Part 1 - Dia, Aku, dan Dia
Dengan sepatu boots hak tujuh centi, celana jeans ketat, dan jaket kulit berwarna hitam, Aruna berjalan dengan penuh percaya diri di antara orang-orang yang memenuhi bandara siang itu. Rasa lelah dan sedikit sakit kepala setelah perjalanan kurang lebih 25 jam tidak menyurutkan semangat dan menghilangkan senyum di wajahnya.
Bahkan saat dia harus menunggu di depan lobby utama bandara cukup lama dengan panas matahari langsung menyengat kulitnya yang putih, dada Aruna masih bergemuruh penuh kebahagiaan. Koper berkapasitas 50 kilo dan jaket kulit yang memeluk badannya dengan sempurna sepertinya berkonspirasi membuat Aruna kesal. Namun, gadis itu masih tersenyum lebar.
Tidak seberapa lama, senyumnya semakin melebar saat melihat wajah familiar tersenyum lebar ke arahnya dan berjalan mantap menuju dirinya berdiri.
"Mama!!" Aruna berseru seraya melepaskan pegangan tangannya dari koper dan segera berjalan cepat ke arah wanita berusia lima puluhan dengan sinar wajah yang tidak pernah luntur.
Aruna memeluk erat wanita yang sangat dia sayangi itu dan merasa sangat lega saat mendapatkan pelukan serupa. Sudah hampir dua tahun Aruna tidak bertemu dengan mamanya secara langsung. Setelah menyelesaikan kuliah Art History di Columbia University dua tahun silam, Aruna memutuskan menetap di New York dan membuka studio lukisnya sendiri dengan menyewa tempat di sana.
Wanita itu memeluk Aruna dengan penuh sayang dan membelai rambutnya. Terakhir Aruna bertemu dengan mama dan papa adalah saat hari kelulusannya.
"Aruna kangen mama," bisik gadis itu dan sang mama menjawab, "Mama juga kangen anak gadis mama."
Namun semenit kemudian, wanita itu melerai pelukannya dengan kasar dan kemudian memukul lengan Aruna bertubi-tubi hingga gadis itu mengaduh kesakitan dan mundur dua langkah darinya.
"Mama apa-apaan sih," keluh Aruna sambil menggosok-gosok lengannya.
"Dasar anak nakal. Bagaimana bisa kau pulang di hari pertunanganmu," kata mamanya sudah maju dua langkah dan berhasil menghadiahkan Aruna dua pukulan susulan. "Bukannya kau bilang dua hari sebelum hari H. Bagaimana kalau keluarga besar mereka sudah datang duluan."
Aruna bungkam tidak berani membantah tapi itu hanya bertahan selama lima detik sebelum, "Ya udah mama jangan marahi Aruna lagi. Ini sudah buang waktu lo ma. Ayo berangkat sekarang."
Mamanya kembali melayangkan pukulan tapi menghentikan tangannya di udara. "Awas aja kalau hari ini tidak berjalan lancar."
Wanita itu kemudian berbalik cepat dan berjalan dengan langkah kecil-kecil berkat jarik yang dikenakannya. Aruna pun kembali menggeret kopernya dan mengikuti mamanya dengan cukup mudah.
*
Sesampainya di rumah, Aruna disambut dengan cukup meriah oleh anggota keluarga yang sudah berpakaian tradisional rapi. Anggota keluarga perempuan memakai kebaya sedangkan para laki-laki menggunakan atasan batik dengan warna senada.
Aruna yang asik menyapa para sepupunya, ditarik paksa oleh mamanya. "Sini kamu. Sudah nggak usa mandi. Langsung dirias aja," kata mamanya sembari menarik tangan Aruna melewati beberapa keluarga yang menatap keduanya dengan geli.
"Dasar kamu ini. Bagaimana bisa memundurkan jadwal pulang," mamanya masih belum puas mengoceh walaupun sepanjang perjalanan dari bandara ke rumah tadi mamanya tidak hentinya memarahi Aruna.
"Kan Aruna sudah jelasin ma. Tiba-tiba ada calon pembeli yang pengen ketemu Aruna dan berani ambil lukisan Aruna dengan harga tinggi. Kan lumayan ma buat biaya pernikahan," Aruna kembali membela diri.
"Kan mama udah bilang bisnis Malik di sini juga lagi sukses-suksesnya. Kehilangan beberapa juta buat dia harusnya kamu ikhlas," imbuh mamanya yang kemudian mendudukkan Aruan di sofa puff bulat yang menghadap kaca besar.
"Bukan beberapa juta ma. Seratus dua puluh juta ma. Dan itu karya Aruna lo. Mama harusnya bangga," Aruna kembali memprotes.
"Sudah kamu diem waktu di make-up biar kelihatan cantik. Mama ambilin baju kamu di atas dulu," kata mamanya yang kemudian keluar dari ruangan.
Sang perias kemudian memulai pekerjaannya dengan Aruna duduk dengan diam. Jujur saja jantungnya masih berdetak dengan kencang. Bukan hanya karena dia harus berjalan cepat tadi tapi juga karena hari ini menjadi hari pertunangan dirinya dan Malik.
Ya, mereka bertunangan karena perjodohan tapi bukan berarti Aruna merasa terpaksa. Dia malah merasa sangat bahagia karena akhirnya Malik menepati janji masa kecilnya dulu. Keluarga Aruna dan keluarga Malik sudah dekat sejak sebelum mereka lahir. Kedua keluarga mereka cukup terpandang dan kaya.
Saat SD dan SMP, Aruna dan Malik bersekolah di sekolah yang sama. Walaupun SMA mereka belajar di sekolah yang berbeda, saat kuliah mereka kembali dipertemukan karena mereka sama-sama kuliah di New York. Aruna mengambil jurusan Art History di Columbia University sedangkan Malik mengambil Business School di Harvard University.
Meskipun mereka pergi ke universitas yang berbeda, Aruna dan Malik cukup sering menghabiskan waktu bersama selama mereka di New York. Mereka tidak pernah berpacaran tapi cukup dekat.
Perihal pertunangan ini pun disampaikan mamanya lewat telpon dan Malik belum menghubunginya soal ini. Namun itu bukan masalah karena Aruna cukup yakin Malik memiliki perasaan yang sama dengannya. Aruna juga beberapa kali mengingatkan Malik, walaupun dengan bercanda, tentang janji Malik saat mereka masih SD kelas satu dulu.
Saat itu Malik berjanji akan menikahi Aruna saat mereka dewasa. Dan Aruna memegang janji Malik hingga sekarang.
*
Setelah perias selesai dengan hasil karyanya dan Aruna juga sudah memakai kebaya warna biru pucat yang telah disiapkan sang mama, rombongan keluarga Malik pun datang. Para tetua saling bersalaman dan bertegur sapa.
Dengan penuh semangat Aruna pun menghampiri mereka. Namun dia tidak menemukan Malik.
"Malik di luar Aruna lagi terima telepon kayaknya," kata Sinta, kakak perempuan Malik yang bisa membaca gelagat Aruna. Setelah memberikan anggukan kecil dan senyum manisnya, Aruna pun dengan langkah kecil dan cepat keluar hingga melewati depan pagar rumahnya.
Beberapa meter dari sana, Aruna bisa melihat Malik sedang berdiri di dekat pohon rindang tepat di samping mobil yang terparkir. Dia sedang berbincang dengan seseorang. Jantung Aruna berdetak sangat cepat dan hal ini hampir selalu terjadi setiap kali dia melihat Malik.
Masih dengan senyum lebar di wajahnya, dia pun berjalan ke arah Malik. Hingga, hanya berjarak lima langkah, Aruna bisa mendengar ucapan Malik pada wanita yang berdiri di depannya.
"Oke, walaupun aku bertunangan, kita bakal tetap berhubungan," ucap Malik dan Aruna bisa melihat seulas senyum terbit di bibir wanita itu.
"Apa?" ucap Aruna dan keduanya menoleh ke arahnya secara bersamaan.
*
Gimana ... gimana .... hehehehee ....semoga kalian suka part ini ya dan bisa terus di sini nemenin Aruna dan Malik. Jangan lupa vote dan komen. Gracias!!! Te amo guys !!!
Published on Wednesday, September 1, 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top