Bab 3 - Malika Diikuti Seseorang

   Malika terbangun di tempat yang menurutnya asing, ketika dia ingin berteriak akhirnya dia ingat. Bahwa dia berada di rumah Arthur, “mungkin aku sudah seperti orang linglung sekarang,” ujar Malika sambil memegangi kepalanya yang masih sedikit pusing. Malika turun dari tempat tidur dan berjalan menuju cermin besaryang ada di dalam kamar tersebut. Malika menghembuskan nafasnya berat begitu melihat kantung matanya yang sangat hitam dan wajah sembab.

   “Aku kira ini sudah pagi,” gumam Malika begitu melihat jam dinding yang masih menunjukkan pukul dua dini hari.

   Merasa haus, Malika keluar dari kamarnya. Dia berjalan pelan, suasana rumah yang temaram karena hanya disinari oleh sinar rembulan yang masuk melalui celah-celah gorden. Malika membuka kulkas dengan pelan, tidak ingin menimbulkan suara yang berisik.

   Setelah menghabiskan dua gelas air dingin, Malika ingin kembali ke kamarnya begitu matanya tidak sengaja melihat ke sebuah foto. Malika mendekati foto tersebut dan mengambilnya, memandangnya dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Lalu tiba-tiba Malika teringat oleh kakek Rafael.

Flashback On

   Pada jam makan siang seperti ini cafe memang terlihat ramai, penuh dengan orang-orang yang sibuk bercengkrama sambil menikmati makan siangnya. Orang yang istirahat sejenak dari rutinitasnya, ada pegawai negeri sipil, pegawai kantoran, polisi dan masih banyak lagi. Malika senang melihat kondisi yang ramai dengan orang-orang yang sibuk bercerita dengan teman-temannya, dia seolah-olah merasakan bahwa kesepiannya selama ini terbalas.

   Ketika mata Malika memandang ke pojok cafe, terlihat seorang kakek-kakek yang Malika ketahui bernama Rafael duduk termenung sendirian. Malika tahu bahwa kakek itu pelanggan tetap cafe di tempatnya bekerja ini, dia selalu datang sendirian dan selalu duduk berjam-jam sendirian.

   Kemarin, Malika memberanikan diri menghampiri kakek tersbeut ketika jam kerjanya selesai dan sudah ada temannya yang menggantikan siftnya. Mereka hanya berkenalan saja saat itu karena kakek Rafael yang sudah di jemput oleh supirnya setiap jam 4 sore.

   “Malika antarakan pesanan ini ke meja nomor 17 itu ya,” seorang teman Malika memberikan Malika nampan yang berisi teh hangat. “Kebetulan sekali,” Malika bergumam begitu tahu bahwa pesanan yang akan diantarnya adalah milik kakek Rafael.

   Malika meletakkan secangkir teh hangat tersebut di meja yang ditempati kakek Rafael. Ketika Malika akan beranjak pergi suara kakek Rafael menghentikan langkahnya, “bisakah setelah jam kerjamu habis temani aku di sini?” kakek Rafael menatap Malika dengan penuh permohonan. Malika yang merasa kasihan dan tersentuh akhirnya menganggukkan kepalanya tanda setuju.

   Maka saat jam kerja Malika selesai dia menggangti pakaian pelayannya dengan pakaian biasa dan menghampiri kakek Rafael. “Duduklah!” kakek Rafael mempersilahkan Malika duduk dengan ramah.

   “Terima kasih,” Malika duduk di hadapan kakek Rafael, Malika memperhatikan wajah kakek Rafael yang sudah berkeriput namun, bagi Malika kakek Rafael tetap terlihat tampan. “Kakek sudah setua ini saja masih terlihat tampan, apa lagi waktu muda. Pasti banyak perempuan yang suka sama kakek ya!” ujar Malika begitu saja.

   Respon kakek Rafael yang tertawa membuat Malika menarik senyum bangganya, dia berhasil membuat kakek Rafael tersenyum. Selama pengamatan Malika kakek Rafael selalu duduk di tempat yang sama dan selalu berwajah murung.

   “Kenapa kakek selalu datang sendirian?” Malika bertanya dengan lancar, mungkin terdengar lancang. Tetapi Malika tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

   “Karena aku tidak punya teman untuk di ajak kemari,” jawaban kakek Rafael itu membuat dahi Malika mengernyit dalam.

   “Keluarga kakek? Seperti anak atau cucu kakek?” tanya Malika lagi, kali ini nada suara Malika terdengar sangat penasaran. Dan itu cukup untuk menggelitik hati kakek Rafael, rasa hangat karena ada yang memperhatikannya menjadi menimbulkan rasa gatal mulutnya untuk berbicara banyak kepada Malika.

   “Anakku sudah meninggal dunia sejak dua tahun lalu, sedangkan cucuku dia baru saja kembali dari luar negeri dan sedang mengurusi pekerjaannya yang dipindahkan secara mendadak. Beberapa kali dia mengantarku kemari atau hanya sekedar menjemput,” cerita kakek Rafael dengan senyum lembut yang membuat Malika tersenyum pahit. Malika tidak menyangka ada cucu yang setega itu kepada kakeknya.

   “Apa cucu kakek itu terlalu sibuk? Kalau aku bertemu dengannya nanti ingin sekali aku menghajarnya,” ucap Malika bersemangat.

   Kakek Rafael terkekeh pelan sebelum menjawab, “dia bukan laki-laki yang pantas untuk diberi pelajaran Malika, cucuku itu cucu terbaik untukku. Walaupun dia tidak punya waktu untuk menemaniku duduk disini, tetapi dia selalu punya waktu untuk mendengarkan ceritaku tentang apa pun.”

   Malika mendengus tidak setuju, pikirannya mengatakan bahwa kakek Rafael hanya membela cucunya saja.

   “Biar bagaimanapun dia bukan cucu yang baik karena membiarkan kakeknya duduk sendirian di cafe seperti ini!” Malika tetap ngotot pada pendapatnya tentang cucu kakek Rafael.

   “Baiklah jika begitu, tapi sesejujurnya aku ingin melihat cucuku bertemu denganmu. Pasti lucu melihatnya tiba-tiba harus merasakan pukulan darimu Malika,” ucapan kakek Rafael memang bercanda dan begitulah yang ditangkap indra pendengaran Malika.

   “Kakek hanya tidak ingin memperpanjang masalah, makanya mengalah untuk tidak membela cucu kakek lagi kan!” tuding Malika dengan wajahnya yang memberengut ke arah kakek Rafael.

   “Aku benar-benar membayangkan jika kalian bertemu, aku yakin dalam hitungan hari saja kamu akan menyukainya Malika. Sedangkan dia dalam satu kali pertemuan saja pasti akan langsung jatuh cinta padamu,” ujar kakek Rafael lembut dan tersenyum kecil begitu melihat wajah Malika bertambah masam. “Percayalah, aku sangat mengenal cucuku Malika,” tambah kakek Rafael.

Flashback Off

   Malika tersenyum kecil begitu mengingat kilas balik tersebut, matanya masih memandang foto yang menunjukkan keluarga harmonis. Di dalam foto tersebut ada empat orang yang salin tersenyum bahagia. Dua diantaranya dikenal Malika sebagai kakek Rafel dan Arthur.

   “Mereka pasti orang tua Arthur,” ujar Malika pelan begitu melihat wajah orang asing yang ikut berfoto bersama kakek Rafael dan Arthur. “Dan aku berhutang pukulan untuk Arthur,” lanjut Malika.

   “Sedang apa malam-malam disini?” Malika berjengit kaget begitu mendengar suara berat di sampingnya, hampir saja dia berteriak dan melempar foto di tangannya ke wajah Arthur. Untunglah Arthur dengan sigap menggenggam pergelangan tangan Malika yang sudah siap melayangkan foto berbingkai kayu ke mukanya.

   Malika melepaskan genggaman Arthur pada pergelangan tangannya, lalu secara tiba-tiba Malika melayangkan pukulan yang cukup keras ke muka Arthur hingga menimbulkan bunyi ‘buk’.

   “Arghhh!!” Arthur memegangi pipinya, dia tidak siap dengan pukulan Malika yang tiba-tiba. “Apa yang kamu lakukan Malika?!” ujar Arthur dengan tangannya yang masih memegangi pipinya.

   “Itu untuk cucu berengsek sepertimu, kamu cucu sok sibuk yang tidak pernah menemani kakeknya dan sekarang yang ada dipikranmu hanya harta warisan saja,” Malika menatap Arthur nyalang. Dia muak melihat muka tampan Arthur yang sok baik kepadanya, padahal hanya memanfaatkannya.

   “Malika tunggu!” Arthur memanggil Malika begitu melihat Malika akan kembali masuk ke kamar yang ditempatinya. Malika sama sekali tak ingin repot-repot berhenti, dia memilih untuk meneruskan langkahnya dan masuk ke dalam kamar.

   “Dasar gadis aneh, menyimpulkan semuanya seenaknya,” rutuk Arthur.

   Pagi harinya Malika pergi kerja pagi-pagi sekali dan hanya meninggalkan pesan singkat berupa note kecil di meja makan untuk Arthur. Arthur yang membaca not tersebut hanya tersenyum kecil.

   Isi Note:

   Jangan lupa kompres wajahmu. Aku pergi bekerja dan terima kasih untuk tumpangannya, aku akan kembali ke kos.

   Tertanda,

   Malika

   Malika bekerja dengan tidak tenang, pasalnya dia selalu melihat orang berbisik-bisik sambil memperhatikannya. Malika menguatkan hatinya bahwa hal ini akan segera berakhir, nama baiknya pasti akan segera kembali, dia percaya bahwa Arthur pasti bisa membantunya.

   Bersyukurlah Malika karena dia dapat melalui hari ini lebih baik dari hari kemarin, Malika berjalan pelan menyusuri gang yang akan membawanya menuju kosannya. Malika membalikkan badannya, dia merasa diikuti sejak dia keluar dari cafe tadi. Perasaan tak enak menggerayapi Malika, dia berusaha untuk tenang.

   Sementara itu tidak jauh di belakang Malika seseorang yang mengenakan pakaian serba hitam dengan kepala yang tertutup topi memperhatikan Malika. Matanya tajam mengikuti gerak-gerik Malika.

   Dibalik saku jaketnya tersimpan senjata tajam yang siap digunakannya jika Malika membahayakannya. Malika masih berusaha untuk berjalan lebih cepat dan tidak panik, Malika bahkan ingin sekali segera berlari secepat yang dia bisa.

   Begitu Malika melihat gerbang rumah kosnya, Malika menambah kecepatan langkahnya. Malika membuka gerbang kos dengan cepat dan menutupnya kembali, sehingga menimbulkan bunyi yang keras dikesunyian malam.

   Kebetulan memang Malika harus lembur karena menggantikan temannya yang sakit, sehingga dia harus pulang larut malam seperti ini. Malika berlari dengan cepat menaiki tangga rumah kosnya, nafasnya ngos-ngosan. Cepat-cepat Malika membuka kunci pintu kamar kosnya.

   Malika bersandar di balik pintu kamar kos yang sudah dikuncinya kembali, nafasnya masih terdengar memburu. Tangannya tertangkup di depan dadanya, matanya terpejam mencoba menghilangkan pikiran buruk mengenai pembunuhan. Walaupun Malika yakin ini pasti ada hubungannya dengan kematian Sarah.

   “Ahh!” Malika berjengit kaget begitu mendengar suara ponselnya yang berada di dalam kantong celananya. Malika merogoh kantong celananya dan mengeluarkan benda yang sudah terlihat jadul itu.

   Pada layar ponsel tertera nama Arthur, Malika melihat jam yang sudah menunjukkan pukul setengah satu malam. Sebelum negangkat telepon Artur Malika mengatur napas dan detak jantungnya agar kembali normal.

   “Hallo?” jawab Malika dengan suara yang dibuat senormal mungkin.

   “Aku kira kamu sudah tidur,” ujar Arthur di seberang sana.

   “Jadi kamu menelpon hanya untuk memastikan aku sudah tidur atau belum?” tanya Malika dengan kesal, bahkan bola mata Malika berputar jengkel. Mungkin hal itu tidak dapat dilihat oleh Arthur, tetapi nada suara Malika yang terdengar kesal sukses membuat Arthur mengeluarkan kekehan kecilnya.

   “Aku minta maaf jika menganggumu malam-malam seperti ini, aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja Malika,” kata Arthur dengan suaranya yang penuh dengan perhatian. Tak urung hal itu membuat pipi Malika bersemu merah dan detak jantung Malika kembali berdetak cepat seperti saat dia ketakutan tadi.

   “Tidak usah berlebih seperti itu Tuan Arthur, aku bisa menjaga diriku sendiri,” untuk menutupi kegugupannya Malika menjawab pertanyaan Arthur dengan nada suaranya yang bertambah ketus dari sebelumnya.

   “Baiklah, selamat malam Malika.”

   “Selamat malam juga Arthur.”

Bersambung

Maaf jika ada kekurangan dan kesalahan dalam cerita.

Jangan lupa vote dan komentarnya😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top