Bab 42 - Tragis
Bagian Empat Puluh Dua
Jika sebelumnya Arthur didatangi oleh Lola, kali ini wanita itu mendatangai Malika di tokonya. Dia datang dengan raut wajah menantang dan penuh kekejaman, "hallo Malika Kamilah, ups salah Malika Sujatmiko ya sekarang," sapa Lola dengan senyum sinisnya.
"Anda Lola bukan? Ada perlu apa ya?" tanya Malika yang terdengar ramah dan tidak terpengaruh oleh sudutan Lola tadi.
"Hanya ingin mampir dan menyapa Nyonya Sujatmiko saja," sahut Lola santai, dia bahkan sudah duduk di kursi yang tersedia di dalam toko.
Malika yang mulai merasa risih dengan sikap Lola hanya diam saja sambil menatap Lola heran, karena menurut Malika dia dan Lola sebelumnya tidak saling akrab. Alena yang baru kembali dari luar bingung melihat keberadaan Lola, dari dulu Alena memang tidak meyukai Lola. Terlebih sekarang, saat Lola terlihat berusaha merebut Arthur dari Malika.
"Mau apa kamu kemari?" tanya Alena ketus kepada Lola.
"Wah ada calon adik ipar tersayang, jangan galak-galak dong dengan kakak ipar," ucap Lola sambil tertawa kecil.
"Dasar medusa," cibir Alena. "Jangan coba-coba untuk menggangguk Mbak Malika!" hardik Alena.
Lola hanya tersenyum santai saja menjawab hardikan Alena itu, baginya Alena hanyalah serangga biasa yang mudah dibasmi. "Aku kemari hanya ingin memperingati Malika untuk melepaskan Arthur," ujar Lola santai.
"Sampai kapan pun aku tidak akan melepaskan Arthur!" geram Malika yang mulai terpancing emosi.
"Kamu cukup berani juga ternyata," Lola berdiri dan mendekat ke arah Malika dan Alena. "Aku akan mengambil apa yang harusnya menjadi milikku," ucap Lola tepat di depan Malika dan Alena.
Alena yang merasa muak dengan Lola akhirnya mencekal lengan Lola, "jangan mimpi kamu, sebaiknya kamu segera pergi dari sini," peringat Alena dengan pandangannya yang menusuk menatap Lola.
"Anak kecil berani sekali kamu," Lola melepaskan tangannya dari cekalan Alena. Matanya membalas tatapan tajam Alena. "Kalian akan menyesal berurusan denganku," ujar Lola sebelum dia berlalu dari hadapan Malika dan Alena.
Kejadian itu sama sekali tidak diketahui Arthur, kejadian dimana Lola mengampiri Malika dan mengancamnya. Malika sendiri tidak ingin Arthur mengetahuinya dan membuat keadaan menjadi rumit. Mereka baru saja menikah dan Malika tidak ingin merusak momen awal-awal pernikahan itu.
Hari minggu menjadi hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh Arthur, karena hanya di hari Minggu Arthur bebas berduaan dengan Malika. di hari Sabtu pun terkadang Arthur sudah punya janji rapat. Maka dari itu, hari minggu adalah hari quality time untuk Arthur dan Malika.
Seperti siang ini, Arthur dan Malika sedang movie maratoon bersama di ruang keluarga. Tiba-tiba saja Alen keluar dari kamarnya dengan membawa ransel dan pakaiannya sudah rapi. Alena terlihat akan pergi keluar untuk menginap di suatu tempat dengan tas ransel yang dibawanya.
"Kamu mau kemana?" tanya Arthur yang masih pada posisinya yaitu merangkul Malika.
"Aku mau nginap di Bandung ada acara reuni, boleh ya Kak?" ujar Alena meminta izin.
"Diantar Agung ya, jangan nginep emang acaranya kapan?" Arthur memperhatikan Alena yang terlihat masih sedikit pucat.
"Acaranya besok pagi Kak, kalau gak nginep susah dong Kak. Mas Agung antar ke rumah Momoy saja. Aku bareng Momoy temen sekolahku dulu kok," jelas Alena.
"Lebih baik ke Bandungnya diantar sama Agung saja Na," ujar Malika yang setuju dengan perkataan Arthur tadi.
"Aku udah janjian sama Momoy mau berangkat bareng Mbak," Alena mengeluarkan jurus memelasnya.
"Diantara Agung saja, nanti pulangnya baru bareng Momoy," tegas Arthur dan dia tidak terima penolakan. Alena pun hanya pasrah dan masuk ke dalam kamarnya dengan wajah cemberut. "Berangkat nanti malam saja sekarang masih siang," kata Arthur lagi yang masih dapat didengar oleh Alena.
Sementara itu Lola sedang duduk di sebuah cafe bersama seorang laki-laki mencurigakan, "bereskan dia segera, jangan sampai ada yang mengetahui pekerjaanmu itu," perintah Lola pada laki-laki itu.
"Jangan ragukan aku, karena aku pasti akan membumihanguskan mereka," ada senyum misterius yang tersungging di bibir laki-laki itu.
Lola tersenyum puas mendengar perkataan orang suruhannya itu, "kita lihat saja, sebentar lagi Arthur pasti akan menjadi milikku."
Dendam dan rasa ingin bahagia menguasai mereka , mungkin akan ada pertumpahan darah yang akan terjadi lagi. Akan ada percikkan darah yang menjadi noda dalam sebuah hubungan. Akan ada rasa marah yang berkorbar selama napas masih bernapas.
Tadi malam Alena telah sanpai di villa yang disewa panitia acara reuni. Pagi ini Alena mengikuti acara reuni dengan hati yang sedikit gelisah, pikirannya melayang akan Malika. Rasa takut Malika akan diapa-apakan oleh Lola menyergap hati Alena, "mudah-mudahan Mbak Malika baik-baik saja," gumam Alena.
"Alena! Ayo kita sarapan dulu!" seru Momoy dan mendekati Alena, lalu mengajaknya untuk turun ke ruang makan.
Suasana ruang makan sudah ramai oleh teman-teman Alena yang ikut menginap di villa, "wah Alena sudah lama kita tidak bertemu," sapa seorang teman perempuan Alena.
Alena hanya menjawabnya dengan senyum saja, sejujurnya dia sedikit canggung dalam acara reuni. Jika bukan karena Momoy yang memaksa dia mungkin tidak akan pergi. "Ayo kita sarapan dulu Alena," ajak Momoy dan menuntun Alena duduk di kursi yang kosong.
"Alena aku sudah dengar soal Papamu," singgung teman Alena lainnya.
"Aku turut prihatin Alena, kamu pasti sangat menderita selama ini," sambung teman Alena yang lainnya.
Mendengar perkataan teman-temannya itu, Alena hanya dapat menundukkan kepalanya. Terlalu susah untuk berkata dan terlalu susah untuk menyanggah. Siapa yang tahu bahwa tekanan yang dia terima akan tetap ada walaupun kejahatan ayahnya telah berakhir. Rasa sedih karena dikasihani pasti selalu ada.
"Sudah-sudah jangan dibahas lagi, yang terpenting Alena sekarang ada di anatara kita," Momoy menengahi suasan yang mulai canggung itu.
"Ayo semua kita sarpan!" seru teman Alena yang lain mencairkan suasana.
Sementara itu, Malika dan Arthur menjalani rutinitas mereka masing-masing. Arthur yang sibuk dengan pekerjaan kantornya dan Malika yang sibuk dengan tokonya. Baru-baru ini Malika merekrut beberapa tenaga kerja sehingga dia terlihat sibuk mengajari karyawan barunya itu.
"Mbak itu di depan ada yang nyari," seorang karyawan Malika memanggil Malika yang sedang memberikan arahan.
"Kalian lanjutkan dulu ya," Malika menghampiri tamu yang terlihat menunggunya di depan. "Mau apa kamu kemari?" tanya Malika ketus saat melihat siapa tamu yang menunggunya.
"Aku hanya ingin menitipkan undangan reuni untuk Arthur, aku benar-benar dilarang menginjakkan kaki di kantornya," Lola mengulurkan sebuah undangan ke arah Malika.
"Kamu bisa meninggalkannya di pos satpam kantor Arthur bukan?" Malika Merai undangan tersebut dan menatap nama yang tertera di undangan itu. Malika langsung menatap Lola, dia berusaha untuk tidak terprovokasi, tetapi tetap saja hatinya sakit. Di undangan tersebut tertera nama Arthur dan Lola.
"Aku dan Arthur memang terkenal sebagai pasangan fenomenal saat berkuliah," ujar Lola penuh dengan kata-kata yang terlihat sinis.
"Dulu dan sekarang itu beda, dulu hanya lah bagian dari memory tetapi sekarang adalah bagian dari masa depan," sindir Malika.
"Kamu bisa berkata seperti itu sekarang, ingat masa lalu punya andil besar untuk penentuan masa depan," balas Lola yang tidak mau kalah berdebat.
"Kamu benar, coba lihat karena kamu masa lalu maka aku bisa menjadi masa depan," senyum penuh kemenangan tersungging di bibir Malika. Lola tidak dapat berkata-kata lagi, Malika terlalu pandai dalam memainkan kata-kata.
"Jangan senang karena kamu pintar berkata, ingat pertarungan ini bukan tentang kata-kata tetapi tentang siapa yang akan mendapatkan Arthur," geram Lola yang emosinya mulai naik.
"Kita tidak sedang bertarung Lola, terima lah kenyataan bahwa Arthur suamiku," Malika sedikit menekan kata suamiku.
"Aku tidak akan menyerah, aku pasti bisa merubah masa depan Arthur bersamaku," sanggah Lola tetap tidak mau menyerah begitu saja.
"Coba saja kalau kamu bisa merubah takdir," Malika justru menantang Lola yang sedang dalam mode darah tinggi.
Kembali ke Bandung tempat dimana Alena menginap bersama teman-temannya. Alena hanya mengikuti kegiatan dengan lesu, rasanya tubuhnya lemas dan kelopak matanya terasa berat semenjak selesai sarapan beberapa menit yang lalu. Alena bahkan tidak bisa fokus mengikuti permainan curhat bersama yang sedang berlangsung.
"Alena kamu kenapa?" tanya Momoy khawatir saat melihat Alena menyandarkan kepalanya pada sofa.
"Aku mau istirahat dulu deh Moy," kata Alena menjawab pertanyaan Momoy.
"Ya sudah ayo aku antar kamu ke kamar," tawar Momoy dan membantu Alena berdiri dan memapahnya menuju kamar.
Begitu bertemu dengan kasur Alena langsung memejamkan matanya, napasnya juga terdengar teratur. Seolah paham, Momoy membenarkan posisi tidur Alena agar nyaman. Momoy membiarkan Alena beristirahat dan meninggalkannya sendirian lalu kembali ke tempat teman-temannya berada.
Selama hampir dua jam Alena masih tetap berada di dalam kamar, Momoy dan teman-temannya yang lain masih sibuk bercengkrama di ruang keluarga. Saat jam makan siang, Momoy berniat membangunkan Alena, sekedar untuk mengajak Alena makan siang bersama. Berhati-hati Momoy membuka pintu kamar Alena karena tidak ingin membangunkan Alena.
Tetapi apa yang dilihat Momoy sungguh mengejutkan, "ARGHHHHH!" teriak Momoy histeris. Pemandangan Alena bersimbah darah di atas kasur dengan urat nadi pada lehernya terpotong. Tangan kanan Alena memgang sebuah pisau cutter dan tangan kirinya memegang sebuah cermin kecil.
"Ada apa?" orang-orang berbondong-bondong menghampiri Momoy yang masih terpaku di depan pintu kamar Alena.
"Astaga!" teriak salah seorang dan ada juga yang pingsan serta histeris melihat pemandangan mengenaskan itu.
"Telepon polisi sekarang!" teriak yang lainnya, Monoy sendiri langsung pingsan karena tidak kuat melihat kejadian tersebut. Keadaan menjadi tegang, berbagai macam spekulasi berkeliaran di kepala masing-masing orang yang melihat hal itu.
Mereka tidak ada yang berani mengganggu atau mengacak-acak TKP. Untuk itu semuanya berkumpul di ruang tengah saling menguatkan juga berusaha membangunkan yang jatuh pingsan. Isak tangis masih terdengar, hanya ada tiga orang laki-laki yang mencoba tenang dan menenangkan teman-teman mereka yang histeris.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top