BAB VII

"Ini gila," ujar Alice sembari bersidekap, sedangkan Reene terus mengintip dari persimpangan lorong ke arah ruang loker. "Lagi pula apa dia akan tahu surat itu dariku?"

"Tentu saja! Kau ini pesimis sekali," sahut Reene tanpa menoleh.

Sebelumnya, pagi-pagi sekali Reene menghubungi Alice untuk membuat makanan. Hal ini dikarenakan gadis itu baru saja menyaksikan film romansa di mana si tokoh utama perempuan membuatkan makanan untuk sang terkasih. Menurut Reene, Alice bisa mencoba cara ini diselipkan dengan surat pengakuan.

Namun, Alice justru merasa sebaliknya. Ia tidak yakin ini berhasil apa lagi tidak ada nama pengirim secara jelas karena ketakutan Alice sendiri.

"Oh iya, akhir pekan nanti aku akan pergi menonton konser festival bulan berkah dengan Gilbert." Alice bersandar pada dinding sembari memperhatikan pohon berdaun jingga yang mulai berguguran.

"APA?!" Reene sontak memutar tubuh, dan langsung menarik kedua lengan temannya. "Kau yang mengajak atau Gilbert?"

Alice mencoba melepaskan tangannya dari Reene seraya berkata, "Tentu saja Gilbert. Masa aku? Kau tahu sendiri aku tidak berani mengajak dia nonton."

"Hah?" Reene mengernyit. "Bukannya sejak kelas 1 kau sering mengajak dia pergi?"

"Eh! I-itu ... itu saat aku belum punya perasaan padanya."

"Oh, ya sudah." Reene kembali berbalik, memperhatikan ruang loker yang mulai ramai. "Tidakkah itu jadi kesempatan yang bagus? Kau bisa mengatakan perasaanmu di sana. Oh, kudengar ada pasar malam. Kau bisa mengajaknya naik bianglala."

"Hih, kau kira aku berani?"

Reene mengedikkan bahu sebelum mulai menepuk lengan Alice. gadis itu baru saja melihat Gilbert datang dan membuka lokernya. Begitu terbuka, si pemuda tampak terkejut kala menemukan kotak makan beserta surat berwarna merah hati. Kepala pemuda itu bergerak menatap sekeliling, sebelum Leonhart datang dengan ekspresi kaget.

"Ya, misi berhasil. Tinggal menunggu saja," kata Reene sebelum menoleh ke belakang badannya. "Lho? Lis?"

Sementara itu, Alice sudah menghilang entah ke mana.

~o0o~

Sebelum jam pelajaran mantra, Alice terus menopang dagunya sembari mendengar ocehan Reene mengenai rencana pendekatan selanjutnya. Gadis itu mengusulkan agar Alice tetap bersama Gilbert sampai waktu konser tiba, yang mana menurut temannya terlalu singkat. Cara mendekati seperti itu umum dilakukan untuk mengetahui lebih banyak tentang seseorang yang ditaksir, dan mungkin saja dapat membuat keduanya jadi nyaman. Menurut Reene seperti itu.

Akan tetapi, Alice yang terlalu gengsi mengatakan perasaannya dan mendadak jadi agak canggung, menolak ide tersebut. Meskipun ia tahu Reene tak akan menyerah sampai Alice benar-benar bisa menyampaikan isi hatinya. Jadi, sebelum temannya itu kembali mengoceh, si gadis bersembunyi di ruang musik. Tempat di mana ia bisa mengekspresikan dirinya melalui musik.

Ponsel dengan pinggiran layaknya permata dinyalakan, lalu dengan sekali usap pada layar, ia membuka aplikasi musik. Saat hendak dinyalakan, Alice bisa mendengar suara erangan pelan dari balik meja dekat jendela. Begitu didekati, rupanya seorang siswa baru saja bangun tidur dengan posisi badan telungkup. Cepat-cepat, Alice mematikan kembali musiknya.

"Leon?" Suara Alice berhasil membangunkan remaja dengan rambut hitam berantakan. "Kau tidak bisa tidur di ruang musik."

Leonhart bangkit sambil mengerjap. Ia terdiam sejenak menatap Alice yang kini tersenyum. "Oh, Lis. Ada kelas yang akan pakai ruang musik, ya?"

"Tidak juga," sahut Alice sembari memperhatikan sebuah buku bersampul hijau lumut, di sana tertulis 'Ramuan dan Berbagai Macam Penyakit'. "Jangan bilang kau ketiduran saat baca buku itu."

Leonhart melirik buku di sampingnya, kemudian diambil sambil mengembuskan napas keras. "Iya memang. Sayangnya buku ini punya kutukan tidur."

Suara tawa Leonhart dan Alice mengisi ruang musik yang hening, seolah menghangatkan tempat yang jarang tersentuh di sekolah. Meski humor si pemuda sebenarnya tidak lucu, tetap saja Alice terbawa suasana karena mudah ikut tertular tawa.

Suara mereka kemudian hening. Mata mereka terpaku pada satu objek, buku ramuan yang dipegang Leonhart. Alice mengira remaja itu hendak mempelajari ramuan sebelum kelas praktik nanti. Kemudian, ia jadi ingat dirinya juga belum mempelajari ramuan apa pun.

"Lis, kau tahu banyak tentang ramuan. Apa kau tahu ramuan yang bisa menyembuhkan segala penyakit?" tanya Leonhart tiba-tiba.

"Hah?" Alice langsung menatap netra cokelat temannya. "Well, aku tidak pernah mendengar ramuan semacam itu. Kalau kau sakit, pergilah temui dokter."

"Ternyata memang tidak ada, ya."

Tiba-tiba, ide gila muncul di kepala Alice. Gadis itu tertawa sendiri sebelum berucap, "Kalau kau mau, gunakan sihir hitam. Selain sembuh dari segala penyakit, kau bisa dapat keabadian. Tapi ... aku tidak merekomendasikan ini."

Leonhart mendengkus pelan. "Jangan sihir hitam. Sangat beresiko."

"Kenapa tidak pergi ke dokter saja?"

Bibir si pemuda terbuka, hendak menjawab pertanyaan Alice. Namun, niatnya diurungkan. Netra cokelat Leonhart beralih memperhatikan sampul buku ramuan, tangannya mengelus permukaan sampul. Dari wajah pemuda tersebut, Alice bisa menyimpulkan jika ada sesuatu yang mengganggunya.

"Penyakit yang tidak bisa disembuhkan ya?" tanya Alice memastikan.

Leonhart mengangguk, kemudian melirik Alice yang kini duduk di sampingnya. "Kau pernah dengar penyakit aneh yang sering menyerang darah campuran?"

Alice mengernyit bingung. Ini pertama kalinya mendengar hal itu.

"Darah campuran tidak seperti kita yang darah murni. Mereka rentan sakit. Dulu aku sempat mengira kalau darah campuran akan memiliki kekuatan yang luar biasa. Rupanya ... aku salah." Leonhart mengembuskan napas pelan. "Gejalanya beragam dari sakit kepala, mual, sesak napas, dan masih banyak lagi. Tapi, yang aneh itu ketika kulit berubah hitam dan rasanya seperti terbakar. Ada beberapa darah campuran yang tiba-tiba kehilangan nyawa setelah seluruh tubuhnya menghitam."

Alice membelalak. "Aku baru tahu ini darimu. Rasanya—"

"Seperti kutukan bukan?" Leonhart kembali menoleh pada Alice, senyum tipis terlukis di wajah. "Tapi ini hanya menyerang darah campuran. Pengecualian untuk orang-orang seperti kita atau mereka yang terlahir campuran Penyihir-Manusia."

"Leon, apa salah satu keluargamu mengalami ini?" tanya Alice cemas.

"Iya, dan aku berusaha mencari sesuatu yang bisa menyelamatkannya."

"Aku benar-benar minta maaf karena tidak bisa membantumu."

~o0o~

Bagi Alice, Reene sepertinya akan gagal menyandang gelar Mak Comblang. Sebab, gadis itu bukannya tetap melakukan apa saja agar Alice dan Gilbert bisa pulang bersama, malah mengajak orang lain. Katanya, supaya temannya tidak canggung. Namun, tetap saja, di stasiun mereka berlima akan berpisah. Jalur kereta mereka berbeda.

Di dekat stasiun Morioya, terdapat sebuah toko kue yang warnanya terlalu mencolok. Di atapnya ada replika balon udara dengan boneka kayu sebagai pelengkap. Begitu mereka berlima melewati toko kue, tak sengaja mata Gilbert melihat kue-kue yang dipajang di dekat jendela dengan harga miring.

"Tunggu sebentar ya," ucap Gilbert pada temannya.

Pemuda itu bergegas masuk ke sana, membuat empat orang lainnya saling memandang. Mereka kemudian berdiri di jendela toko, memperhatikan kue-kue cantik dan peri-peri mungil yang melemparkan gula warna-warni ke arah kue. Tak lama, Gilbert kembali sembari menenteng satu kotak kuning.

"Ini untukmu, Zamrud," kata si pemuda berambut cokelat sambil menyodorkan kotak kuning pada Alice.

"Hah? Kau serius?" tanya Alice bingung.

"Iya, anggap saja kue ini imbalan karena kau membantuku sewaktu pingsan di stasiun," sahut Gilbert dengan senyum tulus. "Dan untuk makan siangnya."

Alice tentu saja senang mendapat kue gratis, apalagi saat dibuka ternyata berisi mille-feuile stroberi kesukaannya. "Terima kasih, Gilbert! Padahal tidak perlu repot-repot."

Kemudian, gadis itu berjalan bersama teman-temannya menuju stasiun, diiringi senandung kecil. Akan tetapi, senandungnya terhenti kala mencapai pintu utama stasiun. Alice memutar tubuh, matanya menatap Gilbert yang berjalan di paling belakang bersama Leonhart.

"Tadi kau bilang makan siang? Tapi aku tak pernah membelikanmu makan siang," pungkas Alice.

Gilbert menaikkan alis, lalu melirik Leonhart yang seolah memberikan kode melalui tatapan. "Pernah. Kau mungkin lupa."

Alice berpikir sejenak, tetapi memorinya tidak menemukan pengalaman yang dimaksud. Jadi, ia pun menggaruk tengkuk belakang sebelum berjalan memasuki stasiun. Alice yakin sekali tak pernah membelikan makan siang untuk Gilbert.

~o0o~

Hujan turun membasahi kota, dan tentu saja untuk beberapa orang di kereta jadi mendengkus karena tak bawa payung. Alice tidak kebagian kursi, jadi ia terpaksa berdiri bersama Gilbert dan Leonhart di sampingnya. Netra biru gadis itu memandangi perkotaan melalui jendela, sesekali memperhatikan judul buku yang dibaca seorang nenek.

Tak ada suara apa pun selain interkom yang mengumumkan stasiun berikutnya, juga pergerakan beberapa orang, bersiap untuk keluar. Alice yang melamun tiba-tiba dikejutkan oleh suara Leonhart, tampak memanggilnya.

"Kau memanggilku?" tanya Alice seraya menoleh ke samping kiri.

Leonhart mengernyit, kemudian menggeleng sebelum kembali memainkan ponsel. Gadis itu yakin baru saja mendengar suara temannya. Mungkin saja itu hanya tipuan otak.

"Alice, kau harus ingat. Kumohon, kau harus kembali."

Lagi, suara Leonhart menyentaknya. Lamunan Alice buyar. Ia kembali menoleh ke samping kiri, bermaksud menanyakannya lagi pada si empunya suara. Namun, jawabannya tetap sama. Leonhart sejak menaiki kereta tak berbicara sedikit pun.

"Aneh," gumam Alice.

Kereta berhenti tepat di stasiun Sarioya, dan Leonhart turun di sana sambil melambaikan tangan. Suara terakhir yang didengar Alice adalah ucapan pamit juga rencana kunjungannya ke rumah Gilbert. Akan tetapi, semenjak Leonhart turun, suara-suara yang memperingatkan akan akhir pekan terus menggema. Sampai Alice risi dibuatnya.

Gadis itu akhirnya memutuskan untuk memejamkan mata sebentar, memfokuskan diri pada satu suara saja. Suara napasnya sendiri. Begitu ia membuka mata, Alice membelalak. Ia berada tepat di depan pohon rorenix, menengadah pada Rorenix Tree Spirit.

"Wahai anakku, kesempatanmu semakin tipis. Lakukan sekarang atau kau menyesal. Tapi ingat, semua yang kaulakukan—"

"Zamrud," panggil Gilbert sembari mengguncangkan tubuh Alice. "Ayo, sebentar lagi kita turun."

Perkataan pemuda itu kembali menyadarkan Alice. Mengembalikan si gadis ke dunianya, tetapi meninggalkan tanda tanya besar untuknya.

~o0o~

Halo, sudah lama sejak saya update bab ini dikarenakan hilangnya motivasi buka wattpad ಥ‿ಥ

Jadi, saya berencana namatin cerita ini yang sebenarnya udah tamat sih wkwk, cuman saya tambahin satu bab baru biar bisa didaftarkan untuk event tahunan montaks.

Oh iya, terima kasih sudah baca. Mohon dukungannya dengan memberi bintang dan komentar (人*´∀`)。*゚+

See you in Tuesday~

9 Juli 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top