Bab 54 - Kehilangan Jejak

Bagian Lima Puluh Empat

"Kita dapat surat penggeledahannya," ujar Jeremy yang baru kembali dari ruang atasannya sambil membawa sepucuk surat penggeledahan. Arthur dan Bima memang menunggu Jeremy di kantornya setelah tadi Bima meminta anak buahnya untuk mengantarkan seluruh bukti yang dimilikinya.

"Ayo bergerak sekarang," ujar Arthur yang sudah tidak sabar lagi. Arthur, Bima, Jeremy dan beberapa orang anggota polisi lainnya langsung meluncur ke rumah yang digunakan Lola untuk menyekap Malika.

Saat mereka sampai di sana, kondisi rumah terlihat sangat sepi seperti mana tadi saat Arthur dan Bima melihat ke sana. Beberapa kali Jeremy mengetuk pintu rumah tetapi tidak ada jawaban, salam yang mereka lontarkan juga tak terjawab. Beberapa kali Arthur menekan bel yang terletak di dekat pintu rumah. Rumah tersebut terlihat sangat sepi tidak berpenghuni.

Jeremy sigap mengeluarkan walky talky miliknya dan berbicara pada benda itu menanyakan dimana keberadaan Lola saat itu. "Ibu Lola saat ini masih berada di kantornya," jawab seseorang yang berada di ujung walky talky.

"Kita meluncur bertemu Lola terlebih dahulu, rumah ini tidak ada orang. Kita tidak bisa masuk secara paksa," ujar Jeremy sambil memandangi bagian atas rumah bertingkat tersebut.

Mau tidak mau Arthur dan Bima menyetujui usul Jeremy, tetapi mereka lebih memilih menunggu Jeremy di sana. Beberapa anggota kepolisian juga terlihat berjaga di sekitar rumah tersebut. "Entah kenapa perasaanku tidak enak, seperti kita tidak akan menemukan Malika di dalam," ujar Arthur kepada Bima yang berdiri di sampingnya. Mereka bersender pada kap mobil yang menghadap kea rah rumah besar dengan patung dewi tersebut.

"Aku juga merasa seperti itu, tidak mungkin Lola meninggalkan tawanannya sendirian saja di dalam sana. Dia pasti menyewa seseorang untuk menjaga tawanannya," setuju Bima dengan perkataan Arthur. "Melihat keadaan rumah yang seperti ini aku yakin Malika sudah tidak berada di sini lagi," tambah Bima lagi.

Arthur pun terlihat sangat frustasi jika memang Malika tidak berada di sana, dia melangkah ke depan hingga matanya tidak sengaja melihat sebuah benda yang berkilauan. Benda yang sangat dikenal oleh Arthur. Arthur memungut benda tersebut dan kemudia berseru, "ini gelang kaki Malika!"

Bima yang mendengar Arthur berseru langsung mendekati Arthur dan ikut melihat sebuah gelang kaki ditangan Arthur. "Kamu yakin itu milik Malika?" tanya Bima memastikan hal tersebut.

"Aku sangat yakin Bim! Gelang ini aku sendiri yang memberikannya kepada Malika," jelas Arthur dengan sangat yakin. Wajah tampan Arthur seketika berubah gelap, karena dengan bukti gelang kaki itu dugaan mereka benar jika Malika disekap di dalam sana. "Tadi saat kita kemari gelang ini belum ada, kamu ingatkan Bima tadi aku sempat berdiri di sini beberapa saat," lanjut Arthur lagi.

"Kemungkinan besar gelang ini terjatuh pada rentan waktu kita di kantor Jeremy," asumsi Bima yang juga mulai memperhatikan jalan di depan rumah terdapat beberapa helai rambut rontok. "Penculik apa yang membawa tawanannya dengan memakir mobil di luar pagar seperti ini," komentar Bima seperti meremehkan cara si penculik membawa Malika.

"Karena Lola berada di kantor sudah pasti orang suruhan Lola ini bertindak sendiri," ucap Arthur yang terlihat sangat geram dipermainkan seperti itu. Wajah Arthur terlihat sangat marah, rasa cemasnya terhadap kondisi Malika juga bertambah berkali-kali lipat.

Sekitar setengah jam kemudia Jeremy kembali bersama dengan Lola, "aku tidak tahu rumah ini," kilah Lola saat keluar dari mobil.

"Kamu bisa jelaskan itu nanti, sekarang buka pintu rumahnya. Kami punya surat penggeledahan yang sah," Jeremy memperlihatkan secarik kertas kepada Lola yang terlihat sangat cemas.

Lola memang tidak tahu jika tawanannya telah dibawa kabur oleh Lukas, dia juga tidak tahu bahwa Lukas sudah menyiapkan jebakan untuk Lola masuk ke dalam jeruji besi. Tangan Lola bergetar saat membaca surat penggeledahan tersebut. Bibirnya kelu saat membaca bahwa pihak berwajib juga menerangkan bahwa rumah tersebut asset miliknya.

Perasaan cemas dan takut mendera Lola lebih dalam lagi saat melihat Arthur dan Bima berada di sana. Dengan berat hati akhirnya Lola membuka pintu rumahnya tersebut, dia juga sebenarnya heran kemana perginya Lukas yang dimintai untuk menjaga Malika. Lola sudah tidak mungkin lagi menghindar atau kabur, dia tidak membawa senjata apapun untuk melawan.

Beberapa anggota polisi mulai menggeledah rumah Lola, sedangkan Arthur menatap Lola nyalang, "dimana Malika?" tanya Arthur dengan nada yang penuh penakan.

"Kenapa kamu menanyakan Malika padaku?" Lola membuang tatapan matanya tidak ingin melihat Arthur. Itu adalah cirri-ciri Lola berbohong.

"Jangan berbohong," desis Arthur marah. Saat Arthur akan kembali membuka suaranya terdengar seru-seruan polisi dari arah bawah tangga.

Arthur langsung berlari untuk melihat, sedangkan Bima mencekal lengan Lola saat melihat Lola akan mengambil ancang-acang untuk kabur atau bergerak dari tempatnya. "Tamat riwayatmu, jadi katakana dimana Malika," ujar Bima dengan suaranya yang dalam dan sangat-sangat menekankan setiap katanya.

"Aku tidak tahu," Lola mencoba melepaskan cekalan tangan Bima di sikunya. Tetapi sayang tenaga Bima sangatlah kuat dan bukan tandingan Lola.

"Jangan main-main jawab saja, aku tahu kamu pembunuh Sindy," tutur Bima dengan tatapannya yang semakin memicing. Lola menatap Bima marah, dia merasa terpojokkan oleh Bima tetapi tetap tidak mau mengatakan yang sebenarnya.

"Aku tidak tahu dimana Malika, lagi pula kalian tidak akan menemukan Malika dengan menangkapku. Aku tidak akan membuka suara untuk hal itu," senyum sinis Lola terbit, dia seolah-olah mengibarkan bendera perang kepada Bima.

Merasa tersulut emosi, Bima mengencangkan cekalannya di tangan Lola sehingga menimbulkang ringisan kecil Lola. "Aku bisa membuatmu membusuk di penjara atau dihukum mati sekali pun, ingat kata-kataku ini. Jika aku tahu kamu sengaja menyembunyikan Malika aku yang akan mewujudkan semua kata-kata ini," ancam Bima penuh emosi.

Tidak beberapa lama datang Jeremy menghampiri Lola dan dengan sigap langsung memborgol kedua tangan Lola. "Apa-apaan ini!" teriak Lola tidak terima.

"Anda bisa membicarakan semuanya nanti di kantor," ujar Jeremy langsung dan membawa Lola. Mata Lola menangkap polisi laptop dan sejumlah DVD yang berisi tindak kejahatannya. Beberapa foto mayat yang diambilnya atau yang dijadikan koleksinya dibawa semua oleh polisi, salah satu di antaranya terdapat foto Sindy yang terkapar.

Arthur menghampiri Bima dengan wajah kecewa, "kita harus menunggu penyelidikkan polisi dan Lola akan buka mulut," ujar Arthur yang terlihat sangat marah dan semakin cemas. Bima juga melihat ada luka di kepalan tangan Arthur.

Belum sempat Bima mengeluarkan suaranya Arthur sudah berjalan keluar menyusul Jeremy yang membawa Lola. "Aku tahu ini milik Malika, kamu menculiknya!" teriak Arthur keluar dari jalur kendalinya. "KATAKAN DIMANA MALIKA!" emosi Arthur sangat naik.

Bima yang menyusul mencoba menarik Arthur yang siap akan menerkam Lola dan menghajar perempuan gila itu, "tenangkan dirimu Arthur!" Bima menarik paksa Arthur dan mencoba menenangkan sahabatnya itu.

"Arthur tenanglah kami akan membantu untuk mencari keberadaan Malika," tukas Jeremy sebelum berlalu dari hadapan Arthur dan Bima sambil membawa Lola masuk ke dalam mobil polisi.

Perasaan Arthur hancur, dia kurang cepat alis terlalu lambat untuk menemukan istri tercintanya itu. Air mata bahkan mengalir dari matanya, rasa frustasi karena dipermainkan membuat Arthur kelewat emosi. Dia sebenarnya orang yang dapat mengontrol emosi, tetapi sekarang semua itu hanya teori saja. Dia hanya ingin segera menemukan Malika, menyelamatkan Malika.

Sementara itu, Malika telah sampai di tempatnya yang baru. Matanya terbelalak lebar saat melihat ruangan tempat dia di sekap dindingnya penuh dengan berbagai macam potret fotonya. Rasa takut menjalar ke sekujur tubuhnya, tiba-tiba perkataan Lukas sebelumnya terngiang-ngiang di dalam kepalanya. Saat Lukas mengatakan dia akan menghabisi Arthur.

Posisi Malika kali ini masih sama, terduduk di kursi dengan tubuh terikat dan mulut tertutup lakban hitam. Kondisi ruangan yang tidak berjendela membuat kondisi ruangan panas dan pengap. Belum lagi oksigen yang tersedia tidak terlalu banyak karena siklus pertukaran udara yang tidak bagus.

Tak! Tak! Tak!

Malika berusaha membuat gerakan maju sehingga menimbulkan bunyi peraduan atara kaki kursi dan lantai ubin. Badannya bergerak-gerak tetapi tak berhasil, ikatan tali begitu kuat dan rapat, terlalu susah untuk bergerak. "Hmmm," erangan menahan sakit terlontar dari bibir tertutup lakban itu. Permukaan tali tambang yang kasar dan bergesekkan langsung dengan kulit tangan Malika menimbulkan lecet-lecet pada kulit Malika.

"Jangan banyak bergerak begitu dong cantik," tiba-tiba Lukas muncul di ambang pintu sambil menonton Malika yang berusaha melepaskan diri.

Malika menatap Lukas marah, dia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dirinya tidak berdaya untuk melawan, dia takut Lukas akan melakukan hal buruk terlebih lagi sampai membahayakan nyawa Arthur. Jika bisa dia rela menukar nyawanya salkan Arthur selamat, asalkan suaminya itu bisa hidup lebih lama dan tidak mati mengenaskan.

"Kamu bisa melukai diri kamu sendiri jika bergerak-gerak seperti itu," kata Lukas yang berjalan menghampiri Malika, ekspresi wajahnya terlihat khawatir namun menyeramkan di mata Malika.

Malika tiba-tiba berhenti bergerak, badannya langsung kaku saat Lukas semakin dekat dengannya. Aura Lukas terlihat sangat dingin untuk Malika, serta pancaran matanya Lukas yang lebih terlihat kaku dibanding lembut menambah ketakutan Malika akan sosok Lukas. Apa lagi saat dengan suara rendahnya Lukas berkata, "kamu mau sekarang aku lenyapkan suami kamu itu?"

Refleks Malika menggelengkan kepalanya, dia tidak ingin terjadi apa-apa dengan Arthur. Hawa ketakutan langsung menyergap Malika lebih dalam lagi, perasaannya tidak karu-karuan saat membayangkan apa yang mungkin akan dilakukan Lukas. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Malika. Mengaburkan pandangannya, siap meluncur turun dalam satu kedipan.

Air mata itu meluncur turun menganak suangai di pipi mulus Malika, isakan-isakan tertahan Malika mulai terdengar. Walaupun teredam oleh lakban yang menutup mulut Malika, akan tetapi Lukas masih dapat mendengar isak tangis itu dengan jelas. Malika larut dalam ketakutan dan kekhawatiran sama seperti apa yang sedang Arthur rasakan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top