BAB I
Suara keramaian stasiun di Senin pagi, tidak serta merta membuat suara bersin Alice terendam. Beberapa orang yang melewati gadis dengan surai cokelat menatap dengan berbagai ekspresi. Sebal, tidak suka, bahkan kasihan. Akan tetapi, tatapan itu tak dihiraukan oleh si gadis, sebab ia sudah biasa seperti ini. Hampir setiap pagi bersinnya kambuh, lalu muncul ruam kemerahan di kulit. Namun, penyakit itu sembuh sendiri ketika matahari sudah mulai meninggi, dan akan terulang lagi besok paginya.
Sambil bersandar di dinding dekat gate menuju peron dua, Alice menjejalkan tisu ke dalam hidung guna mencegah cairan bening nan lengket keluar. Dengan gerakan perlahan, ia juga menundukkan kepala. Matanya sudah berair akibat bersin yang tak kunjung berhenti. Setelah yakin tak ada tanda-tanda akan bersin, gadis itu lekas memakai masker putih dari balik saku jaketnya. Hendak saja berjalan menuju gate, tiba-tiba langkahnya terhenti saat sadar hidungnya gatal lagi, ditambah lubang hidung sebelah kiri tersumbat.
"Zamrud!" Seorang pemuda dengan langkah enteng, menepuk pundak Alice yang hendak bersin. Namun, sepertinya ia tidak jadi bersin. "Hmm, sepertinya alergimu kambuh lagi."
Alice menoleh seraya mengangguk pelan. "Argh, aku benar-benar tidak tahan. Sepertinya pagi membenciku, Gilbert."
Gilbert yang mendengarnya lekas tertawa, diikuti dengkusan sebal dari gadis berambut cokelat di hadapannya. "Tunggu di sini, aku akan segera kembali."
Tanpa menunggu jawaban dari Alice, lelaki dengan seragam sekolah yang sama seperti si gadis berjalan menuju sebuah toko di dalam stasiun. Netra sebiru langit tersebut memperhatikan gerak-gerik Gilbert, tentu saja dengan ekspresi penasaran yang tersembunyi di balik masker. Tak sampai 15 menit, pemuda itu kembali lagi dengan gelas karton yang isinya terasa hangat di tangan Alice.
"Apa ini?" tanya Alice sambil berjalan melewati gate bersama si pemuda.
Gilbert tersenyum kecil. "Hanya minuman hangat. Bukannya kau butuh kehangatan supaya tidak bersin lagi?"
Perkataan itu sontak membuat Alice tertawa terbahak, meski sebenarnya Gilbert tidak mengerti bagian mana yang lucu. Namun, melihat reaksi gadis di sebelahnya membuat ia tersenyum geli. "Humormu memang payah, ya."
Alice menyenggol Gilbert seraya mengerlingkan mata. Sementara itu, si pemuda hanya tertawa pelan sebelum berjalan ke arah bangku yang masih kosong. Tangannya bergerak menepuk sisi samping yang tak diduduki, bermaksud mengajak Alice untuk duduk. Ketika keduanya duduk di sana, sama-sama memperhatikan rel kereta dan orang-orang lalu lalang di depannya, tiba-tiba suara obrolan dari samping Gilbert menyita perhatian Alice yang sedang membuka masker. Sambil menikmati minuman hangat, ujung matanya menangkap dua orang wanita yang asyik menggobrol sambil menunjuk benda pipih dengan kedua ujungnya yang berkilauan. Diam-diam, Alice mendengarkan pembicaraan.
"Menakutkan sekali, untung saja kemarin kita tidak jadi ke mall."
"Iya, kalau tidak ... bisa saja kita ikut jadi korban."
"Penyihir gila itu tidak ada kapoknya, sekarang ia masih jadi buronan dan entah tempat apa lagi yang akan jadi incarannya."
Dengan cepat, tangan gadis dengan netra sebiru langit bergerak mengeluarkan benda pipih dari balik saku rok. Satu tangannya yang lain memegang gelas karton yang isinya sudah setengah. Dengan lincah, jemari Alice menyentuh fitur-fitur yang muncul dari layar transparan benda pipih tersebut. Maksud hati mencari berita lewat koran virtual. Matanya membesar kala membaca headline koran virtual, persis seperti yang dikatakan dua wanita asing di samping Gilbert.
PENYERANGAN SIHIR DI PUSAT PERBELANJAAN LUXUNIA HALL MEMAKAN KORBAN 17 ORANG, PELAKU MASIH DALAM INCARAN.
Karena rasa penasaran, Alice membaca berita itu sampai tuntas, hingga dirinya tidak sadar kereta telah tiba. Kalau bukan Gilbert yang menepuknya, gadis itu bisa saja ketinggalan kereta. Dengan gerakan terburu-buru, Alice memasukkan kembali benda pipih tersebut dan membuang gelas karton yang isinya sudah kosong. Kakinya pun melangkah lebar-lebar untuk masuk ke dalam gerbong.
Mata si gadis tak bisa menemukan kursi kosong, alhasil ia memutuskan berdiri di samping Gilbert. Menghadap jendela kereta, memandang kota dari sana menjadi kesukaan Alice, walau harus ia akui lebih nyaman jika sembari duduk.
Setelah pintu gerbong tertutup dan kereta mulai melaju, Gilbert menoleh pada Alice. Iris cokelatnya memperhatikan wajah gadis itu dari samping, sebelum akhirnya membuka mulut. "Sebentar lagi festival keberkahan bukan?"
"Ahh, iya juga," jawab Alice seraya bergerak menghadap si pemuda. "Tapi sayang sekali kita tidak ada libur. Padahal aku ingin menikmati festival. Teman-teman kita juga mengeluh, katanya kita harusnya dapat jatah libur seminggu sebelum hari puncak Bulan Berkah Sabtu nanti. Ahh, aku tidak semangat sekali."
"Kau ini maunya libur terus," sahut Gilbert sambil menyentil pelan kening Alice. Alhasil, gadis itu mengaduh sembari mengusap dahinya.
"Liburlah sebelum kau tidak bisa libur," ujar Alice dengan senyuman jahil.
Gadis itu lantas menjauhkan kepalanya bermaksud menghindari sentilan kedua dari si pemuda, tetapi reaksi Gilbert justru membuat Alice terkejut. Lelaki itu terdiam, matanya terpejam seolah menahan rasa sakit yang menghantam kepala. Namun, hal itu hanya berlalu selama belasan detik.
"Gilbert?"
Saat temannya itu menoleh, tiba-tiba kereta berguncang. Suara ledakan yang tidak terlalu keras tertangkap telinga mereka, dan semua penumpang di gerbong tersebut langsung menoleh ke arah sumber suara. Beberapa bahkan menatap jendela, mencari tahu yang terjadi di luar kereta. Akan tetapi, mereka tidak mendapatkan hasil apa pun. Tak ada kejadian aneh di luar kereta. Semua tampak baik-baik saja, setidaknya sampai suara riuh membuat panik seisi gerbong. Orang-orang dari gerbong belakang berlarian menuju gerbong depan. Mereka berteriak menyuruh semua orang untuk meninggalkan gerbong.
"Zamrud!" Gilbert dengan cepat langsung menarik tangan Alice. Ia tahu suara tadi menandakan ada yang tidak beres. Dengan langkah cepat mengikuti arus orang-orang tersebut berlari, Gilbert mengeratkan pegangan tangannya.
"Apa yang terjadi?" tanya Alice kebingungan.
"Aku tidak tahu, tapi sepertinya suara boom tadi berasal dari kereta." Kaki Gilbert berhenti ketika penumpang lain bergantian untuk masuk ke gerbong selanjutnya. Mata cokelat si pemuda melihat ke luar jendela kereta. "Setidaknya kita lebih dekat ke stasiun berikutnya. Tetap bersamaku, Zamrud. Jangan lepaskan tanganku."
Alice mengangguk. Di situasi panik ini, ia masih sempat-sempatnya tersenyum, meskipun mati-matian menahannya. Gadis itupun mempererat genggaman mereka, sekaligus bersiap untuk ambil giliran masuk ke dalam gerbong berikutnya. Sambil terus mengekori Gilbert yang sudah duluan masuk ke gerbong depan, iris biru langit Alice menatap jendela kereta. Mereka berhasil memasuki stasiun berikutnya. Tepat setelah kereta berhenti dan orang-orang di peron memasang ekspresi panik juga ketakutan, pintu gerbong terbuka otomatis. Semua orang dalam kereta berhamburan keluar menyelamatkan diri.
Jendela gerbong paling belakang, jarak dua gerbong dari tempat Alice dan Gilbert berada sebelumnya, hancur berserakan disertai kabut ungu yang lama-lama berubah menjadi percikan api, membakar kursi penumpang. Entah apa yang sebenarnya menyebabkan hal itu terjadi, dua siswa yang baru saja turun, menyaksikan pemandangan di depannya dengan ekspresi terkejut dan takut.
"Oh, shit."
✧✧✧
Thank you for reading this chapter. Jangan lupa untuk tinggalkan jejak berupa vote atau komentar.
Oh iya, bagaimana chapter ini?
Oh, nyaris lupa. Akhirnya saya memutuskan untuk update seminggu sekali. Chapter baru akan tersedia setiap Jumat, ya~
See you next week.
Indonesia, 18 Februari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top