BAB III

Hal pertama yang Alice lihat ketika membuka mata adalah langit-langit ruangan berwarna putih. Kemudian, mata biru tersebut bergerak untuk melihat hal lain, sebab ia tak tahu posisinya saat itu. Hanya saja, bola mata Alice langsung membelalak kala melihat sosok asing tembus pandang memandanginya. Wanita dengan gaun panjang yang menutupi kakinya, tetapi kalau ia lihat dengan saksama, Alice yakin wanita itu tak punya kaki. Dia melayang, gaunnya seperti terbuat dari daun-daun yang dijahit satu sama lain, dan di kepalanya terdapat akar-akar pohon membentuk mahkota. Sampai Alice kira wanita itu tak punya modal untuk membeli pakaian.

Rasa sakit di kepala sudah hilang, jadi Alice pun memutuskan untuk bangkit. Ia memosisikan tubuh untuk duduk dengan punggung bersandar di kepala brankar. Tirai-tirai putih yang menutupi brankarnya memberitahu gadis itu sedang berada di ruang kesehatan. Sebenarnya, Alice tidak takut pada arwah-arwah penunggu sekolah. Dalam kasus ini, wanita tembus pandang yang tengah menatapnya. Jadi, si gadis hanya memperhatikan sosok tersebut dengan penuh tanda tanya dan sedikit mengangkat dagu.

Mulut si sosok wanita tembus pandang bergerak-gerak seolah mengatakan sesuatu, tetapi tak ada suara apa pun yang keluar. Alice menanggapinya dengan kerlingan mata, lalu menatap meja nakas di samping brankar. Di atasnya terdapat segelas air, obat pereda sakit, dan kertas kecil berisi catatan. Diambilnya kertas tersebut, Alice bisa melihat tulisan sambung dengan tinta hitam tertulis rapi. Isinya hanya permintaan maaf dan harapan lekas sembuh dari Reene.

"Aaaaaliiiceee ...." Suara lembut itu berasal dari sosok wanita tembus pandang.

Tatkala Alice menoleh, si sosok wanita langsung melesat ke arahnya. Karena gerakan tiba-tiba, gadis itu jadi terkejut. Spontan, ia langsung memejamkan mata. Embusan angin terasa di kulit Alice, bahkan telinganya menangkap suara pelan seolah peringatan.

"Waktumu tinggal enam hari lagi."

Tunggu, enam hari? Apa maksudnya? pikir Alice.

Di saat gadis itu tengah menebak-nebak maksud ucapan si sosok wanita tembus pandang, tirai putih di depan brankarnya tersibak. Dari sana, muncul seorang pemuda yang sudah dihapal betul oleh Alice.

Sembari menyengir lebar, tangan Gilbert menggeser tirai sampai terbuka sepenuhnya. Setidaknya, Alice bisa melihat ruangan dari tempat ia duduk.

"Syukurlah kau sudah bangun," ujar Gilbert.

Mendadak saja tebakan tentang ucapan sosok wanita tembus pandang lenyap, digantikan dengan keterkejutan Alice. "Gilbert!"

"Reene bilang kau mendadak pingsan. Percayalah, dia itu heboh sekali sewaktu kembali ke kelas." Terdengar tawa pelan dari mulut si pemuda, membuat Alice pun turut terkikik. "Kau sudah sarapan, kan?"

Alice menatap Gilbert penuh tanda tanya. Setidaknya butuh beberapa menit untuk memahami pertanyaan sederhana si pemuda, mungkin efek baru sadar dari pingsan. Tubuh gadis itu bergerak perlahan, membiarkan kedua kakinya yang tanpa sepatu menjuntai ke bawah dari atas brankar.

"Sudah," jawab Alice akhirnya. Kepalanya menghadap sepatu hitam yang tergeletak di atas lantai, tak jauh darinya. Itu sepatu miliknya. "Jam berapa sekarang?"

"Jam dua belas." Seolah tahu apa yang ada di benak gadis itu, Gilbert lekas mengambil sepasang sepatu Alice. Kemudian, meletakannya tepat di bawah kaki gadis itu. "Kau melewatkan pelajaran Profesor Hatori."

"Haduh, sial," umpat Alice sambil memakai sepatunya.

Akan tetapi, kegiatan gadis itu terhenti. Mendadak penglihatannya berganti. Visinya itu bagaikan rekaman usang yang sudah sering diputar. Banyak adegan menjadi buram, kemudian adegan-adegan itu berubah menjadi terpotong-potong. Hanya beberapa adegan yang muncul dan bisa Alice lihat walau samar.

Penglihatan itu menampilkan Gilbert dengan kaus putih dan jaket cokelat yang bagian tangannya digulung hingga bawah siku. Di sana, Alice bisa melihat si pemuda memutar badan, berjalan membelakanginya sembari memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana hitam. Penglihatan yang ia dapatkan kali ini berbeda dari sebelumnya, sebab Alice bisa merasakan jika pergerakan Gilbert justru terasa menyakitkan. Padahal, pemuda itu hanya berjalan meninggalkan dia yang masih berdiri mematung.

"Alice?" Suara Gilbert memanggil kembali menyadarkan si gadis bermata biru.

Begitu ia mengerjap, semua berubah normal. Matanya kini hanya melihat tirai putih ruang kesehatan berdiri tinggi di hadapan. Sebelah sepatunya yang belum terpasang masih berada di tangannya, dan tangan Gilbert menyentuh pundak Alice.

"Oh, maaf." Alice kembali memasang sepatu seraya memikirkan alasan. Setelah selesai, kepalanya menoleh pada si pemuda. Sambil tersenyum, ia pun berkata, "Aku cuma teringat sesuatu."

~o0o~

Pipi Alice mengembung, disertai wajah yang tertekuk tak senang. Satu tangan menumpu dagu, sikunya diletakan di atas meja bundar dengan payung bertuliskan merek sponsor minuman teh. Netra biru itu berkali-kali memandang sebal pada dua manusia yang sedari tadi terus menempel seperti direkatkan oleh lem super lengket. Harus Alice akui, ini semua salah Reene yang selalu saja heboh. Jika seandainya sahabat penyihirnya itu tak berkata keras-keras soal mengunjungi festival di pantai sepulang sekolah, mungkin pemandangan di hadapannya tak seburuk yang ia kira.

Tentu saja wajah kusut Alice tak ditunjukkan ketika teman-temannya datang, demi menghargai ajakan Reene. Seperti saat ini, ketika si kembar Rayvis dan Reene datang membawa banyak camilan dengan suara kikikan menggelegar. Entah apa yang mereka tertawakan.

"Alice, kau harus mencoba ini. Kue basah dari Selatan Luxunia, dijamin kau pasti suka!" Reene menyodorkan sepotong kue berwarna hijau. Bentuknya kotak dan tampak mengilap. Jika dilihat dari tampilan luarnya yang polos, kue basah itu tidak menarik.

Demi memperbaiki mood yang tidak stabil, Alice pikir memakan kue basah bisa membuatnya lupa sejenak soal dua manusia yang tampak lengket. Meski gadis itu yakin seratus persen si perempuanlah yang sebenarnya sengaja menempeli terus pemuda berambut cokelat. Kala kue basah tersebut digigit, Alice bisa merasakan dalamnya yang manis. Rupanya, walau tak menarik dari luar, di dalam kue basah itu terdapat parutan kelapa dicampur gula merah cair. Bahkan, rasa kulit luarnya pun terasa sedikit asin, dan aroma pandan menguar.

"Oh iya, sehabis makan itu, temani aku ke sana," kata Reene sembari menunjuk tenda putih yang di depannya banyak hiasan bintang, bulan, planet, dan papan-papan dengan tulisan kapur warna-warni. "Siapa tahu kau mau diramal."

"Diramal?" gumam Alice. Tiba-tiba ia teringat ucapan si sosok wanita tembus pandang. Mungkin, kalau ia meminta jasa penyihir astrum, ia bisa tahu maksud si sosok wanita tembus pandang.

Dengan cepat gadis itu menghabiskan kue basah, lalu berdiri. "Sekarang saja."

"Heh? Tumben semangat sekali?" sahut Reene.

Tanpa berlama-lama, keduanya langsung berjalan menuju tenda yang dimaksud. Sejenak, kedua gadis itu berdiri menatap papan yang bertuliskan kapur. Kepala mereka saling memandang seolah melayangkan pertanyaan hanya melalui mata mereka. Melihat tarif yang ramah di kantung, khususnya kantung pelajar, baik Alice maupun Reene akhirnya mengangguk bersamaan sebelum masuk ke dalam.

Aroma dupa yang menyengat diikuti musk yang agak menusuk hidung Alice—sebab gadis itu tak menyukai aroma muskmenyambut mereka. Isi dalam tenda tak terlalu mewah, tetapi lebih terkesan berantakan dengan berbagai macam barang khas peramal berserakan di mana-mana. Seorang wanita dengan rambut jingga duduk di antara barang-barang tersebut. Di depannya ada meja persegi panjang lengkap dengan bola kristal, kotak kayu, kartu tarot yang disusun rapi, dan sepiring kecil berisi kue cokelat. Wanita itu tampaknya tengah asyik memainkan benda pipih yang diujungnya bertekstur seperi kristal. Layar benda itu menampilkan sebuah drama yang saat ini sedang trending di Luxunia.

Reene berdeham keras, berusaha menarik atensi si peramal. Namun, usahanya gagal karena daya pikat drama terkenal lebih menggoda ketimbang pengunjung. Tak mau menyerah, gadis dengan surai pirang lantas berkata, "Apa kau buka hari ini?"

Si wanita terkejut, cepat-cepat ia menyentuh layar gawai untuk menghentikan sementara drama yang sedang ia tonton. "Maafkan aku, drama Evergrande benar-benar bikin ketagihan."

"Seperti makanan yang bisa membuat siapa saja candu," bisik Alice pada Reene. Sahabatnya itu mengangguk setuju.

"Kalau begitu, silakan duduk yang nyaman dan pilihlah teknik ramalan yang ingin kalian gunakan. Saat ini aku hanya membuka opsi lewat kartu tarot, bola kristal, tulang permata, dan membaca garis tangan. Pilihlah," ujar peramal tersebut sambil tersenyum ramah.

"Kartu tarot sepertinya seru," imbuh Reene. "Kau dulu saja yang pilih."

Alice mengernyit tak senang. Bibirnya membentuk garis tipis diikuti embusan napas keras. Akhirnya, gadis dengan iris biru itu duduk di hadapan si peramal. Telunjuk kanannya bergerak ke arah bola kristal yang di dalamnya terdapat asap kelabu tebal, berputar searah jarum jam secara perlahan. "Ini saja."

"Baiklah, aku akan meramalmu melalui bola kristal. Apa yang ingin kau ketahui? Tapi ingat, jawabanku tidak bisa spesifik, dan kau harus mengajukan pertanyaan yang jawabannya iya atau tidak. Bisa juga jawabannya mungkin saja," jelas peramal wanita.

Alice mengangguk. Ditariknya napas dalam-dalam sebelum berucap, "Enam hari lagi apakah akan menjadi hari buruk untukku?"

Setelah mendengar pertanyaan Alice, si peramal pun mulai melakukan tugasnya. Kedua tangan diletakan di atas bola kristal. Asap di dalam bola kristal berubah warna menjadi magenta, lalu hijau cerah, biru, dan terakhir ungu. Kelopak mata terpejam, kerutan di dahi si wanita peramal membuat Alice jadi tak nyaman. Detak jantungnya berdegup cepat, seolah-olah drum yang ditabuh sebelum perang dimulai. Ia penasaran, hanya itu. Akan tetapi, rasa penasarannya ini cukup membuat hatinya gelisah.

Tak berselang lama, si peramal membuka mata. Sorotnya dipenuhi oleh keterkejutan, diikuti iba. Netra biru Alice bersirobok dengan iris si peramal. Kemudian, bibir wanita wanita itu terbuka, mengucapkan apa pun yang ingin ia ketahui.

"Ada urusan yang seharusnya kau selesaikan, bukan?"

"Hah? A-apa?"

Peramal itu kembali menatap bola kristal, ekspresi wajahnya tampak menyesal. "Maaf, tapi aku tak bisa melihat apa pun selain hitam pekat."

~o0o~

Kira-kira, urusan apa yang harus diselesaikan Alice?

Dan apa yang bakal terjadi enam hari lagi? Alice ditolak atau malah ditembak orang lain? Muehehehe.

Oh iya, jangan lupa untuk tinggalkan jejak berupa vote atau komentar, ya. Setidaknya, hal itu membuat saya bersemangat (. ❛ ᴗ ❛.)

Sampai jumpa Jumat depan.
Jaa matane~

Sukabumi, 4 Maret 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top