Bab 32 - Guru dan Murid
Malam terasa sangat sepi untuk Agung, di tanbarasa cenas yang tiba-tiba muncul. “Non Malika,” cepat Agung menbuka pintu rawat inap Malika. Di sana terlihat seorang suster laki-laki sedang menyiapkan suntikan untuk Malika.
Rasa curiga Agung timbul karena dia ingat dengan jelas kapan suster akan kembali masuk untuk memberikan Malika obat. “Maaf setahu saya suster yang berjaga malam ini di kamar ini perempuan,” tegur Agung saat suster laki-laki itu akan menyuntikkan obat kepada Malika.
“Ah bukankah ini kamar 303?” tanya si suster laki-akki yang terlihat sedikit gugup.
“Maaf Anda salah kamar, ini kamar 304,” ucap Agung yang terlihat menyipitkan matanya curiga pada si suster.
“Maaf untuk kesalahan saya,” suster laki-laki itu langsung buru-buru membereskan obat yang dibawanya, “kalau begitu saya pamit dulu,” katanya lagi dan langsung keluar begitu saja dari kamar rawat Malika.
Malika dan Agung pun saling berpandangan melihat keanehan sifat suster laki-laki itu, “sudah Non jangan pikirkan, lebih baik Non istirahat saja,” kata Agung menenangkan Malika.
“Kamu gak jadi beli kopi Gung?” tanya Malika saat sadar Agung kembali tanpa membawa kopi.
“Uang saya ketinggalan Non makanya saya balik lagi,” Agung mengacungkan dompet lusuhnya yang diambilnya dari atas sofa. Malika yang paham hanya mengangguk saja dan kembali berusaha mencari posisi nyaman.
“Untung kamu balik lagi Gung, aku gak tahu deh gimana itu nanti reaksi obat yang salah suntik itu,” ujar Malika dengan muka horror ketik membayangkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.
“Iya Non untung banget ini dompet saya ketinggalan,” kata Agung menyetujui perkataan Malika tersebut.
Di lain tempat, laki-laki yang tadi menyamar sebagai suster sedang terlihat memutar otaknya mencari jalan lain. “Sial pake acara ketawan segala,” rutuknya dengan raut wajah yang terlihat kesal. “Pokoknya rencana berikutnya aku harus matang dan berhasil,” ujarnya dengan penuh berapi-api.
Dari kejauhan ada seseorang yang terus memantaunya, orang yang sudah dianggap laki-laki itu sebagai gurunya. Rasa ingin menjadi yang terbaik di mata gurunya itu membuat hasrat untuk melakukan apa saja perintah sang guru menjadi sangat besar berkobar di dalam dirinya. Ini menang bukan tugasnya yang pertama untuk meleyapkan orang yang diperintahkan sang guru kepadanya.
Bima yang sedang mencoba mengintai kediaman Josh Sujatmiko sendiran belum melihat keberadaan Josh sejak tadi. “Menurut info dia belum pulang dari pertemuan penting,” gumam Bima di dalam mobil. “Rumah sebesar ini dihuni seorang diri?” Bima kondisi rumah besar yang terlihat sepi itu, “terlalu mencurigakan,” kata Bima lagi.
Semalaman itu Bima sibuk berjaga di depan rumah Josh Sujatmiko, walaupun belum terlihat adanya sosok dari Josh sendiri. Bima masih tetap mencoba bertahan lebih lama lagi, setidaknya sampai dia mendapat kabar dari orang suruhannya tentang keberadaan ayah dan anak dari keluarga Thompson. Ada begitu banyak hal yang berkaitan dalam masalah ini, dan entah bagaimana pemikiran Bima mengatakan jikalau saat ini Malika dan Arthur dalam bahaya.
Tiba-tiba saja ponsel Bima berbunyi, menandakan ada telepon masuk. “Hallo,” salam Bima.
“Hallo Boss, semua informasi sudah didapat,” lapor orang yang kemarin menjadi suruhan Bima untuk mencari informasi tentang Black dan Tn. Thompson.
“Bagus kita bertemu di tempatku seperti biasa,” setelah mengatakan kalimat itu Bima langsung menatikan sambungan teleponnya dan bergegas menjalankan mobilnya.
Hari ke dua Malika di rumah sakit kondisinya sudah lebih membaik, Malika sendiri kemungkinan besar akan diperbolehkan pulang pada esok hari. Setelah kejadian tadi malam, Agung tidak lagi meninggalkan Malika terlalu lama dan saat ini tugas Agung digantikan oleh Rere karena Agung sedang pulang istirahat.
“Arthur keman memangnya?” tanya Rere saat Malika selesai menceritakan tentang kejadian semalam kepada Rere.
“Dia sedang menemui sepupunya di Paris,” jawab Malika sedikit lesu.
“Ya sudah kamu yang penting cepat sembuh, itu orderan tas lumayan banyakkan yang mesti diselesaiin,” Rere mencoba mengalihkan pembicaraan ke arah yang lainnya. Dia sangat paham bahwa Malika merasa sedikit kecewa dengan Arthur yang lebih memilih berangkat ke Paris dibanding menungguinya di rumah sakit.
“Oh iya Mbak Rere sendiri gimana soal harta gonogini sama mantan suami?” tanya Malika yang teringat atas nasib Rere tersebut.
“Lancar, aku ditolong Mas Galih lagi soalnya,” Rere terlihat malu-malu saat menjawab pertanyaan Malika tersebut.
“Aduh jangan malu-malu meong gitu dong Mbak!” komentar Malika yang juga ikut senang dengan kabar yang didengarnya.
Sementara itu di luar sana, orang yang sama dengan yang menyamar menjadi suster itu sedang sibuk memikirkan strategi selanjutnya. Kali ini dia akan melakukan hal yang sedikit lebih ekstream sepertinya dibanding dengan suntikan. “Sekali tusuk langsung mati,” ujarnya sambil memain-mainkan pisau yang terlihat mengkilat tajam dan runcing di ujung mata pisaunya.
“Lakukan sampai dia benar-benar mati, lalu target selanjutnya Arthur,” ucap seseorang lain yang berada di ruangan itu. Matanya tajam mengawasi gerak gerik si anak buah atau bisa disebut muridnya.
“Kenapa Arthur justru menjadi target belakangan?” tanya si murid itu kepada gurunya.
“Karena aku ingin sedikit beramin-main dengannya dan juga memberikannya kesakitan yang parah. HA HA HA!” tawa sang guru pun menggelegar ke seluruh penjuru ruangan, membuat si murid ikut tertular dan tertawa penuh kekejaman bersama.
Kembali pada Malika dan Rere, kali ini Rere sedang menyuapi makan siang Malika. Sesekali mereka akan bercanda untuk saling menghibur, apa lagi Rere yang ingin sekali menghibur Malika. Rere tidak ingin melihat Malika sedih, dia sudah menganggap Malika seperti adiknya sendiri.
“Jadi Mbak Rere udah ke dokter kandungan tadi?” tanya Malikansaat ingat hari itu adalah jadwal periksa kandungan Rere.
“Iya Ka, tadi sekalian deh mampir ke sini,” Rere menyuapi sendok terakhir kepada Malika. Lalu setelahnya dia meletakkan piring kosong Malika ke atas nampan yang berada di meja samping ranjang.
“Naik apa? Tadi kan si Agung masih di sini,” Malika terlihat mengerutkan dahinya bahwa dia sedang mengingat saat Rere datang tadi.
“Naik taxi tadi,” jawab Rere seadanya sambil dia duduk di kursi yang berada di samping ranjang Malika.
“Kenapa gak minta jemput Agung? Eh ... Mbak jangan kulitnya,” Malika sibuk memperhatikan Rere yang memotong apel dan protes minta dikupas kulitnya.
“Kasihan Agung harus bolak-balik, lagian juga nanti kamu gak ada yang nungguin jadinya,” Rere menyerahkan potongan apel yang sudah dikupas kepada Malika.
“Iya sih, tapi tetap aja bahaya Mbak pergi sendiri-sendirian gitu. Mana lagi hamil gede lagi,” Malika berkata dengan mulutnya yang sibuk mengunyah apel.
“Aku baik-baik aja Ka, jangan lebay deh!” Rere sekali lagi menyerahkan sepotong apel kepada Malika.
Keakraban keduanya itu ternyata terabadikan oleh lensa kamera seseorang yang berdiri di depan pintu kamar rawat inap, dia mengambil gambar melalui kaca transparan pada pintu. Dia orang yang sama dengan suster tadi malam, dia juga mengenakan baju seragam suster seperti semalam.
“Arthur belum menghubungi kamu ya?” tanya Rere hati-hati saat melihat Malika yang sekali-kali mempehatikan ponselnya.
“Mungkin nanti Mbak,” jawab Malika mencoba biasa-biasa saja, padahal di dalam hatinya dia merasa cemas memikirkan Arthur.
“Oh iya katanya nantin Mas Galih mau ke sini jengukin kamu,” Rere langsung buru-buru merubah topik pembicaraan saat melihat bola mata Malika yang terlihat memancarkan kerinduan.
“Mau jengukin aku atau mau ketemu Mbak Rere?” tanya Malika dengan nada suara yang menggoda. Rere sendiri tidak masalah jika harus digoda seperti ini asalkan Malika tetap dapat tersenyum.
“Bisa jadi juga sih itu,” Rere justru mengerlingkan matanya kepada Malika, membuat tawa Malika pun pecah.
“Hahaha! Mbak lucu banget sih!” Malika tertawa senang sekali melihat kerlingan mata Rere itu.
Sebenarnya tanpa kedua sadari sejak tadi berdiri Galih di depan pintu, bibir Galih terlihat menyunggingka senyum geli. “Kalau kata pribahasa, sambil menyelam minum air ya,” ucap Galih yang perlahan masuk dengan menjinjing sebuah plastik berisi buah-buahan.
“Loh Mas Galih sejak kapan berdiri di sana?” tanya Malika yang bingung.
“Sejak Rere bilang aku mau ke sini,” Galih memberikan senyum jahil ke arah Rere yang pipinya sudah semerah tomat.
“Huahahahaha,” meledaknlah tawa Malika saat melihat ekspresi malu-malu Rere.
“Hush! Ini rumah sakitbMalika, kamu ini pasien kok berisik banget sih!” protes Rere terhadap suara tawa Malika yang cukup keras.
Rere berdiri dari duduknya dan mempersilahkan Galih untuk duduk dengan isyarat tangan, dia juga mengambil bawaan Galih dan meketakkannya pada meja samping ranjang Malika. “Mau jeruk Ka?” tawar Rere saat melihat terdapat buah jeruk dalam bawaan Galih.
“Mau Mbak!” seru Malika terlihat semangat.
“Sini Mas kupasin, Rere kamu duduk sini di ujung ranjang. Gak papa kan Ka?” Galih menatap Malika dengan tatapan sedikit jahil, seolah mengerti kode Galih, Malika langsung menganggukkan kepalanya.
Mau tidak mau, Rere pun duduk di pinggir ranjang Malika. Sedangkan Malika, dia merubah posisi duduknya dengan kaki bersila. Galih sendiri sedang mengupasi kulit jeruk, dia duduk di kursi tempat Rere sebelumnya duduk.
“Malika,” Galih menyuguhkan jeruk kepada Malika, berniat ingin menyapi gadis itu. Tetapi, Malika menolak dan justru mengambil alih jeruk itu dari tangan Galih.
“Aku bisa makan sendiri kok Mas,” Malika sengaja mengedipkan seblah matanya ke arah Galih. Rere, dia hanya diam saja memperhatikan interaksi keduanya.
“Mbak Rere mau jeruk?” tawar Malika kepada Rere yang terlihat memperhatikannya.
“Ngeliat kamu makan jeruk gitu aku juga jadi pengen, Mas boleh minta tolong ambilin jeruknya gak?” pinta Rere kepada Galih yang duduk dekat dengan posisi jeruk.
Dengan sigap Galih mengambilkan buah jeruk dan mengupas kulitnya, “aku bisa kupas sendiri kok Mas,” protes Rere.
“Udah kamu diam aja di sana, aku yang kupasin jeruknya,” perintah Galih saat melihat Rere ingin turun dari ranjang.
“Duh! Duh! Duh! Banyak nyamuk ya di sini,” sindir Malika sambil terkekeh kecil.
“Ayo buka mulut kamu,” tiba-tiba Galih menyuapi Rere jeruk. Dibawah tatapan tajam Galih, Rere pun membuka mulutnya dan menerima suapan Galih.
Bersambung
Jangan lupa vote dan komentarnya😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top