Part 17 - All's Fair in Love and War

Sydney sudah pulang menjelang jam enam sore, sedangkan Aruna menikmati waktunya di studio sembari menikmati langit kemerahan dari balkon. Dia menatap ke taman yang terlihat sangat jelas dari tempatnya berada. Beberapa orang tua datang bersama cucu mereka dan menikmati waktu dengan bermain sepeda, sepatu roda, dan beberapa mengajak hewan peliharan mereka.

Aruna membuka kotak berisi cat dengan berbagai warna, menata kuas-kuasnya yang cukup beragam mulai dari kuas lukis fan, angle, filbert, hingga rigger. Dia duduk di depan canvas kosongnya dan menatapnya selama beberapa saat. Rasanya sedikit aneh menggunakan semua peralatan baru itu.

Aruna sengaja membawa easel dan canvasnya ke balkon sembari menikmati pemandangan di luar. Dia menatap ke arah taman lagi. Tangannya yang sudah siap dengan flat brush tidak kunjung dia gerakkan. Semua pemandangan yang ada di depannya dan angin yang berhembus pelan sangatlah sempurna. Sayangnya tidak dengan hatinya. Dia tidak tahu apa yang salah namun hatinya merasa tidak tenang.

Aruna menaikkan kedua kakinya, menekuk lututnya, dan memeluknya dengan kedua tangan. Dia menyandarkan kepala di lututnya yang tertekuk dan menatap ke arah taman.

*

"Ada apa?" tanya Malik sembari merapikan dokumen-dokumen di depannya. Wulan yang sudah masuk ke ruangan Malik, langsung duduk di kursi di depan Malik tanpa permisi. Karena Wulan sudah cukup sering masuk ke ruangan Malik, formalitas seperti itu sudah tidak dia perlukan lagi.

"Kau sudah memikirkan pertanyaanku kemarin?" tanya Wulan sambil duduk tegap dan menyilangkan kaki jenjangnya.

"Apakah aku harus memikirkannya? Aku bahkan tidak tahu apa yang kau bicarakan," sahut Malik kemudian melipat kedua tangannya di depan dada dan menyandarkan bahunya di kursi.

Wulan menunjukkan ekspresi seakan dia menyayangkan hal tersebut, sembari berkata, "Oh, seharusnya kau memikirkannya."

Masih dengan sikap tubuh yang sama, Malik kembali berkata, "Apa yang ingin kau katakan Wulan. Tidak perlu berbelit-belit."

"Tapi aku menikmatinya," ujar Wulan dengan wajah super manisnya.

"Oh iya. Bagaimana persiapan pernikahanmu?" Wulan kembali berkata dengan sebuah pertanyaan.

"Baik. Terima kasih sudah bertanya. Semuanya berjalan lancar," terang Malik.

"Oh bagus sekali. Tidak akan menyenangkan kalau persiapannya belum matang," kekeh Wulan.

"Oke sekarang katakan ada apa kau ingin berbicara denganku?" tanya Malik sedikit tidak sabar.

Wulan menaikkan satu alisnya sembari tersenyum. "Kenapa kau terkesan buru-buru sekali. Apa kau tidak menikmati bicara berdua denganku? Apa kau merasa tidak nyaman? Kau sudah banyak berubah sejak Aruna datang," gerutu Wulan namun masih dengan senyum manis terpasang di wajahnya.

"Aku masih banyak kerjaan Wulan," desah Malik.

"Baiklah, baiklah," kata Wulan sambil mengangkat kedua tangannya seolah seseorang sedang menodongkan senjata tepat di depannya. "Kau ini tidak seru sekali," imbuhnya sambil menunduk dan mengambil sesuatu dari tas yang dia letakkan di lantai tepat di sampingnya.

"Ini," kata Wulan sembari meletakkan beberapa lembar kertas.

Malik mencondongkan badannya dan meraih kertas-kertas tadi. Dia mulai membaca headline berita dari beberapa lembar kertas tadi dengan dahi berkerut.

"Apa ini? Kenapa memberikanku berita yang sama dari beberapa koran lama yang berbeda?" tanya Malik tidak mengerti.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Wulan lagi sambil tersenyum. "Mengerikan bukan?"

"Ya, tentu saja sangat mengerikan. Kau mengharapkan aku akan mengatakan apa?" tanya Malik.

"Ya, aku juga menganggapnya sangat mengerikan. Menurutmu bagaimana nasib anak kecil usia enam bulan itu sekarang?" tanya Wulan lagi.

Malik melemparkan kertas-kertas tadi dan berkata, "Wulan aku bahkan tidak mengenal mereka. Apakah aku harus berkomentar atas kemalangan yang menimpa mereka? Ada apa dengan ini semua?"

"Cukup sulit mencari berita-berita ini jadi seharusnya kau sedikit menghargaiku," kata Wulan sambil merapikan tumpukan kertas itu.

"Ah ya, ada satu hal yang tidak disebutkan di berita-berita ini," celetuk Wulan seakan dia sudah melatih ekspresinya dengan sangat apik.

Malik tidak berkomentar, hanya menatap Wulan dengan tidak mengerti. "Mereka seharusnya memberitakan tentang anak itu. Dia sudah diadopsi dan hidup dengan sangat bahagia bersama keluarga barunya," sambung Wulan.

Malik masih memutuskan diam dan menunggu Wulan bicara.

"Keluarga Pratista," bisik Wulan dengan senyum yang cukup menakutkan.

Mata Malik melebar. Dia menegakkan tubuhnya dan membuka mulut namun tidak ada kata-kata yang keluar.

"Malik? Kau mendengarku kan?" tanya Wulan masih dengan senyum yang sama.

Malik masih membeku setelah apa yang didengarnya.

"Sepertinya kau mendengarku melihat ekspresimu seperti itu," ujar Wulan.

"Jadi ...," sambung Wulan. "Aku akan mengulang pertanyaanku beberapi hari lalu. Mana yang kau pilih. Membiarkannya tetap bahagia atau memaksa tetap bersamanya apapun yang terjadi?"

"Pasti menyenangkan melihat ekspresi Aruna jika dia tahu tentang ini semua. Ekspresimu itu pasti tidak ada apa-apanya," imbuh Wulan.

"Jangan kau berani-berani memberitahunya," kata Malik dengan penuh penekanan.

Wulan berdiri dari duduknya dan berjalan menuju pintu keluar. Sebelum tangan gadis itu meraih kenop, Malik mengerang, "Apa yang kau inginkan?!"

Wulan tertawa mengejek. "Tentu saja aku menginginkanmu. Bukankah itu sudah cukup jelas? Membuat Aruna depresi itu hanya bonus," urai Wulan.

Malik berdiri dari duduknya dan menatap Wulan dengan penuh amarah. "Apa ini kau yang sebenarnya? Selicik inikah dirimu?" desis Malik.

"All's fair in love and war, isn't it? Don't you agree?" timpal Wulan.

"Kau pikir aku masih mau bersamamu setelah apa yang kau lakukan ini?" seru Malik.

"Terserah saja. Kau pikir Aruna yang sekarang akan masih sama setelah mengetahui tentang ini?" tantang Wulan sambil mengibaskan map berisi kertas-kertas tadi.

"Kau tinggal memilih. Membuatnya frustasi sementara karena kau memilih aku, atau membuatnya depresi berkepanjangan setelah mengetahui tentang ini," dengus Wulan.

Malik mengepalkan tangannya dan wajahnya sudah memerah.

"Oh astaga, ternyata ini lebih menyenangkan dari yang kubayangkan," kekeh Wulan sembari keluar dari ruangan Malik.

Kepalan tangan Malik semakin mengeras dan dia menunduk sambil menahan amarahnya. Dia harus berpikir jernih. Saat ini yang harus dia lakukan adalah berpikir jernih.

Malik mengangkat teleponnya dan menelpon Mario. "Ini aku. Apa kau mengenal seseorang yang bisa menyelidiki sesuatu? Aku perlu mengecek kebenaran berita yang baru kuketahui hari ini."

*

Saat itu bulan April. Musim semi di New York sudah sangat semarak dengan beberapa acara tahunan yang selalu diadakan di sana mulai dari St Patrick's Day Parade, Orchid Show di New York Botanical Garden, Frieze Art Fair yang paling ditunggu-tunggu Aruna, hingga Festival Cherry Blossom Sakura Matsuri di Brooklyn Botanic Garden.

Aruna dan Malik memutuskan menikmati waktu mereka berdua di Central Park, tempat yang sempurna untuk menikmati musim semi. Saat udara mulai menghangat dan bunga-bunga berlomba untuk bermekaran. Setidaknya ratusan orang memiliki pendapat yang sama dengan Malik dan Aruna karena sore itu Central Park cukup penuh dengan pengunjung.

Aruna membawa area rug-nya untuk dia pakai bersama Malik. Keduanya berbaring di atas rug tadi dan menatap langit sore sembari menikmati udara yang berhembus hangat.

"Kau tahu ...," gumam Aruna yang melipat kedua tangannya ke atas untuk dia jadikan sandaran kepala. Begitu juga dengan Malik.

"Apa," sahut Malik.

"Kadang aku ingin sekali tahu tentang orang tua kandungku. Setiap kali aku tanya mama dan papa, mereka hanya mengatakan orang tua kandungku, keduanya sudah meninggal," ujar Aruna.

"Untuk apa kau ingin mencari tahu tentang mereka?"

"Entahlah ... hanya penasaran mungkin. Kau tahu kan. Apakah aku mewarisi mata ayahku atau ibuku, ataukah aku mewarisi senyum ayahku atau ibuku. Kenapa mereka meninggal. Bagaimana muka mereka. Apakah mereka bahagia saat aku lahir. Hal-hal kecil seperti itu membuatku benar-benar penasaran," terang Aruna sambil menatap langit di atasnya.

"Kalau itu penting untukmu, lakukan saja. Aku akan selalu mendukungmu. Aku juga akan membantumu jika kau membutuhkan bantuanku," kata Malik menolehkan kepalanya ke Aruna dan tersenyum ke gadis yang berbaring tepat di sampingnya.

"Entahlah ... aku juga belum yakin aku akan siap menerima apapun nanti yang akan aku ketahui. Aku juga tidak ingin melukai mama dan papa. Mereka ... sepertinya tidak ingin aku mencari tahu," ucap Aruna sendu.

"Kalau orang tuaku meninggal, seharusnya mama sama papa gak perlu khawatir aku bakal pergi," imbuh gadis itu.

"Wait. Ada kemungkinan kau pergi?" tanya Malik kali ini bangkit dan sekarang duduk kemudian memutar badannya menghadap Aruna. Aruna pun ikut duduk.

"Ya nggak juga. Tapi ada beberapa kasus orang tua kandung menginginkan anak mereka kembali," jawab Aruna.

"Kalau ada kemungkinan kau pergi, sebaiknya lupakan ide itu. Jangan minta aku untuk membantumu juga," sahut Malik dengan acuh kemudian kembali berbaring.

"Aku juga nggak mau pergi Malik. Aku nggak mau kehilangan mama, papa, dan dirimu," sahut Aruna kembali ikut merebahkan dirinya di samping Malik.

"Bagus. Aku tidak mau mengetahui tentang orang tua kandungmu jika itu berarti aku harus kehilanganmu," ucap Malik tegas sambil menutup matanya.

*

Selamat siangg ... gimana part ini? Sudah mulai terjawab kan rasa penasarannya? Semoga kalian suka sama part ini. Jangan lupa vote dan komennya seperti biasa yaaa ... A.M couple love you!!!! 

Published on Saturday, October 9, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top