BAB IV
Warna jingga yang menghiasi langit, tampak indah untuk dipandang. Bayangan matahari tenggelam di balik cakrawala, memantul, menghiasi lautan yang warnanya terlihat gelap. Laut bagai cermin itu menampilkan refleksi dari kembang api yang dinyalakan ketika matahari sudah sepenuhnya lenyap di balik cakrawala. Pertunjukan kembang api sudah dimulai, dan berikutnya akan ada pertunjukan sihir elemen. Salah satu pertunjukan yang sangat dinanti-nantikan oleh anak-anak muda.
Alice berdiri memandangi setiap warna yang terpancar dari kembang api. Ia bergeming, walau begitu tetap saja pikirannya tidak sedang menikmati pertunjukan malam ini. Kata-kata si peramal terus terngiang, seperti musik yang selalu ia setel. Alice terus mempertanyakan maksudnya, dan mendadak saja firasat tidak enak muncul. Ia menduga kalau kehadiran sosok wanita tembus pandang juga ada kaitannya dengan ucapan wanita peramal.
"Pertunjukan sihir elemennya keren, ya. Meski baru sihir elemen air," ujar Gilbert yang entah kapan sudah berdiri di samping Alice.
Gadis dengan netra biru cerah terkejut bukan main, lantas mengedarkan pandangan untuk mencari sosok lain. Namun, sosok yang ia cari tidak ada. "Bukannya tadi kau bersama Naomi?"
Gilbert menoleh, mata cokelat gelapnya menatap Alice. Ekspresinya berubah datar sesaat setelah mendengar lontaran pertanyaan. "Dia pulang duluan."
"Oh." Kepala Alice bergerak, memperhatikan pertunjukan sihir. Tiba-tiba saja ia merasa lega. Setidaknya hal itu membuat Alice lupa soal ramalan si wanita peramal.
"Kau bisa melakukan sihir seperti itu?" tanya Gilbert sembari menunjuk pertunjukan sihir elemen.
Alice menggeleng. "Sayang sekali tidak. Itu ... terlalu sulit."
"Kalau suatu saat nanti kau bisa, aku ingin melihatnya." Alice memperhatikan wajah Gilbert yang tidak menoleh sama sekali padanya. Gadis itu tahu nada ucapan si pemuda terdengar sedih, tetapi ekspresinya justru berkata lain.
"Doakan saja aku bisa melakukannya."
Tak ada obrolan lagi, sebab mereka terlalu terpana dengan pertunjukan sihir. Hingga acara sihir elemental selesai, tenda-tenda yang menjajakan makanan, minuman, atau kerajinan masih ramai dipadati pengunjung. Namun, karena menjelang larut malam, Alice dan teman-temannya memutuskan untuk pulang.
~o0o~
Arah pulang Alice dan Reene berbeda. Reene dan saudara kembarnya hanya perlu berjalan kaki dari arah pantai karena perumahan mereka tak jauh dari sana. Sementara itu, Alice juga Gilbert perlu berjalan menuju stasiun terdekat—yang sebenarnya agak jauh—untuk bisa menaiki kereta. Sambil mengobrol seputar tugas sekolah dan film, netra cokelat gelap si pemuda melihat minimarket. Lantas, ia pun menarik Alice ke sana untuk membeli sesuatu.
Tadinya, Alice hanya ingin membeli air mineral, sebab ia sudah banyak makan di festival pantai. Akan tetapi, Gilbert menawarinya dessert yang dijual di sana. Tentu saja gadis itu menolak, perlu usaha ekstra agar tawaran si pemuda diterima oleh Alice. Setelah perdebatan panjang, akhirnya gadis bersurai cokelat terang mau menerima traktiran itu.
"Ini kedua kalinya kau membelikan sesuatu untukku dalam satu hari. Lain kali aku saja yang bayar," pungkas Alice sambil membuka plastik dessert berupa kue coklat segitiga dengan stroberi di atasnya.
"Tidak usah, anggap saja sebagai imbalan dariku," imbuh Gilbert seraya membuka bungkus wafer.
"Hah? Memangnya aku sudah melakukan apa sampai kau memberiku imbalan?"
"Tadi kupinjam namamu untuk alasan ke ayahku."
Gerakan tangan Alice yang hendak memotong kue terhenti. Matanya membelalak tak percaya, lalu ia mendengkus keras sebelum melanjutkan makan. "Oh iya, barusan kau beli makanan kucing. Jangan bilang kau ingin memberi makan kucing jalanan, ya?"
Gilbert bangkit, lalu membuang bungkus wafer ke tempat sampah yang tidak jauh dari tempat mereka. "Tadi pagi kulihat ada anak kucing di dekat stasiun."
Alice mengembuskan napas keras, sudah menduga jika pemuda itu akan memberi makan kucing-kucing jalanan. Sudah bukan hal aneh jika Gilbert tiba-tiba pergi ke minimarket hanya untuk membeli sebungkus makanan kucing, gadis itu sudah tahu hobi temannya.
"Kalau begitu ayo kita ke stasiun. Kucing-kucing itu pasti kelaparan," kata Alice seraya berdiri. Namun, tiba-tiba kepalanya berdenyut lagi. Sehingga membuat gadis itu harus memejamkan mata sejenak.
Kali ini, tidak seperti insiden sebelumnya di sekolah, Alice hanya bisa mendengar suara. Bukan milik Gilbert ataupun orang-orang yang ada di sekitar mereka. Suara itu persis seperti milik si wanita tembus pandang yang ada di ruang kesehatan sekolah. Walau awalnya seperti bisikan, lama-lama Alice bisa mendengar dengan jelas setelah memfokuskannya pada satu suara.
"Say it or regret it. Waktumu tak banyak."
"Hah? Aku harus bilang apa? Pada siapa?" Namun, kala Alice bertanya, suara itu hilang seolah tertiup oleh desiran angin malam. Mengembalikan gadis itu pada realita.
"Ada apa?" Kali ini, suara Gilbert yang tertangkap oleh telinganya.
"Gilbert, apa kau dengar seseorang berbicara? Emm, suaranya mirip ibu-ibu dan bisikan-bisikan mirip di film-film horor." Perkataan Alice yang terdengar panik membuat si pemuda semakin bingung. "Apa hanya aku yang mendengarnya, ya?"
"Kau ini kenapa, Zamrud?"
Alice memperhatikan bungkus kue yang masih ia pegang, lalu matanya bergerak ke arah Gilbert. Lantas menggeleng sembari berkata, "Lupakan saja. Aku mungkin hanya berhalusinasi."
Mudah sekali meminta temannya untuk melupakan kejadian barusan, tetapi gadis itu tidak lupa. Ia malah terus kepikiran. Alice merasa ucapan barusan di depan minimarket ada kaitannya dengan ramalan. Namun, bisa saja sebenarnya ia hanya menggunakan ilmu cocoklogi karena kebetulan-kebetulan yang terjadi. Saking kepikirannya, gadis itu sampai tak sadar dirinya sudah sampai di depan stasiun. Iris biru tersebut melihat Gilbert tengah berjongkok sambil memberi makan anak kucing jalanan.
Ia tak ingin menganggu kesenangan si pemuda, jadi Alice hanya menengadah. Bukan langit yang dilihatnya, tetapi lampu-lampu kristal Luminox bercahaya menghiasi stasiun. Kerlap-kerlip yang mengelilingi kristal Luminox menari-nari, sehingga enak dipandang. Hal itu tentu saja mengingatkan Alice lagi tentang ramalan. Tentang enam hari yang akan datang. Tentang masa depan yang tak bisa diramal. Tentang penyesalan yang tidak dipahami oleh Alice, tetapi selalu diucapkan si sosok wanita tembus pandang. Tentang dirinya, hidupnya, dan ... perasaannya.
Perasaan?
Dalam diam Alice mempertanyakan perasaan. Akhir-akhir ini ia merasa ada yang aneh pada dirinya sendiri. Bukan perasaan takut atau khawatir tentang enam hari yang akan datang, tetapi ketika ia melihat Gilbert. Sudah lama mereka berteman, sudah lama pula perasaan yang menghinggapi si gadis ada. Bagi Alice itu cukup menganggu, jadi ia hanya perlu mengesampingkan hal tersebut dan menjalani hidup seperti sedia kala.
Lamunan si gadis bermata biru buyar kala ia mendengar ringisan pelan Gilbert. Anak kucing yang tadi diberi makan sudah lari ketakutan ke dalam semak-semak, sedangkan si pemuda masih berjongkok dengan tangan memijat pelipisnya.
"Gilbert, ada apa? Kau dicakar kucing?" tanya Alice khawatir. Gadis itu langsung menghampiri temannya, kemudian berjongkok di hadapan Gilbert.
"A-aku ... baik-baik ... saja," timpal Gilbert sembari membuka tas dan mencari tabung kecil berisi kapsul-kapsul putih yang mengilap.
Alice sama sekali tidak tahu tentang kapsul itu, tetapi ia sudah menduga jika Gilbert tengah menderita suatu penyakit. Raut wajah si gadis berubah cepat menjadi panik, dan segera menawarkan bantuan. Alih-alih menerima tawaran itu, Gilbert justru menolaknya. Cepat-cepat pemuda berambut cokelat menelan satu kapsul putih, lalu menegak air mineral sampai sisa setengah lagi.
Alice mengembuskan napas pelan sebelum membuka suara. "Gilbert, kau sakit apa?"
Kelopak mata Gilbert terpejam sejenak, berusaha untuk menghilangkan rasa sakit di kepala. Butuh waktu beberapa detik sebelum tangannya memijat kening. Gerakannya terlihat lambat, tidak juga menghilangkan sakit yang meradang. Sebelum benar-benar menjawab pertanyaan Alice, si pemuda bangkit berdiri. Terdengar suara embusan napas berat yang jsutru membuat gadis dengan surai cokelat semakin cemas.
"Aku hanya ... sakit kepala." Kelopak mata Gilbert terbuka. Tanpa menoleh, ia kembali melanjutkan ucapannya. "Ayo, nanti kita ketinggalan kereta."
Kini, beban pikiran Alice bertambah. Tentang keadaan Gilbert yang tidak baik-baik saja. Namun, gadis itu meyakini dirinya jika si pemuda kemungkinan hanya kelelahan dan belum makan, mengingat yang Alice lihat Gilbert hanya makan wafer saja. Semuanya baik-baik saja sampai mereka memasuki gate, menaiki tangga menuju peron satu, dan berdiri menunggu kedatangan kereta. Sebab, satu menit sebelum kereta memasuki stasiun, Gilbert mendadak tak sadarkan diri.
✧✧
A/N
Karena sempat tidak update minggu lalu, jadi saya update dua kali minggu ini. Oh iya, jadwal update diubah ke Sabtu, ya (~‾▿‾)~
Sebelum lanjut ke bab berikutnya. Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote atau komentar, ya.
Thank you.
Jaa matane~
19 Maret 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top