Part 19 - Membawa Lari

Aruna merasa senang. Malam ini, karena terlalu larut, Malik setuju menginap di rumahnya. Dia menempati kamar tamu yang ada di lantai satu. Keesokan pagi, Aruna bangun lebih awal dari biasanya dan memutuskan membantu di dapur. Pagi itu Mbak Dita memasak nasi uduk.

Mbak Dita yang tidak terbiasa melihat Aruna bangun pagi apalagi sampai menawarkan bantuan di dapur, menyeletuk, "Mimpi apa semalam non?"

Aruna hanya meringis dan menyenggol wanita umur empat puluh tahunan yang sudah ikut keluarga mereka dari usia Mbak Dita yang masih di akhir dua puluhan. Supaya tidak merusak sarapan pagi itu, Mbak Dita meminta Aruna memotong kecil-kecil tempe dan telur dadar yang sudah matang.

"Sudah Mbak," seru Aruna dengan pisau di tangan kanan dan tangan kiri menunjuk tempe yang sudah dia potong-potong. Mbak Dita yang masih menggoreng bihun di atas kompor menoleh sebentar ke arah meja.

"Non, tempenya mau dipake buat kering tempe. Potongnya kecil-kecil, jangan dipotong besar gitu. Seukuran dadu gitu lo Non," ujar Mbak Dita sambil geleng-geleng kepala.

Aruna manggut-manggut dan mulai memainkan pisaunya lagi dan memotong lebih kecil potongan tempe di depannya.

"Pagi."

Suara itu. Kepala Aruna langsung menoleh dan senyumnya semakin lebar. "Sudah bangun?" sapa Aruna.

"Pagi Mas Malik," sapa Mbak Dita.

"Pagi juga Mbak Dita. Masak apa Mbak?" tanya Malik sambil menarik kursi di depan Aruna dan duduk di sana.

"Nasi uduk. Kamu suka kan?" Mbak Dita yang ditanya, Aruna yang malah menyahut dengan cepat.

"Suka. Kamu ngapain? Gangguin Mbak Dita?" tanya Malik sambil tertawa kecil.

"Apaan sih. Nggak lihat Aruna lagi bantu Mbak Dita masak?" jawab Aruna sedikit sewot.

"Hari ini ke studio lagi?" tanya Malik.

"Iya. Sekalian mau ketemu sama Sebastian. Dia sudah balik lagi dari Phillipines dan lagi nyari tempat buat resto baru di sini. Pengennya nyari yang deket-deket studio aja biar nostalgia gitu," jawab Aruna sembari fokus dengan tempenya.

Malik terdiam sebentar sambil memerhatikan Aruna. "Kalian deket banget ya?" tanya Malik hati-hati.

"He'em lumayan deket. Dulu kalau Aruna mau istirahat larinya ya ketempat dia. Dia juga suka menyapa pelanggan-pelanggan di restorannya. Kenapa?" tanya Aruna, mengangkat kepalanya menatap Malik.

"Nggak apa-apa. Hati-hati jarinya. Fokus dulu motongnya," kata Malik sembari mengedikkan kepalanya ke arah makanan di depan Aruna itu.

*

"Dia juga suka menyapa pelanggan-pelanggan di restorannya. Kenapa?"

"Nggak apa-apa. Hati-hati jarinya. Fokus dulu motongnya."

Apa yang Malik barusan tanyakan? Dia hampir saja menanyakan pertanyaan selanjutnya tentang apakah Sebastian pria yang baik? Apa yang dia pikirkan? Malik menyisir rambutnya dengan frustasi dan bangkit dari duduknya.

"Aku mandi dulu."

Pria itu berdiri dan melihat Aruna yang menatapnya dengan mata bersinar dan senyum yang lebar. Malik tidak sanggup kehilangan itu semua.

*

"Simpan rahasia ini sampai kamu mati," ucap Malik tegas.

Saat itu sudah menjelang pukul delapan malam. Gedung SD di lantai tujuh sudah sangat sepi karena semua pegawai sudah pulang. Beberapa ruangan juga sudah gelap. Tinggal Malik dan Wulan yang duduk berhadapan di ruangan Malik.

"Selama kamu nggak ninggalin aku, aku bisa melakukan itu. Aku cukup pintar menyimpan rahasia," senyum Wulan.

"Ya. Kau bukan cukup pintar tapi sangat pintar menyimpan rahasia. Aku bahkan tidak tahu seberapa busuknya dirimu," ucap Malik.

"Bisakah kau berhenti!" teriak Wulan dengan tangan mengepal. "Memangnya siapa yang membuatku seperti ini? Kalau kau tidak memilih dia dibandingkan aku, setelah kedekatan kita, apa kau pikir aku akan berbuat seperti ini?"

"Kau bisa berhenti berlagak seolah kau adalah korban. Tidak cocok untukmu," cemooh Malik.

Mata Wulan melebar dan dia menggigit bibirnya mencoba menahan segala emosi yang tertahan di dadanya. "Kalau kau tidak bersamaku, aku akan tetap mengatakannya pada Aruna! Jadi entah kau suka atau tidak, kau harus mulai belajar menerimaku," sungut Wulan.

"Terserah saja. Kita lihat siapa yang akan lebih menderita saat kita menjalaninya," desis Malik.

"Hah! Menderita?!" decit Wulan. "Kau pikir bagaimana kehidupanku selama ini. Kau tidak tahu apa-apa tentang menderita. Suatu saat kau akan menyesal sudah memperlakukanku seperti ini."

Malik tertawa kecil. "Aku sudah sangat menyesalinya sekarang. Aku menyesal kenapa malam itu aku menawarimu tumpangan. Seharusnya aku membiarkanmu pulang sendirian malam itu. Kau berhasil menipuku, kau tahu itu?" ucap Malik.

Mata Wulan berkaca-kaca saat dia hanya diam dengan mulut terkatup dan mata menatap Malik dengan penuh emosi. Beberapa saat hingga bulir air mata akhirnya jatuh di pipinya.

"Hapus air matamu. Itu malah membuatku jijik,"ucap Malik masih menatap balik Wulan, seakan menegaskan bahwa air mata Wulan sama sekali tidak membuatnya kasihan atau menyesal karena telah berkata kasar padanya.

"Sampai saat ini pun, tidak ada orang yang benar-benar menyayangiku. Aku pikir kau berbeda," desis Wulan dan air mata terus turun dari kelopak matanya.

"Dari semua orang yang tidak bisa menyayangimu, seharusnya kau mulai belajar. Kenapa mereka semua tidak bisa menyayangimu? Seharusnya kau mulai berpikir apa yang salah denganmu. Aku yang tulus peduli padamu, kini sangat membencimu. Lihat bagaimana kau membalas rasa peduliku. Dengan ini semua," kata Malik sembari berdiri dari duduknya.

Dia kemudian beranjak dan meninggalkan Wulan duduk di sana sendirian.

*

Siang itu cukup terik namun Aruna memilih mematikan AC di ruangannya dan membiarkan dinding jendela kaca di lantai tiga terbuka jadi dia bisa menikmati hembusan angin yang masuk. Sudah dua jam lebih dia berdiri di depan canvas besarnya. Seperti biasa, tangannya sudah pernuh dengan cat.

Di tengah-tengah dunianya, ponsel miliknya berbunyi. Aruna bahkan membiarkan benda itu berdering tanpa berniat untuk mengangkatnya. Sayangnya, bunyi yang tidak kunjung berhenti itu akhirnya mengusik Aruna. Gadis itu akhirnya berjalan menuju meja di mana dia meletakkan ponselnya.

Sebastian is calling. "Ya Sebastian," sapa Aruna sambil mengapit ponsel tadi di bahunya dan mengelap tangannya.

"Aku sudah di depan."

Aruna menegakkan badan dan melemparkan lap tangan yang sedang dipegangnya. Aruna pun bergegas turun ke bawah. Setelah sudah di depan pintu, Aruna membuka pintu dan benar saja temannya itu sudah berdiri dengan tampannya di sana.

"Hai beautiful. Astaga ... kau masih belum berubah," kata Sebastian sambil menunjuk ke kaos dan jeans Aruna yang terkena cat lukis.

Aruna menatap dirinya dan hanya tertawa. "Masuklah."

Sebastian masuk dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan lantai satu. Sebuah sofa yang masih terbungkus plastik, sebuah kardus besar yang sepertinya berisi drawer, dua buah kursi putar yang juga masih terbungkus plastik, dan meja putih bulat yang berada di tengah ruangan dengan janggalnya.

"Kau belum merapikan ini semua?" tanya Sebastian dengan alis menyatu.

"Nanti saja. Aku belum secara resmi membukanya juga. Aku menghabiskan lebih banyak waktu di lantai tiga. Ayo, aku tunjukkan tempatnya. Kau pasti suka," ajak Aruna dan dia menaiki tangga dengan Sebastian mengikuti di belakang. Pria itu menoleh sebentar ke barang-barang yang belum tertata rapi tadi.

Sama halnya dengan lantai dua yang masih kosong, Sebastian hanya melewatinya dan mengikuti Aruna ke lantai tiga. Sesampainya di lantai tiga, pria itu melihat lukisan yang sedang dikerjakan Aruna.

"Wow," seru Sebastian sembari berjalan menuju satu-satunya canvas yang telah terisi warna. "It's beautiful."

"Ya?" jawab Aruna dengan wajah tidak percaya diri. "Bagus kalau kau menyukainya. Aku belum selesai. Kapan kau sampai?" tanya Aruna kemudian berjalan ke arah lemari es dan mengambil dua minuman botol dingin dan menyerahkan satu untuk Sebastian. Pria itu masih berdiri di depan lukisan Aruna.

"Empat hari yang lalu. Aku mengurus tempat tinggalku di sini. Aku suka lingkungan di sini," ucap Sebastian sambil membuka tutup minuman tadi dan menegaknya.

"Empat hari? Dan kau tidak menghubungiku?" protes Aruna.

"Aku cukup sibuk jadi kupikir aku menghubungi kalau semua urusanku sudah selesai," jelas Sebastian.

Aruna duduk di lantai, di ambang dinding jendela, dan Sebastian menyusulnya. "Kau serius akan membuka restoran di sini?" tanya Aruna lagi.

"Yeah. Aku sudah melihat beberapa tempat. Hari ini aku juga akan menemui agen real estate. Ada sebuah tempat yang bisa kusewa di sekitar sini. Sekitar sepuluh menit berjalan kaki," kata Sebastian.

"Benarkah?! Bagus sekali. Walaupun tidak bersebelahan seperti dulu, paling tidak aku bisa menemuimu dengan mudah," ujar Aruna.

"Iya. Aku ingin membelinya tapi urusannya terlalu sulit jadi aku hanya bisa menyewanya. Harga tempat tersebut kurang dari 5 Millliar, batasan minimum bagi warga asing yang ingin memiliki properti di Indonesia. Ada syarat lain sebenarnya agar aku bisa membeli tepat itu. Dengan menikahi warga Negara Indonesia. Sayangnya orang yang kuharapkan akan menikah sebentar lagi," ucap Sebastian.

"Hahaha .... Lucu sekali Sebastian," ledek Aruna.

"Bagaimana kalau aku membelinya dengan namamu. Itu akan lebih mudah kan?" ususl Sebastian dengan mata berbinar.

"Kau gila. Aku bisa membawa lari uangmu," ancam Aruna.

"Tidak masalah. Kau juga bisa membawa lari hatiku."

*

Olaaaa ... selamat siang. Sudah hampir jam makan siang. Semoga kalian suka sama part ini. Jangan lupa kasih vote dan komen yyaaaa .... Malik dan Aruna sayang kalian !!!! 

Published on Wednesday, October 13, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top