BAB VIII
Alice jatuh terduduk, memperhatikan kejadian yang tak terduga di depan matanya. Semua orang juga memandangi hal yang sama, lapangan luas jauh di seberang Taman Rorenix. Sesuatu terasa sesak di dada Alice, menusuknya hingga air mata berlinang. Suara teriakan dan riuh orang-orang membuat telinga gadis itu sakit. Sampai akhirnya ia tak bisa mendengar apa-apa, dan pandangannya memburam.
~o0o~
Lapangan olahraga Morioya School dipenuhi siswa kelas 3D. Mereka semua bersemangat untuk melakukan olahraga lari dan permainan bola tangan. Beberapa siswa lari keliling lapangan secara bergantian, tetapi beberapa dari mereka menggunakan ramuan kecepatan untuk mengurangi waktu tempuh dan hemat energi. Akibatnya, Samael Nynix selaku guru olahraga berteriak keras-keras, memperingati siswa-siswanya yang nakal.
Alice duduk di pinggir lapangan setelah berlari satu keliling. Sambil menunggu temannya yang lain, gadis itu teringat akan mimpinya semalam. Mimpi aneh yang cukup membuat hatinya terasa sakit. Sekeras apa pun ia mencoba mengingat keseluruhan mimpinya, Alice tetap tak mengingat kecuali teriakan orang-orang dan sebuah taman yang tampak menyilaukan.
Gilbert yang sudah selesai berlari, menghampiri Alice sambil tertawa pelan. Pemuda itu langsung duduk di sampingnya, memanjangkan kaki. "Sepertinya Mr. Samael akan menghukum mereka."
Alice tertawa pelan seraya menggeleng. "Tapi beberapa teman kita malah kabur."
Reene yang baru saja menyelesaikan lari langsung mengambil botol minum di samping Alice sebelum menghampiri kembarannya. Ia sebenarnya tidak ingin menganggu obrolan antara Alice dan Gilbert, sebab ia sudah berjanji untuk membantu agar mereka dekat.
Sambil memperhatikan Reene yang senyum-senyum sendiri, Alice berdecak sebal. Sementara Gilbert mengerutkan dahi.
Mencoba mengabaikan Reene, Alice memutuskan untuk mengganti topik obrolan. "Soal festival akhir pekan nanti, entah kenapa aku punya firasat buruk."
Gilbert menoleh sambil menaikkan alis. "Aku juga. Rasanya seperti aku tidak berani menghadapi hari itu."
Perkataan itu berhasil membuat Alice terkejut, rupanya mereka memiliki firasat yang sama. Gadis berambut cokelat itu langsung menekuk kaki seraya berkata, "Sama, akhir-akhir ini aku seolah diperingati untuk tidak mendekati festival selama akhir pekan. Apa karena ... kau tahu, yang sedang terjadi akhir-akhir ini."
"Maksudmu, teror si penyihir gila?" tanya Gilbert yang dibalas anggukan Alice. "Memang agak rawan pergi ke tempat ramai. Penyihir itu masih belum tertangkap, dan kemungkinan mengincar tempat ramai lainnya."
Alice mengalihkan pandangan ke tengah lapangan di mana guru olahraganya sedang menghukum siswa-siswa nakal. "Jadi, menurutmu bagaimana?"
Gilbert tercekat, tetapi mengubah ekspresinya dengan cepat. "Tak perlu khawatir, Zamrud. Kita adalah penyihir hebat yang bisa melindungi diri dari bahaya."
Alice tertawa pelan sambil menggeleng. "Tapi kau manusia, Gilbert."
"Jangan begitu, aku juga punya cara tersendiri untuk melawan penyihir," timpal Gilbert sebelum berdiri.
Mr. Samael baru saja selesai menghukum siswa yang menggunakan ramuan kecepatan. Pria itu meniup peluit, memanggil siswa lain untuk segera berkumpul di lapangan. Permainan bola tangan akan segera dimulai, dan obrolan Alice juga Gilbert berakhir.
~o0o~
Menara jam di sekolah mulai berdentang, waktu makan siang telah tiba. Di saat seisi kelas mulai berhamburan keluar, Alice masih bergeming memperhatikan lampu gantung dengan lilin menyala di langit-langit kelas. Ia bahkan tidak sadar jika jam pelajaran mantra pertahanan sudah usai. Pikiran gadis itu melayang, memikirkan tentang firasat buruk dan kemungkinan yang akan terjadi di festival.
Gilbert dengan tangan memegang kotak bekal menghampiri meja Alice. Sebelumnya, pemuda itu berada di kelas yang berbeda karena pelajaran mantra pertahanan hanya untuk penyihir. Langkah Gilbert saja sampai tidak didengar Alice, membuat si pemuda menepuk pundaknya pelan.
"Oh, kelasnya sudah usai?" Alice mengerjap diikuti wajah terkejut.
"Kau bahkan tidak sadar tak seorang pun di sini," ujar Gilbert.
Alice segera merapikan barangnya, lalu berjalan keluar kelas diikuti pemuda itu. Mereka menyusuri koridor sepi. Di dindingnya terdapat lukisan-lukisan besar dan vas bunga besar. Setiap kali melihat lukisan seorang wanita, yang diingat Alice hanyalah sosok Rorenix Tree Spirit. Gadis itu bahkan mengerjap cepat, memastikan kalau penglihatannya salah.
"Zamrud, ini untukmu." Gilbert menyodorkan kotak bekal kala melihat Alice termenung memperhatikan lukisan. "Terima kasih."
Si gadis menoleh, netra birunya terkejut melihat benda di tangan Gilbert. Benda itu yang ia simpan di loker si pemuda kemarin pagi atas usulan Reene. Padahal, Alice yakin tak ada ciri apa pun yang menunjukkan benda tersebut merupakan pemberiannya. Di sini, ia mulai curiga kalau Gilbert sebenarnya tahu.
"Ini ... apa?" tanya Alice sambil mengambil kotak bekal.
"Nasi kepal untuk makan siangmu."
Alice tak bisa berkata apa pun. Gadis itu membuka tutup kotak bekal, dan disuguhi tiga buah nasi kepal dengan taburan wijen. Jantungnya berdetak kencang, muncul rasa senang karena Gilbert lagi-lagi memberikan gadis itu hadiah. Setelah sepotong mille-feuile stroberi kemarin, sekarang Alice tak perlu repot mengeluarkan uang untuk makan siang.
"Terima kasih," ucap Alice pelan diikuti senyuman malu-malu. "Eh, bagaimana denganmu? Kau sudah beli makan siang?"
Gilbert mengeluarkan bungkus roti lapis dari balik saku jas almamater, kemudian mengangkatnya ke udara. "Aku sudah beli roti."
"Kalau begitu ...." Alice yang ragu mengalihkan pandangan. "Mau makan bersama?"
"Ayo, kita bisa sambil membicarakan soal festival atau film kalau kau mau."
~o0o~
Matahari sudah tenggelam dua jam lalu. Jam makan malam juga sudah lewat, dan menjadi agak aneh untuk Mirana Howell karena tidak melihat kakaknya duduk di depan televisi. Gadis berusia 14 tahun itu berjalan ke arah kamar sang kakak, ingin mencari tahu yang dilakukannya.
Begitu mengintip dari balik pintu kamar setengah terbuka, Mirana bisa melihat kakaknya tengah sibuk memilih baju di lemari. Gadis itu tahu pasti akan ada acara penting sampai harus memikirkan baju. Sebab, biasanya Alice tak terlalu memedulikan penampilan.
Mirana melangkah masuk tanpa mengetuk, gadis dengan rambut cokelat pendek langsung saja menjatuhkan tubuh di atas ranjang kakaknya. Netra biru cerah memperhatikan setiap baju yang dikeluarkan Alice.
"Pasti ada acara, kan?" Mirana menyentuh kemeja hijau pastel Alice.
"Ke festival bulan berkah," jawab Alice sambil melipat kembali atasan kuning.
"Dih, aku tidak diajak?"
Alice mengembuskan napas keras lalu berujar, "Lagi pula aku pergi dengan temanku. Kau bisa pergi sendiri atau ajak teman."
Mirana tak menanggapi, tetapi lebih memilih duduk sila di atas ranjang. Kepala gadis itu memperhatikan sekeliling kamar kakaknya. Tak ada suara apa pun di sana selain detak jam, dan kucing mengeong dari luar rumah. Kemudian, mengambil ponselnya dari saku piyama. Benda yang awalnya berbentuk kristal seukuran penggaris, langsung ditarik ke atas dan muncul layar hitam di sana.
"Festival bulan berkah tahun ini pasti jadi yang terburuk," celetuk Mirana setelah mengetik pesan panjang pada temannya.
Alice yang sedang melihat rok biru muda tiba-tiba menoleh. Ia membelalak seolah kata-kata barusan mengejutkannya. "Kau punya firasat buruk tentang festival bulan berkah?"
Mirana mengangguk sembari meletakan ponsel di dekat bantal. "Hanya firasatku, sih. Tapi, Kakak tahu sendiri akhir-akhir ini tempat ramai jadi kurang aman. Penyihir gila itu pasti beraksi lagi."
Suara embusan napas terdengar dari Mirana. Alice melipat kembali rok biru muda seraya berkata, "Sebenarnya aku penasaran alasan penyihir itu membuat teror. Dia protes ke pemerintahan atau karena ajaran sesat?"
Mirana mengedik. "Entahlah. Ngomong-ngomong, Kakak tidak perlu ke festival. Lebih baik temani aku di rumah."
Sudut bibir Alice terangkat, kepalanya menggeleng pelan, dan tangannya memasukkan kembali rok ke lemari. Ia tidak menanggapi Mirana bukan karena malas, tetapi lebih memikirkan ucapan adiknya. Alice, Gilbert, dan Mirana punya firasat sama. Entah kebetulan atau hanya perasaan saja. Namun, sepanjang gadis itu merapikan kembali semua baju yang sudah ia keluarkan, muncul ingatan tentang ramalan sewaktu di pantai. Membuatnya jadi makin khawatir.
~o0o~
Hai, thank you sudah baca sampai sini. Jangan lupa berikan dukungan untukku ya. Bisa berupa vote atau komentar (~‾▿‾)~
See you next chapter~
Indonesia, 12 Juli 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top