtle neck berwarna coklat tua dan celana putih. Sedangkan Wulan, terlihat cukup maksimal dengan baju tanpa lengan berwarna ungu dan full make-up.

Malik dan Wulan terlihat duduk di lobby cukup berjauhan. Berbeda dengan Aruna dan Sebastian yang bukan pasangan namun datang sambil saling mengaitkan lengan.

*

Malik menoleh ke arah Aruna dan Sebastian yang tampil senada, membuat mereka seperti pasangan yang kompak. Malik tidak hentinya melirik ke arah Aruna yang tampak sangat cantik malam itu. Aruna seperti biasa tampil polos tapi itulah yang membuat Malik menyukainya. Dia masih tidak percaya tidak bisa berdiri di samping gadis itu seperti yang selama ini dia lakukan.

Malam itu bukan Pak Ardi yang menemani mereka. "Selamat malam, Pak Malik, Bu Wulan, Pak Sebastian, Bu Aruna. Mari saya antarkan ke tempat makan malam yang sudah kami siapkan secara spesial," seorang wanita dengan seragam hotel sangat rapi menyapa mereka.

Wanita dengan kata manager di name tagnya tadi tersenyum sangat ramah kepada mereka sembari berjalan lebih dulu. Aruna dan Wulan berjalan beriringan dengan wanita tadi. Malik serta Sebastian berjalan di belakang ketiga wanita tersebut.

"Kita sudah sampai. Kami menyiapkan outdoor dinner ini khusus. Makan malamnya akan disajikan sebentar lagi. Silahkan," kata wanita itu lagi.

*

Aruna tercengang dengan tatanan makan malam di sana. Lampion kertas besar digantung dengan sangat cantik di sebuah pohon, lampu yang membuat badan pohon terlihat magis, dan meja kayu panjang tertata apik di atas sebuah karpet. Tidak ada kursi, hanya beberapa sofa pillow ukuran cukup besar.

Aruna yang mengagumi tatanan makan malam di depan mereka, menoleh ke Sebastian untuk melihat bagaimana reaksinya. Namun ternyata Sebastian sedang mengagumi sesuatu yang lain dan hal tersebut membuat Aruna tertawa kecil. Ternyata Sebastian masih sama dengan Sebastian yang dia kenal.

"Can you stop looking at her?" bisik Aruna karena Sebastian tidak hentinya menatap wanita berseragam hotel tadi.

"She has a smile as bright as you," kata Sebastian masih tidak bisa mengalihkan pandangannya.

"Kau bisa menanyakan nomornya nanti," usul Aruna sambil tertawa kecil.

"No. I'm here for you. Unless you push me away, I'll definetly go after her," Sebastian meyakinkan dengan tatapan nakalnya. "How do you pronounce her name?" tanya Sebastian.

"It's Siti," kata Aruna yang mau tidak mau akhirnya melihat name tag wanita dengan jabatan manager tersebut dan Sebastian mengulang nama wanita itu sambil tersenyum.

Aruna mengalihkan perhatiannya ke Malik dan seketika dadanya berdesir hebat saat Malik sedang menatapnya dengan sangat dalam. Aruna membeku dan saat itulah Malik kembali mengalihkan matanya.

Akhirnya, keempatnya duduk saling berhadapan seperti saat mereka bertemu secara tidak sengaja di depot nasi goreng. Sebastian duduk di samping Aruna dan di depannya ada Wulan. Aruna sendiri harus duduk berseberangan dengan Malik lagi.

Mereka duduk bersila di depan meja panjang kayu dan tidak lama, seorang pelayan mulai menyajikan cukup banyak pilihan makanan mulai dari udang goreng mentega, ayam bakar, hingga gurame asam manis.

Aruna yang langsung lapar mata, hendak mengambil nasi di bakul untuk piringnya. Namun dia sangat kaget saat Malik mengambil piringnya dan menaruh piring yang sudah terisi nasi di mejanya. 

Aruna membelalak dan Malik juga membeku seakan menyadari apa yang baru saja dia lakukan salah. Dengan segera Malik mengisi piring kosong yang sudah diambilnya dari Aruna dengan nasi dan meletakkan di hadapannya. Malik terlihat sangat berharap tidak ada yang memerhatikan. Namun ternyata Sebastian dan Wulan sudah menangkap apa yang baru saja dia lakukan.

* *

Oke jujur, jadi saya masih suka baper sama cowok yang ngambilin makanan buat pasangannya saat mereka lagi makan. Makanya adegan ini juga muncul di ceritaku lainnya yg sudah complete dengan judul "Terjebak Kata Sahabat". 

Manis aja gitu ... Gimana dengan pasangan kalian? Suka gitu juga gak? Semoga kalian suka part ini dan please jangan lupa vote dan komen ya. 

This part is dedicated for my sahabat :) ___ Jadi inget dulu ada siswa pertukaran pelajar dari Amerika saat kuliah bilang bahwa kata Bahasa Indonesia favoritnya adalah "sahabat" karena Americans will simply say bestfriend. And then she said but sahabat is so much deeper that bestfriend. So, thank you sahabat. Love you !!! 

Published on Saturday, October 30, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top