Part 22 - Kantong Plastik
"Malik, kau di sini."
Malik seketika memutar kepalanya ke arah suara dan begitu juga dengan Aruna. Dia tidak tahu bagaimana Wulan bisa di ada sini. Gadis itu berjalan ke meja mereka dan berdiri di samping keduanya duduk.
"Ada apa?" tanya Malik.
"Kau bilang akan mengajakku makan siang bersama. Aku tidak tahu kita akan makan siang bertiga," katanya.
Malik menatap Aruna dan dia bisa melihat bagaimana gadis itu menahan diri. Malik tidak sanggup melakukannya. Dia kembali menatap Wulan. Gadis itu menatapnya sembari memberi sinyal lewat matanya bahwa dia ingin tetap di sana.
"Bisa kau pergi dulu? Aku masih ada urusan dengan tunanganku," kata Aruna dengan nada rendah tanpa menatap Wulan.
Wulan tertawa kecil. "Aku ke sini karena Malik yang memintaku," sahut Wulan.
Aruna berdiri, berbalik, dan memberi tatapan membunuh tepat di mata Wulan.
"Apa masalahmu? Kenapa kau selalu melakukan hal jahat padaku dari dulu? Apa kau tidak sadar diri? Apa yang kau lakukan ini tidak pantas? Apa kau lupa Malik adalah pria yang akan segera menikah??!" teriak Aruna sambil mendorong bahu Wulan hingga gadis itu mundur selangkah. Beberapa orang di sana mulai melihat ke arah mereka.
Malik sontak berdiri dan menahan Aruna. "Aruna please, sudah," bisik Malik.
"Apanya yang sudah?! Kau yang seharusnya berhenti berhubungan dengan dia!" teriak Aruna pada Malik kali ini.
"Kau ini memalukan sekali. Apa kau lupa ini masih dekat dengan kantor? Bagaimana kalau ada yang melihat ini?" sindir Wulan sambil memegangi bahu yang tadi didorong Aruna seakan bahunya sedang terluka.
Aruna berhenti. Sebenci apapun dia pada Wulan, apa yang dikatakannya memang benar. Mereka berada di lingkungan gedung kantor Malik. Kalau ada yang melihat mereka, Malik akan kehilangan reputasinya. Dia menatap Malik dan pria itu sedang melihatnya dengan sayu.
"Nanti malam aku akan kerumahmu," lirih Malik. "Kau pulanglah dulu."
Malik berjalan keluar cafe diikuti dengan Wulan di belakangnya. Malik berjalan dengan cepat dan dia tidak menoleh. Dia tidak sanggup melihat Aruna seperti itu.
"Malik tunggu!"
Dia bisa mendengar suara Wulan memanggil namanya dari belakang tapi dia tidak berniat menoleh. Kepalanya tidak bisa bekerja dengan baik. Dia tidak yakin bisa melakukan ini lebih jauh. Dia akan menyelesaikannya malam ini.
"Malik tunggu!"
Dan dia merasakan tangan Wulan sudah menggapai lengannya. Mereka sudah berada beberapa meter dari kantor.
"Aku tadi sedang membantumu menyelesaikan urusanmu dengan Aruna. Kenapa kau malah pergi," tuntut gadis itu.
"Aku menyesal telah mengenalmu. Aku tidak pernah menyesal mengenal siapa pun yang pernah kukenal selama hidupku tapi aku benar-benar berharap aku tidak pernah mengenalmu. Aku akan membencimu selama sisa hidupku," kata Malik lirih kemudian berbalik dan berjalan cepat meninggalkan Wulan.
*
Aruna berjalan di bahu jalan dengan lesu. Dia melihat kantong plastik putih melayang-layang di jalanan diterpa angin. Seketika dia merasa dia mirip kantong plastik yang dibuang itu. Dari segala ketakutan yang sempat melintas di kepalanya, dia paling takut Malik akan meninggalkannya demi Wulan. Aruna mencintai Malik dengan tulus. Kalau pun Malik meninggalkannya demi seseorang, Aruna berharap Malik menemukan gadis yang tepat, yang memiliki hati baik dan mencintainya dengan tulus pula. Tapi bukan Wulan.
Dia terus berjalan di tengah padatnya jalanan, di bawah terik matahari. Aruna melihat halte bus yang tidak seberapa besar dengan pohon rindang menaungi tempat tersebut. Dia memutuskan duduk sebentar di sana.
Aruna mengambil ponselnya hendak mengirimkan pesan ke Malik namun benda itu berbunyi lebih dulu.
"Kau di mana? Apa semua baik-baik saja?" Sydney langsung menghujaninya dengan pertanyaan begitu dia menjawab panggilannya.
Aruna kembali terisak. "Aruna ada apa?"
"Aku juga tidak tahu apa yang sedang terjadi," isak Aruna. Dia cukup bersyukur saat itu tidak ada orang di halte bus tersebut.
"Kau di mana? Aku akan menjemputmu sekarang," desak Sydney.
Aruna pun menyebutkan halte bus tempatnya berada. "Oke, jangan kemana-mana. Aku akan ke sana sekarang," kata Sydney cepat dan dia menutup panggilan teleponnya.
Aruna menghela napas panjang dan kembali menatap ponselnya, hendak mengirimkan pesan ke Malik. Namun, ponselnya kembali berbunyi. Dari Sebastian. Aruna membiarkan benda itu berbunyi, terlalu takut dia mungkin akan menumpahkan semuanya ke Sebastian. Pria itu selalu bisa membuatnya nyaman, karena itu Aruna khawatir dia bisa menceritakan semuanya pada pria itu.
Setelah berbunyi selama beberapa kali, benda itu akhirnya berhenti berbunyi.
Kurang dari dua puluh menit, Sydney datang menjemputnya. Aruna menceritakan hampir semuanya secara detil kepada Sydney mengingat pertemuannya dengan Malik pagi ini juga cukup singkat sehingga tidak ada banyak yang bisa dia ceritakan.
"Aku takut," ucap Aruna setelah menceritakan semuanya.
"Takut apa?" tanya Sydney.
"Gimana kalau nanti dia lebih memilih Wulan dan meninggalkan aku?"
Sydney menghela napas dan membelai rambut temannya. "Ya sudah, berarti Malik gak pantes buat kamu. Aku gak pernah lihat seseorang menyukai satu orang saja selama itu. Cuma kamu. Jadi, kalau Malik gak bisa melihatnya, dia gak pantes dapetin cinta kamu," jelas Sydney.
*
Malam itu, Aruna menunggu Malik di rumah dengan gugup. Entah kenapa dia memiliki firasat tidak baik. Aruna memutar kembali kejadian-kejadian beberapa hari ini, mencoba mencari celah atau kesalahan yang dia perbuat. Terakhir kali dia bertemu dengan Malik adalah saat pria itu menginap di rumahnya. Setelah itu, Aruna mulai kesulitan menghubunginya dan Malik tidak pernah menghubungi lebih dulu.
Malam itu, mereka tidak bertengkar. Mereka hanya makan bersama dan begitu juga pagi harinya. Tidak ada percakapan yang terlalu berat. Aruna menyisir rambutnya dengan tangan merasa frustasi mencari apa yang salah. Kenapa sikap Malik sepertinya berubah dalam semalam. Apa dia melakukan kesalahan yang tidak disadarinya?
Dari semua pikiran menakutkan yang melintas di kepalanya, bayangan akan kehilangan sosok Malik di hidupnya adalah yang paling menakutkan. Dia tidak peduli bahkan jika dia harus terjebak di hubungan platonik selama dia tidak kehilangan Malik.
"Mas Malik ada di depan Mbak."
Aruna menoleh ke Mbak Dita. "Iya Mbak Dita."
Aruna turun dan menuju ruang tamu. Mata Aruna melebar saat melihat mama dan papanya juga sedang duduk di sana bersama Malik.
"Aruna," kata Malik kemudian berdiri dari duduknya.
Aruna tersenyum simpul dan menatap mama dan papanya dengan takut. "Ada hal penting yang ingin saya sampaikan malam ini," kata Malik yang sudah duduk lagi setelah Aruna duduk.
"Pernikahan saya dan Aruna tinggal sebulan lagi. Saya sangat berterima kasih tante Ayu dan Om Damar sudah memercayakan Aruna pada saya yang masih banyak kekurangan ini. Aruna adalah gadis terbaik yang pernah saya kenal. Dia selalu memiliki kepribadian yang ceria dan mampu membuat siapapun merasa nyaman di dekatnya," kata Malik.
"Saya sangat bersyukur tante Ayu dan om Damar memberikan saya ijin untuk menikahi Aruna. Tapi ... akhir-akhir ini ada sesuatu yang membuat saya semakin ragu apakah saya bisa melanjutkan sampai ke pernikahan dengan Aruna."
"Apa maksud kamu?" tanya Damar sembari memajukan duduknya hingga ke pinggir sofa.
"Tunggu Malik ngomong dulu," sela Ayu dengan raut wajah sama bingungnya dengan Damar.
"Saya sudah mengenal Aruna bahkan sebelum saya bisa berjalan. Saya pikir saya mencintainya. Namun dengan tanggal pernikahan kami semakin dekat, saya semakin menyadari bahwa saya hanya menganggap Aruna tidak lebih dari sahabat dan saudara. Karena itu ....," lanjut Malik.
"Malik mohon maaf tidak bisa melanjutkan rencana pernikahan kami. Saya yakin Aruna akan mendapatkan seseorang yang lebih baik dari saya."
"Bukankah kamu yang meminta tanggal pernikahan supaya dipercepat?" tanya Ayu tidak mengerti.
"Iya, tante. Saya minta maaf. Saya terlalu gegabah waktu itu," lontar Malik. "Saya akan mengganti semua biaya yang ..."
PLAKKK
Damar menampar wajah Malik sangat keras. Ayu memekik keras sedangkan Aruna hanya bisa terdiam membeku di tempatnya sama sekali tidak bereaksi atas tamparan yang baru saja diberikan Damar pada Malik.
"Papa sabar pa .....," pinta Ayu.
"Bagaimana bisa kamu semudah ini membatalkan hal sepenting ini? Apa kau pikir merencanakan pernikahan itu bisa dilakukan seenaknya? Aruna ... APA KAU TAHU MASALAH INI?! APA KAU PIKIR LUCU MERAHASIAKAN INI DARI ORANG TUAMU," teriak Damar. Sambil berteriak, dia juga mengarahkan jari telunjuknya ke Aruna.
"Om, tolong jangan membentak Aruna. Aruna sama sekali tidak tahu tentang ini. Dia juga baru tahu sama halnya dengan Om dan Tante," pinta Malik ikut berdiri.
"KELUAR KAMU!!! Kalau aku gak kenal orang tuamu, aku sudah pasti akan menghabisimu," geram Damar.
"Aruna ...," kata Malik lirih sambil menatap Aruna yang masih membeku di sana.
"KELUAR KAMU!!!!" ulang Damar.
Malik meminta maaf kepada mama dan papa Aruna sekali lagi sebelum beranjak keluar. Sebelum melangkah keluar, Malik kembali menoleh ke Aruna. Dia melihat gadis itu hanya bisa menunduk dan terdiam.
*
Dadanya terasa sesak dan dia tidak bisa melihat sekelilingnya dengan jelas. Malik yang masih duduk di dalam mobil memegangi dadanya dan pandangan matanya kabur karena air mata. Saat om Damar menamparnya tadi, dia berharap om Damar kembali menamparnya. Dia malah merasa lebih baik.
Malik terisak sendirian di dalam mobilnya yang gelap dan mulai meninju dadanya yang semakin lama semakin terasa sangat sesak. Dia tidak bisa melihat reaksi Aruna tadi. Bahkan untuk berteman dengannya sekarang sepertinya sudah tidak mungkin.
Sampai sekarang pun dia tidak yakin apa yang dia lakukan ini benar. Dia telah sangat menyakiti Aruna tapi dia juga tidak sanggup membayangkan keceriaan Aruna hilang dan Aruna yang akan meninggalkannya nanti atau bahkan meninggalkan keluarganya sekarang jika dia sampai tahu.
*
Mama dan papa Aruna masih bersitegang perihal apa yang barusan mereka dengar malam ini. Damar bahkan menyalahkan istrinya karena rencana pertunangan ini adalah rencana dirinya dan Anggie, Ibu Malik.
"Ma .. pa ... Aruna ke kamar dulu," kata Aruna pelan dengan mata masih menunduk.
Damar dan Ayu langsung diam dan tidak lagi berdebat. Mereka baru sadar, diantara semua orang yang ada di ruangan tersebut, Aruna-lah yang paling merasa sakit.
Aruna naik ke kamarnya dan menguncinya rapat. Apa yang dia takutkan terjadi. Dia terduduk di balik pintu dan merangkul lututnya sambil terisak keras. Dia merasa sangat rendah, merasa Malik sudah membuangnya, tidak menginginkannya, dan lebih memilih Wulan.
Malam itu, Aruna tertidur di lantai, di balik pintu kamarnya yang terkunci.
*
Aruna mengunci dirinya hingga keesokan harinya. Aruna masih saja terdiam di kamarnya, masih terbaring di lantai yang sama saat dirinya tertidur semalam.
"Mbak .. mbak Aruna, makananannya saya taroh di depan pintu ya. Mbak Aruna makan dulu ya Mbak," kata Mbak Dita dari balik pintu.
Ayu berdiri di samping Mbak Dita dengan raut wajah khawatir.
"Sayang ... makannya diambil ya. Gak apa-apa kamu di kamar, tapi tetep makan ya sayang," kata Ayu berusaha menahan tangisnya. Selama ini, Ayu hampir tidak pernah melihat Aruna menangis. Gadis itu selalu terlihat ceria dan riang. Bahkan saat teman-temannya di sekolah berbuat jahat padanya, Aruna sama sekali tidak pernah menangis.
"Mama dan Mbak Dita turun sekarang. Kamu ambil makanannya ya nak," imbuh Ayu dari balik pintu.
Dari semalam, ponsel Aruna terus berbunyi. Tapi tidak sekali pun Aruna mengangkat panggilan dari ponselnya. Dia merasa sangat lelah dan hanya ingin berbaring.
*
Malik duduk di rumahnya setelah menghabiskan hampir waktu semalaman di dalam mobil. Wajahnya pucat dan dia merasa kosong. Malik duduk di depan mama dan papanya setelah menjelaskan semuanya pada mereka. Menjelaskan apa yang dia sudah sampaikan kepada keluarga Aruna semalam.
Tentu saja itu bukan berita yang baik untuk mengawali hari. Mama dan papa Malik terdiam dan melihat anaknya yang seperti mayat hidup. Keduanya tidak tahu harus berkata apa, terutama Anggie. Dialah yang selama ini paling tahu bagaimana perasaan Malik pada Aruna. Bahkan saat pertama kali menyampaikan berita pertunangan, dia masih ingat bagaimana anaknya itu terlihat sangat bahagia. Anggie tidak paham dengan keputusan Malik.
"Kenapa kamu langsung bicara sama mereka sebelum membahasnya sama mama dan papa? Kamu tahu kan kalau sudah bilang gak, kamu tidak bisa mengubahnya lagi?" tanya Anggie lembut.
Malik mengangguk. "Mama dan papa akan bicara sama om Damar dan tante Ayu hari ini. Kita harus minta maaf secara resmi," kata Taufik.
"Maafin Malik ya Ma, Pa," kata Malik dengan tatapan kosong.
Anggie berdiri dan memeluknya anaknya. "Kalau ada apa-apa, cerita sama mama ya nak. Jangan ditanggung sendiri," kata mamanya lirih sambil memeluk anaknya dan mengusap punggungnya penuh sayang.
*
Semoga kalian suka part ini dan menunggu part selanjutnya. Jangan lupa vote dan komen ya. Sayang kalian!!!
Published on Wednesday, October 20, 2021
~ kesayangan aku .... pengen peyuk Malik ~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top