Bab 25 - Ngambeknya Malika

   Malika sedang menunggu taxi di dekat halte bus, dia terlihat menjinjing tas-tas belanjaan yang terlihat berat. Keringat bercucuran di dahi Malika karena panas matahari sore, rambutnya yang dikucir kuda terlihat lepek karena keringat. Beberapa taxi sudah lewat, namun semuanya terisi penumpang. Malika meletakkan belanjaannya di dekat kakinya, lalu tangannya melambai saat dilihatnya sebuah taxi mendekat.

   “Syukurlah kosong,” gumam Malika saat melihat taxi itu berhenti, dengan tenaganya yang tersisa Malika menagngkat barang belanjaannya.

   “Mau kemana Mbak?” tanya supir taxi ramah. Malika menyebutkan alamat rumah Arthur, tangannya lalu merogoh ke dalam tasnya dan mengeluarkan kipas tangan.

   Malika asik berkipas-kipas dengan napasnya yang terdengar ngos-ngosan, “udah lama gak belanja jadinya gini capek banget, maaf ya Pak,” ujar Malika sedikit malu karena si supir taxi yang terus memperhatikannya dari kaca spion.

   “Gak papa kok Mbak,” ucap sopir taxi memaklumi. “Mbak ini bukannya yang di televisi itu ya?” tanya sopir taxi ragu-ragu dan sedikit takut.

   “Oh iya Pak,” jawab Malika serba salah saat melihat si sopir taxi yang terlihat ketakutan.

   “Hmmm anu ... Non, saya kayaknya gak bisa nganterin Non deh. Non bisa cari taxi lain di depan sana,” ujar sopir taxi tiba-tiba. Malika yang paham atas ketakutan supir taxi itu hanya pasrah saja dan mengangguk mengiyakan.

   Malika turun dari taxi dan berdiri di trotoar jalan, sambil celingukkan melihat taxi kosong yang mungkin saja lewat. Hampir setengah jam Malika mencari taxi kosong, tetapi sepertinya keberuntungan sedang tidak berpihak kepadanya. “Udah sore banget lagi ini,” gerutu Malika saat melihat jam di pergelangan tangannya.

   Tidak jauh dari Malika berdiri, terparkir sebuah mobil sedan yang sebenarnya sedari tadi terus membututi Malika. Masih orang yang sama dengan tadi pagi, orang itu kembali mengambil gambar Malika dengan kamera yang dibawanya. Senyum misterius kembali tercetak di bibirnya, “terlalu cantik untuk target pembunuhan,” ucapnya pelan sambil jarinya membelai layar kameranya yang melihatkan hasil foto Malika.

   Arthur mengendarai mobilnya dengan kecepatan gila-gilaan, dia baru saja menelpon ke rumah dan mendapati bahwa Malika belum sampai di rumah. Otaknya seperti lumpuh membayangkan hal buruk apa yang mungkin akan terjadi pada Malika. Hatinya berulangkali menympah serapahi kelakuan egois Arthur yang mengabaikan Malika.

   “Malika!” serunya saat melihat penampakkan Malika yang beridiri di atas trotoar, dengan cepat Arthur membawa mobilnya menepi tepat di depan Malika. Diturunkannya kaca mobil, “Malika ayo masuk,” serunya kepada Malika.

   “Syukurlah!” ujar Malika saat dia melihat Arthur di dalam mobil. Tidak menunggu lama Malika langsung membuka pintu belakang mobil Arthur dan memasukkan barang belanjaannya, lalu setelahnya dia duduk di depan tepat di sebelah Arthur.

   “Beli apa?” tanya Arthur saat melihat belanjaan Malika yang banyak di jok belakang mobilnya.

   “Bisa tanya-tanyanya nanti saja? aku capek banget pengen pulang,” Malika menekuk mukanya, dia sejujurnya kesal sekali dengan sopir taxi tadi yang menurunkannya seenak jidat di pinggir jalan.

   Arthur memilih diam dan menjalankan mobilnya, sesekali dia akan melirik Malika yang masih menekuk wajahnya. Lalu beberapa saat Arthur melihat ke kaca spion, memastikan mobil sedan di belakangnya. Arthur seolah paham bahwa mobil sedan tersebut tengah mengikutinya, memilih jalan memutar untuk pulang ke rumah.

   “Kok lewat sini?” tanya Malika bingung karena jalan yang ditempuh Arthur adalah jalan yang memutar dan pastinya akan jauh.

   “Kita jalan-jalan dulu,” jawab Arthur asal.

   “Aku capek, mau pulang gak mau jalan-jalan,” protes Malika dengan wajahnya yang semakin terlihat kesal.

   “Ada apa sih? Mood kamu kelihatannya terjun payung banget?” Arthur melirik sebentar ke arah Malika dan menambah kecepatan mobilnya saat dilihat jalanan yang terlihat agak lengang.

   “Jangan ngebut-ngebut!” seru Malika saat melihat Arthur menambah kecepatannya lagi, “kamu kenapa sih?” tanya Malika sebal.

   Sedangkan Arthur dia hanya diam saja dan fokus pada kemudinya, matanya masih mengontrol mobil sedan di belakangnya yang masih tetap mengikuti mereka. Sekali lagi Arthur menambah kecepatannya dan untunglah hal itu sukses untuk membuat si mobil sedan tertinggal jauh di belakang.

   “Malika, bagaimana kalau kamu pindah tinggal ke Bogor saja? Di sana ada villa milik Kakek,” tawar Arthur kepada Malika, dia paham bahwa Malika sedang kesal padanya. Lima menit Malika tidak menjawab tawaran Arthur, dia terlihat benar-benar kesal dengan kelakuan Arthur.

   Saat Arthur dan Malika sampai di rumah, Rere lah yang membukakan pintu untuk mereka. Malika masih tetap diam dan hanya menyelonong masuk ke dalam rumah, meninggalkan Arthur yang terlihat menjinjing belanjaan Malika. Rere yang melihat wajah Malika yang seperti itu bertanya-tanya di dalam hatinya.

   “Perkenalkan saya Rere, Anda pasti Arthur calon suaminya Malika kan?” Rere memperkenalkan dirinya kepada Arthur yang terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya atas sikap Malika.

   “Anggap saja seperti rumah sendiri ya Rere,” ujar Arthur dengan ramahnya. Rere mengikuti Arthur yang masuk ke dalam rumah masih dengan jinjingan belanjaan Malika.

   Arthur membelokkan langkahnya menuju kamar Malika, diletakkannya barang-barang tersebut di depan pintu Malika. Diketoknya pelan pintu kamar Malika lalu berkata, “belanjaannya aku letak di depan pintu, nanti setelah mandi temui aku di ruang kerja,” pesan Arthur.

   “Loh Non Malika Aden kenapa?” tanya Mbok Salmi yang terlihat heran atas sikap Malika dan Arthur.

   “Gak tahu Mbok, dari datang tadi udah gitu,” jawab Rere yang sama bingungnya dengan Mbok Salmi. “Ya sudah lah Mbok mereka bisa menyelesaikan masalah mereka sendiri, sekarang ayo aku bantu masak untuk makan malam,” kata Rere lagi yang menarik lengan Mbok Salmi untuk kembali ke dapur.

   Setelah semua orang pergi, Malika membuka pintu kamarnya dan membawa masuk barang-barang yang ditinggal Arthur di depan pintu kamarnya. Rasa dongkol masih bercokol di hati Malika, setelah sebelumnya di turunkan sopir taxi di pinggir jalan dan ditambah dengan kelakuan Arthur yang semakin membuat Malika merasa kesal. “Dia malu gitu punya calon istri aku? Sampe harus di umpetin segala di Bogor,” gerutu Malika di dalam kamarnya.

   “apa tadi katanya? Ke ruang kerjanya? Ogah males!” Malika masih saja menggerutu, dia sedang menyiapkan peralatan mandinya dengan bibrinya yang sibuk mengoceh dengan mimik wajah yang lucu.

   Walaupun Malika sebelumnya menggerutu tidak akan menemui Arthur, pada kenyataannya Malika sekarang sudah berdiri di depan pintu ruang kerja Arthur. Dia sudah selesai mandi dan sudah terlihat segara, tidak seperti tadi yang mandi keringat. Diketuknya pelan pintu ruangan Arthur tersebut masih dengan wajah yang ditekuk.

   Dari kejauhan Mbok Salmi dan Rere terlihat mengintip dan penasaran, “Arthur!” seruan Malika iitu bahkan terdengar sampai ketelinga mereka berdua. Ada rasa geli yang menggelitik melihat pasangan itu ngambek-ngambekkan.

   “Masuk!” kata Arthur memberikan persetujuan, sebenarnya Arthur sempat tertidur sebentar dan terbangun karena suara teriakkan Malika. Maka dari itu dia masih pada posisinya yang terbaring di sofa panjang.

   “Kalau mau istirahat di kamar saja, kita bisa bicara nanti,” kata Malika yang nada suaranya tidak terdengar sejengkel tadi. Mungkin kasihan melihat Arthur yang kelelahan, “kamu tidur di kantor kan semalam? Jadi lebih baik istirahatlah dulu,” tambahnya lagi dengan nada suaranya yang sudah kembali melembut seperti biasa.

   Arthur bangun dari tidurannya, ditatapnya Malika yang masih berdiri di depan pintu yang sudah tertutup. “Kemarilah!” perintahnya sambil menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya.

   Malika pun melangkahkan kakinya ke arah Arthur dan duduk agak menjauh dari Arthur, “ingin membicarakan apa?” tanya Malika membuka pembicaraan.

   Bukannya menjawab pertanyaan Malika, Arthur justru merebahkan kepalanya di pangkuan Malika, matanya terpejam dan mulutnya berkata, “biarkan aku istirahat seperti ini sebentar saja.”

   Malika mengelus pelan rambut Arthur yang terlihat berantakkan, bibirnya bersenandung kecil, hanya gumaman-gumaman yang terdengar sangat menenangkan hati bagi Arthur. Malika menggunakan kesempatan itu untuk menatap wajah Arthur yang terlihat sangat menikmati elusan dan senandungnya.

   “Kamu tahu ada banyak hal yang ingin aku bicarakan denganmu, ada begitu banyak cerita yang ingin aku bagi bersamamu,” ucap Arthur dengan mata yang masih terpejam. Secara refleks Malika berhenti bersenandung dan menghela napasnya berat, seolah paham bahwa ada banyak hal yang belum terurai di antara mereka.

   “Kamu bisa berbagi itu kapan pun kamu mau,” Malika kembali membelai rambut Arthur, menyisirnya dengan jari-jarinya yang penuh dengan kelembutan.

   “Maaf jika belakangan ini aku terlalu sibuk dan mengabaikanmu,” Arthur mengambil tangan Malika yang berada di rambutnya, dan mebawanya menuju bibirnya untuk dikecupnya.

   “Tidak ada yang salah dan tidak perlu minta maaf,” pipi Malika merona merah atas perlakuan lembut Arthur terhadapnya. Malika sadar, Arthur laki-laki yang sempurna untuknya, dia yakin bahwa bahagianya adalah bersama Arthur.

   “Bagaimana jika kita ngorolnya seperti ini saja? sangat nyaman,” Arthur membuka matanya yang terpejam, ditatapnya mata sayu Malika.

   “Baiklah tidak masalah,” setuju Malika dengan senyum yang terbit di bibirnya.

   “Jadi bisa jelaskan apa barang-barang yang kamu beli tadi?” tanya Arthur membuka obrolan mereka.

   “Ah! Itu, aku mau buat kerajinan tangan berupa tas nanti hasilnya mau aku jual,” jelas Malika.

   “Kamu tidak perlu bekerja Malika, aku yang akan mmenuhi semua kebutuhanmu,” protes Arthur yang paham maksud Malika terebut.

   “Aku hanya bosan di rumah saja, lagi pula aku dibantu Mbak Rere dan mengerjakannya juga di rumah,” Malika memperlihatkan raut wajahnya yang terlihat memohon kepada Arthur.

   “Baiklah, dengan satu syarat. Seluruh modalnya berasal dari uangku, aku tahu belanjaan tadi pasti kamu beli dari uang tabunganmu,” kata Arthur tegas.

   “Begini saja, kamu cukup modalin aku untuk beli laptop atau komputer,” tawar Malika lagi, dia masih tidak ingin usahanya hanya berdiri dengan uang Arthur.

   “Oke besok kita pergi beli laptop, tablet dan ponsel buat kamu,” setuju Arthur.

   “Aku kan mintanya laptop aja,” protes Malika atas perkataan Arthur yang akan membelikannya ponsel dan tablet.

   “Kamu itu butuh ponsel Malika, jika tadi kamu kenapa-kenapa aku bisa gila,” Arthur memainkan jemari Malika yang masi di dalam genggamannya.

   “Tetapi aku tidak butuh tablet!” seru Malika lagi.

   “Itu untuk menunjang usaha kamu!” Arthur masih bersih keras ingin membelikan barang-barang tersebut.

   “Aku gak mau!”

   “Kamu harus mau!”

Bersambung

Jangan lupa vote dan komentarnya😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top