BAB XII
Leonhart membalikan halaman buku seraya bersandar, salah satu kakinya ditumpangkan ke atas kaki lainnya. Pria itu mengembuskan napas pelan begitu bacaannya selesai. Ia segera menutup buku, lalu meletakannya di atas meja nakas samping ranjang. Netra cokelatnya bergerak memperhatikan Alice yang terbaring di sana. Sudah seminggu perempuan itu tak sadarkan diri.
Pertemuan mereka di bawah pohon rorenix membawa kenangan juga penyesalan. Alice mungkin saja mendapat kesempatan kedua, tetapi ia tetap tak bisa mengubah masa kini. Apa pun hasil yang ia dapat dari kesempatan yang diberikan Rorenix Tree Spirit, tak bisa mengembalikan mereka yang telah pergi.
Leonhart menautkan jemari, kemudian menempelkannya di kening seraya menunduk. Suara erangan pelan membuat si pria mendongak dan terbelalak. Alice telah sadar kembali.
Butuh waktu untuk perempuan itu menyesuaikan cahaya yang masuk ke mata. Setidaknya sampai ia menyadari keberadaan Leonhart yang tersenyum hangat. Pemandangan langka karena pria itu jarang tersenyum.
"Selamat datang kembali," ujar Leonhart yang dibalas kernyitan dahi oleh Alice. "Bagaimana perjalanan waktumu?"
"Perjalanan waktu?" Alice sempat terdiam sebelum menganga. Dengan cepat tubuh perempuan itu bangkit. "Leon, aku ... aku mati."
Senyum di wajah Leonhart luntur seketika, kemudian ia mengembuskan napas keras. "Setidaknya kau hidup di masa kini."
"Tapi aku berhasil mengatakannya," ungkap Alice. Ia berusaha mengingat kembali semua yang telah terjadi. "Dia tahu."
Leonhart memutar badan, tangannya merogoh saku mantel yang disampirkan di kursi. Dari sana, ia mengeluarkan surat. "Meskipun kau pergi ke masa lalu hanya untuk melakukan hal sederhana itu, masa lalu tak bisa diubah."
"Jadi ... semua yang kulakukan sia-sia?" tanya Alice diikuti kerutan dahi.
Leonhart mengangguk, ia kembali memutar tubuh hingga menghadap si perempuan. "Antara sia-sia dan tidak. Mungkin bisa jadi sia-sia karena tak ada yang berubah di masa kini. Tidak sia-sia karena setidaknya kau sudah mengungkapkan isi hatimu."
Si pria menyodorkan sebuah surat pada Alice. Amplop putih bersih dengan tulisan tangan sambung yang rapi. Di sana, nama Alice Howell tertera, tetapi tidak ada nama pengirimnya. Perempuan itu membalik surat, bermaksud mencari petunjuk si pengirim. Ia melayangkan pandangan kebingungan pada Leonhart, mungkin saja pria itu mau memberitahu pengirimnya.
"Surat itu tak sengaja kutemukan di lemarinya Gilbert saat pamanku memintaku untuk mengambil barang-barang Gilbert yang bisa kupakai." Leonhart mengembuskan napas pelan, tatapannya mengarah ke surat di tangan Alice. "Lis, kau pasti pernah bertanya-tanya, kan? Penyakit apa yang sebenarnya diderita Gilbert."
Alice mengangguk. Sejak lama sekali ia ingin tahu apa yang sebenarnya diderita Gilbert.
"Percayalah, Gilbert bukan manusia murni, dia darah campuran. Pamanku tidak pernah cerita dari ras apa istrinya itu, tapi aku yakin dia bukan dari ras penyihir atau manusia. Gilbert pernah menyinggungnya sekali, katanya ibunya berasal dari ras kegelapan. Kau ingat aku pernah tanya padamu soal ramuan penyembuh?"
Alice kembali mengangguk, kepalanya memutar kembali saat Leonhart bertanya soal ramuan penyembuh.
"Itu untuk Gilbert. Semakin hari, bercak hitamnya semakin meluas. Kau mungkin tidak pernah melihatnya karena bercak itu berada di balik bajunya. Dimulai dari dada, menyebar ke punggung bahkan sampai lengan kiri. Setiap harinya, ia sering sakit kepala dan sesak napas. Penyakit yang sama yang juga diderita Amon, kau mungkin pernah mendengar rumor itu." Leonhart beralih menatap Alice seraya tersenyum tipis. "Seberapa keras kau berusaha menyelamatkannya di masa lalu, pada akhirnya ia tetap akan meninggal. Mau dia selamat atau tidak dari insiden ledakan itu, Gilbert tidak akan bertahan lebih lama."
Alice membelalak. Tiba-tiba hatinya terasa sakit mendengar ucapan itu, dan tanpa sadar matanya berkaca-kaca.
"Kita tak bisa menyelamatkannya. Tak ada cara untuk menyelamatkannya." Leonhart memegang tangan Alice yang sedang mengusap permukaan surat, membuat perempuan itu menoleh. "Lagi pula, tanpa kau beritahu pun dia sudah tahu kau menyukainya. Sebaliknya, dia pun menyukaimu."
Perkataan Leonhart membuat Alice terdiam, mencerna semuanya. Ia tak bisa berkata-kata, tenggorokannya kelu, dan air mata mengalir. Selama empat tahun ia menutup dirinya, menyesal atas apa yang terjadi pada hari festival bulan berkah, bahkan menyalahkan dirinya sendiri karena tak bisa mencegahnya masuk ke sana. Baru kali ini Alice mengetahuinya bahwa ternyata Gilbert juga menyimpan perasaan yang sama.
Rasa sakit akan kehilangan jauh lebih menyakitkan, apalagi ketika Alice tahu fakta yang tak terduga. Sekuat tenaga, perempuan bersurai cokelat menahan isakan, bahkan sampai salah satu tangannya mencengkeram kuat kerah baju.
Leonhart berdiri, ia ingin memberikan ruang untuk Alice. Jadi, pria itu menepuk pelan pundak si perempuan sebelum beranjak pergi. Tatkala pintu ruangan tertutup, Alice terisak sembari menekuk kakinya. Semua memori tentang mereka terputar kembali di benak, bagaikan pengingat bahwa mereka setidaknya pernah bersama.
~o0o~
Langit di luar sudah berubah jingga, lampu kamar juga sudah dinyalakan. Di atas ranjang, Alice terduduk sambil membaca surat terakhir yang ditulis Gilbert untuknya. Perlahan-lahan, tangan perempuan itu membuka perekat di amplop. Di dalam amplop terdapat secarik kertas yang dilipat. Tulisan sambung yang terlihat rapi, membuat Alice semakin merindukan Gilbert. Perempuan itu menghela napas, lalu mengembuskannya perlahan sebelum membaca isi suratnya.
Luxi, 21 Oktober
Dear Zamrud aka Alice Howell,
Saat kau membaca surat ini, kuharap kau baik-baik saja. Aku tidak tahu kapan surat ini sampai padamu. Mungkin, saat kau membacanya, kita tidak bisa bertemu lagi.
Zamrud, kau mungkin penasaran atas apa yang sedang menjangkiti tubuhku. Aku pun tidak tahu, tapi satu hal yang selalu tertanam di kepala, ini seperti kutukan untuk kami yang terlahir darah campuran. Maaf tidak pernah memberitahumu tentang rahasiaku ini, aku hanya tidak ingin orang-orang terdekatku khawatir.
Kau mungkin tahu tidak ada yang bisa menyembuhkan kutukan ini, mungkin ada tapi aku tak mau melakukannya. Sihir hitam bukan opsi yang bagus. Lagi pula itu sama saja seperti menukar hidup orang lain demi perpanjangan nyawa.
Aku rasa kita bahas yang lain saja.
Zamrud, terima kasih untuk kotak bekalnya. Meski kau tidak mencantumkan namamu di surat, aku tahu itu kau. Rayvis yang memberitahuku. Dia juga tahu dari Reene. Kuharap kau tidak marah padanya. Oh iya, bagaimana kabar mereka, ya?
Oh iya, sama seperti pertanyaan yang pernah kutanyakan padamu. Bagaimana dengan perkembangan sihir elemenmu? Elemen apa yang kaukuasai? Aku sangat berharap kau bisa menguasai tidak satu elemen saja. Kuharap bisa melihatmu dari sini.
Terakhir, masih ingatkah kau tentang pertemuan pertama kita? Dulu sewaktu kecil aku ingat sekali kau sering dirundung. Kau bahkan takut saat kusapa, padahal waktu itu aku ingin berteman denganmu. Lama-lama, akhirnya kita jadi sering menghabiskan waktu bersama. Tahukah kau setiap memori tentang kebersamaan kita akan selalu kukenang. Memori itu terpatri di benakku, dan jejak kebersamaan kita masih ada di setiap tempat yang pernah kita kunjungi. Ada banyak saksinya, angin, tanah, langit, dan bangunan di sekitar. Kau tak perlu khawatir kenangan itu akan pudar. Lama-lama, aku jadi merasa tidak ingin kehilanganmu. Tapi, justru aku yang akan menghilang. Bukan keinginanku, hanya saja takdir berkata demikian.
Zamrud, terima kasih telah menyukaiku. Aku pun menyukaimu. Kau, gadis penyihir nemele hebat. Kau berbakat, jadi kembangkan bakatmu. Lalu, tetaplah tersenyum menghadapi hari-harimu. Perjalananmu masih membentang luas.
Kurasa, hanya ini yang bisa kutuliskan sekarang. Jaga kesehatanmu. Sampai jumpa lagi.
Salam hangat
Gilbert Clover.
~o0o~
A/N
Thank you sudah baca sampai sini. Eitss, masih ada sisa dua bab lagi yang belum dipublish. Rencananya aku bakal update dua bab itu sekaligus nanti di hari Kamis.
See you there.
Oh ya, jangan lupa untuk tinggalkan jejaknya ya. Bisa berupa vote atau komentar.
26 Juli 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top