Part 23 - Pindahan

"Maafin aku ya Yu," kata Anggie, Ibu Malik pada Ayu. Anggie dan Taufik sudah mendatangi rumah Aruna dan meminta maaf sekali lagi atas keputusan sepihak yang dibuat Malik.

"Bukan sepenuhnya salah kamu Nggie. Kita juga salah karena ngusulin pertunangan ini," sahut Ayu.

"Aruna gimana?" tanya Anggie dengan raut wajah bersalah.

Ayu menyeka air matanya dan menepuk tangan Anggie pelan. "Dia masih butuh waktu," jawab Ayu.

"Aku nggak ngerti sama anakku sendiri. Aku cukup yakin dia cinta banget sama Aruna. Dia bahkan menemui kalian tanpa memberitahu kamu dulu," urai Anggie.

Semenjak Malik memberitahu dirinya dan Taufik tiga hari yang lalu, Anggie masih tidak sanggup menyalahkan anaknya. Entah karena insting seorang Ibu, Anggie bisa melihat penderitaan di mata Malik. Karen itu, Anggie sama sekali tidak mengerti apa yang ada di kepala anaknya. Sejak hari itu, Malik juga langsung kembali ke apartemennya.

Sore itu setelah mengunjungi Ayu, Anggie pergi ke apartemen anaknya. Dia langsung naik ke lantai tujuh.

Setelah menekan bel apartemen dua kali, pintu apartemen terbuka. Malik berdiri di depannya, terlihat sangat tidak baik. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan dia tidak mencukur bulu di wajahnya.

"Kamu sakit nak?" Anggie bertanya dengan nada khawatir dan melihat kamar apartemen Malik dalam keadaan gelap.

Anggie buru-buru menempelkan tangannya ke dahi Malik dan benar saja, anaknya itu sedang demam.

"Kamu tiduran dulu, mama bikinin teh lemon hangat ya," ucap Anggie sembari menuju dapur Malik. Anggie tahu kulkas Malik pasti penuh bahan makanan karena anaknya itu lebih suka memasak sarapan dan makan malamnya sendiri.

Dari dapur, Anggie menoleh sebentar dan dia melihat Malik sudah duduk bersandar di sofa besarnya.

Setelah membuatkan Malik minuman hangat, Anggie membawanya ke meja yang ada di depan Malik dan dia duduk di samping anaknya.

"Mama benar-benar gak paham sama kamu. Kamu yang batalin pertunangan ini tapi kenapa sepertinya kamu yang lebih menderita," ucap Anggie.

"Makasih ya Ma," kata Malik mengabaikan kata-kata mamanya barusan dan mengambil teh lemon panas di depannya.

"Mama ke rumah Aruna?" tanya Malik.

Anggie mengangguk. "Iya. Hari ini juga," jawab Anggie.

Tampak ragu sejenak, sebelum Malik bertanya, "Aruna gimana Ma?"

"Mama juga belum ketemu sama Aruna. Tante Ayu cuma bilang Aruna juga butuh waktu buat menerima semua ini," ujar Anggie.

Malik menghela napas dan menghembuskannya dengan kasar. "Maafin Malik ya ma," ucap Malik.

"Ada apa sama kamu?" tanya Anggie sambil mengusap punggung anaknya.

Malik hanya menundukkan kepala kemudian menggeleng pelan.

Sebelum pulang, Anggie menyiapkan sup dan minuman hangat lagi untuk Malik dan memastikan anaknya itu meminum obat.

Sepulang Anggie, Malik kembali terbaring di tempat tidurnya. Selama tiga hari ini, dia meminta Mario menggantikannya. Wulan beberapa kali meneleponnya tapi tidak dengan Aruna. Malik kembali terisak. Dia sangat merindukan Aruna. Dia melihat foto dirinya dan Aruna saat mereka masih SMA dan kuliah yang terpajang di kamarnya.

*

Sekitar seminggu kemudian, Aruna akhirnya bisa mulai berinteraksi kembali dengan keluarganya. Berapa kalipun dia mencoba menerima ini, dia masih tidak bisa menerimanya. Bukan satu atau dua tahun dia mengenal Malik. Karena itu, dia masih tidak mengerti dengan perubahan sikap Malik yang tiba-tiba.

Aruna berusaha menerima keputusan Malik namun tante Anggie yang baru ditemuinya mengatakan hal yang membuatnya kembali bimbang. Tante Anggie mengatakan bagaimana terpuruknya Malik dan bahwa Malik jatuh sakit selama empat hari. Aruna, merindukan Malik.

Jadi, siang itu, Aruna membulatkan tekad. Dia akan menemui Malik dan bertanya sekali lagi tentang keputusannya. Aruna tidak peduli lagi mengenai harga dirinya. Dia hanya tidak ingin menyesalinya nanti.

Menjelang jam dua siang, Aruna sampai di kantor Malik. Sang resepsionis memberikannya kartu pengunjung dan menyuruhnya langsung naik. Namun, di lorong menuju lift, Aruna melihatnya. Sosok Malik dari belakang. Aruna sudah sangat hafal. Dia pun mempercepat langkahnya supaya tidak kehilangan sosok Malik.

Entah atas dasar apa, Aruna cukup yakin Malik memiliki perasaan yang sama dengannya. Memiliki cinta sedalam yang dirasakan dirinya pada pria itu. Memendam kerinduan sebesar dirinya. Aruna mempercepat langkahnya dan melihat punggung pria itu.

Aruna yang berhasil mengejar Malik, mengulurkan tangan, menggapai lengan Malik, dan memutar tubuh tinggi pria itu. Mata Malik melebar saat mengetahui Aruna sudah berdiri di depannya.

"Kamu ngapain di sini?" tanya Malik masih dengan raut wajah yang tidak berani Aruna artikan karena itu mungkin menumbuhkan satu lagi harapan palsu untuknya.

"Aku masih berharap sama kita. Aku nggak mau melepaskan kamu," jelas Aruna berusaha keras menahan air mata yang menggenang.

"Bagian mana dari kata-kataku yang tidak kamu mengerti. Pertama, aku nggak cinta kamu. Kedua, aku nggak bakal sudi menikahi anak pungut. Dan ketiga, aku bakal menikahi dia."

Malik menghentakkan cekalan tangan Aruna dan berbalik kemudian berjalan cepat meninggalkan gadis itu. Aruna tidak bisa berkata-kata. Air mata yang daritadi ditahan, lolos turun ke pipinya. Kata-kata Malik tadi cukup menyakiti dirinya dan membuatnya merasa sangat rendah serta terhina.

Sebelum ini, Malik sama sekali tidak pernah mempermasalahkan statusnya sebagai anak angkat. Tapi sekarang, pria itu bahkan memberikannya label anak pungut. Bahkan saat meminta maaf kepada orang tuanya pun, Malik tidak menyinggung sama sekali tentang statusnya ini. Apakah Malik benar-benar keberatan akan hal ini? Apakah Malik ragu karena statusnya?

*

Malik menarik dasinya dengan kasar dan menyisir rambutnya penuh frustasi. Dia mengusap air mata yang menggenang di sudut kedua mata sembari bergumam, "Ini lebih baik dibandingkan potensi rasa sakit yang jauh lebih besar."

*

SATU BULAN KEMUDIAN

"Kau di mana? Aku sudah sampai."

Aruna melajukan mobilnya lebih cepat. "Aku sudah mau sampai," jawab Aruna. Dia menekan pedal gas semakin dalam dan melajukan mobilnya dengan lancar.

Kurang dari sepuluh menit, gadis itu akhirnya sampai. Aruna turun dari mobil dan langsung tersenyum melihat Sebastian duduk berjongkok di depan pintu studionya.

"Kau bisa tertawa?" kata Sebastian masih berjongkok. "Aku terlalu lama menunggumu sampai sepertinya aku tidak bisa berdiri lagi. Bisa bantu aku?" imbuh Sebastian sambil mengulurkan tangan kirinya pada Aruna.

Aruna berjalan cepat ke arah Sebastian dan gadis itu menarik tangan Sebastian yang terulur. Dan benar saja, sepertinya kaki Sebastian kesemutan karena pria itu langsung terhuyung. Untung saja, Aruna cukup kuat untuk menahan beban tubuhnya.

"Aduh ... aduh... kakiku ....," keluh Sebastian sambil meringis.

"Maafkan aku," kata Aruna sambil tertawa keras. "Sepertinya kau sudah tua. Baru jongkok sebentar saja sudah langsung kesemutan begini."

"Kau pikir aku sedang parodi?" protes Sebastian. "Ayo," katanya sambil berlari-lari kecil di tempat.

Hari ini Sebastian setuju membantunya memindahkan barang-barang di studionya untuk dipindahkan ke studio yang baru yang Aruna sewa sendiri. Aruna merasa tidak nyaman harus tetap melukis di tempat yang dimiliki Malik.

Aruna dan Sebastian sudah beberapa kali bertemu sejak terakhir kali Aruna datang ke kantor Malik. Hari di mana Malik sudah benar-benar menolaknya. Dan hari di mana Aruna memutuskan untuk menyerah mengejar Malik. Sebastian juga sudah tahu bahwa Malik membatalkan pertunangannya dengan Aruna. Aruna juga menceritakan alasan yang dikatakan Malik saat membatalkan rencana pernikahan mereka.

Siang itu Sebastian membantu Aruna memanggil truk jasa pindahan sehingga mereka tidak akan terlalu repot. Aruna membuka kunci dan membiarkan Sebastian masuk lebih dulu saat dia memegangi daun pintu.

Mereka tidak harus mengepak barang-barang yang ada di sana karena jasa pindahan yang akan melakukannya.

"Apa ikan di atas punya Malik?" tanya Sebastian.

"Iya. Mereka teman-teman Malik, jadi jangan pisahkan mereka," kata Aruna tersenyum namun tidak dengan matanya. Setiap kali menyebut nama Malik, Aruna merasakan rindu yang sangat. Mungkin nanti, Malik masih mau menerimanya lagi sebagai teman. Walaupun dia berhak membenci Malik, kenyataannya dia masih tidak bisa membenci pria itu. Tapi untuk sementara, Aruna ingin menjaga jarak dulu darinya.

Aruna berjalan ke meja bundar yang ada di lantai satu dengan kalender duduk di atasnya. Dia melihat tanggal hari ini dan menyadari tanggal apa hari ini.

"Ada apa?" tanya Sebastian yang menangkap ekspresi aneh Aruna.

"Tanggal 29. Kami seharusnya menikah hari ini," sahut Aruna sambil tersenyum kecil.

"Apa kau tidak apa-apa?" tanya Sebastian dengan penuh simpati.

"Sudah lebih baik sekarang," jawab Aruna.

"Dia tidak menghubungimu lagi?" tanya Sebastian lagi.

"Tidak. Mungkin lebih baik begini."

Suasana yang seketika berubah serius itu, disela dengan kedatangan jasa pindahan yang memang mereka panggil. Tiga orang masuk dan mulai mengerjakan pekerjaan mereka dengan cekatan. Kurang dari dua jam, semua barang di studio itu sudah terangkut di truk.

Sebastian dan Aruna kemudian menuju lokasi studio baru Aruna bersama jasa pindahan tadi.

Walaupun sedikit mahal, Aruna bersyukur karena dia tidak sama sekali tidak capek.

"Mau cari makan?" tanya Sebastian setelah proses pindahan selesai. Saat itu sudah menjelang jam empat sore.

"Oke."

Keduanya berjalan menuju beberapa restoran yang dibuka di ruko-ruko sekitar studio baru Aruna.

"Menyenangkan ya lingkungan di sini. Banyak yang buka café dan tempat makan," kata Sebastian saat keduanya berjalan berdampingan.

"Iya. Sayang kamu sudah terlanjur sewa tempat dekat studio lama," sahut Aruna.

"Nggak masalah. Gak terlalu jauh juga. Lagian di sini sudah terlalu banyak saingan dan restoranku tidak cocok berada di sini," sambung Sebastian.

Setelah berjalan beberapa meter, Sebastian dan Aruna memutuskan untuk makan di salah satu depot di sana yang menyajikan nasi goreng. Saat keduanya hendak masuk, Aruna melihat Malik dan Wulan sedang duduk di sana menikmati makanan mereka.

Aruna hendak berbalik namun Sebastian menarik tangannya. Walaupun Sebastian belum pernah bertemu Wulan, Sebastian masih ingat Malik dan dia cukup yakin wanita yang bersama Malik saat itu adalah Wulan.

"Are you going to avoid them forever?" kata Sebastian dan saat itu semakin terlambat untuk pergi dari situ karena Wulan sudah melihat mereka.

"Aruna!" panggil Wulan dengan senyum yang sangat lebar. Malik yang awalnya tidak menyadari keberadaan mereka, ikut mendongak dan kini matanya saling bertatapan dengan Aruna.

"Gak mau gabung kita?" Wulan menawarkan. Sebastian yang walaupun belum genap tiga bulan berada di Indonesia, sudah lumayan tahu banyak kata-kata dalam bahasa Indonesia.

"We'd love to," kata Sebastian dengan senyumnya yang memesona sembari menarik tangan Aruna kemudian merangkulkan tangannya ke bahu Aruna.

*

Malik sengaja mengajak Wulan makan berdua sejak dirinya memutuskan pertunangan dengan Aruna. Dia sudah berusaha sebisa mungkin menghindari Wulan walaupun gossip di kantornya semakin jadi. Malik juga bukannya tidak tahu bahwa gadis itu sengaja membiarkan gosip tentang mereka menjadi semakin meluas.

Karena itu siang ini, Malik membawa Wulan ke tempat ini.

"Aku ingin kau mengundurkan diri," kata Malik tegas tanpa basa-basi.

Wulan diam dan hanya tersenyum menanggapi kata-kata yang baru saja dilontarkan Malik. Dia bukannya tidak tersinggung soal apa yang baru saja dikatakan Malik. Hanya saja, dia melihat sesuatu yang menarik di depannya. Aruna sedang bersama seorang pria.

* * 

Malamm ... iya malam gk biasanya ya hehehhe ... maafkan. Semoga kalian masih suka sama part ini. Jangan lupa vote dan komennya yaa. 

Published on Saturday, October 23, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top