Bab 17 - Kembalinya Masa Lalu
Bukannya langsung pulang atau kembali ke kantornya, Arthur justru pergi menuju ruangan Jeremy untuk meminta Jeremy melakukan pemeriksaan mendetail di kamar kost Malika dulu. Tetapi sayang, saat dia membuka pintu ruangan Jeremy yang terlihat hanya ruangan kosong, tidak ada sosok Jeremy di dalamnya.
“Maaf Inspektur Jeremy kemana ya?” tanya Arthur kepada salah seorang petugas yang lewat di dekat ruangan Jeremy.
“Oh katanya pamit pulang dulu,” jawab polisi itu dan langsung berlalu begitu saja meninggalkan Arthur yang masih berdiri di depan pintu.
Tidak ingin membuang-buang waktu, Arthur memutuskan untuk menyusul Jeremy. Kebetulan Arthur tahu tempat tinggal Jeremy, karena di kasus sebelumnya mereka cukup akrab untuk saling mengundang mampir makan malam bersama. Di perjalanan menuju rumah Jeremy, Arthur mendapat telepon dari Bima.
“Hallo,” sapa Arthur yang masih tetap fokus menyetir dengan earphone yang tersemat ditelinganya.
“Dimana? Ada yang ingin aku bicarakan,” tanya Bima langsung.
“Aku akan bertemu Jeremy dulu. Nanti kita bertemu di kantor, tunggu aku di sana,” kata Arthur terdengar terburu-buru karena dia sudah sampai di kompleks perumahan tempattinggal Jeremy, Arthur bahkan mematikan sambungan telepon secara sepihak.
“Jeremy!” panggil Arthur yang baru saja turun dari mobil, dia melihat Jeremy yang sedang membuka pintu mobilnya terlihat akan pergi.
“Apa yang membawa seorang pengacara datang ke rumah polisi?” tanya Jeremy langsung dengan nada yang tidak bersahabat.
“Ada yang ingin aku bicarakan, ini terkait penyelidikan,” kata Arthur langsung, dia bahkan tidak perduli dengan sambutan Jeremy yang tidak bersahabat.
“Apa sekarang pengacara lebih tahu segalanya dibanding polisi?” Jeremy memandang Arthur sinis, aura permusuhan terlihat kental dari tatapan matanya.
“Tolong jangan berprasangka buruk dulu. Aku mohon Jeremy, dengarkan dulu perkataanku baru setelahnya terserah pihak berwajib mau mencoba cara ini atau tidak,” Arthur berusaha untuk tidak terprofokasi oleh Jeremy, dia tetap berusaha mencoba untuk mengajak Jeremy berbicara.
“Baiklah, kita bicarakan ini di dalam,” untunglah Jeremy menyetujui juga ajakan Arthur untuk berbicara dengannya dan mengajak Arthur masuk ke rumahnya.
“Istrimu tidak ada di rumah?” tanya Arthur saat melihat keadaan rumah Jeremy yang sepi. Jeremy memang sudah menikah dan sudah memiliki seorang anak yang masih balita.
Jeremy sama sekali tidak menjawab pertanyaan Arthur, dia hanya memberikan tatapan tajam kepada Arthur, seolah-olah mengatakan untuk Arthur tidak banyak bertanya tentang urusan pribadi. Arthur pun hanya menaikkan bahunya santai seolah-olah tidak merasa ada yang salah dengan pertanyaannya tersebut. Jeremy dan Arthur duduk berhadapan di ruang tamu rumah Jeremy, tidak ada minuman atau makanan ringan yang menemani mereka, hanya ada suasana yang kelam yang terpancar dari mata Jeremy.
“Ada apa?” tanya Jeremy langsung, di sandarkannya punggungnya ke sandaran single sofa yang didudukinya, tangannya terlipat di depan dada dengan mata yang tetap lurus memandang Arthur.
“Sebelumnya aku ingin bertanya, apakah pihak berwajib tidak penasaran dengan pisau dapur milik Malika?” mata Arthur menatap Jeremy penuh selidik, sedangkan yang ditatap hanya tersenyum sinis mendengar pertanyaan Arthur.
“Kenapa harus penasaran? Itu senjata pembunuhan dan bukti mengarah kuat kepada Nona Malika, jadi tidak ada waktu untuk polisi merasa penasaran,” jawab Jeremy dengan nada yang penuh dengan penekanan.
“Bagaimana jika Malika tidak bersalah? Apa kalian tidak penasaran dengan pisau tersebut?” tanya Arthur lagi, dia masih mencoba membaca Jeremy atau lebih tepatnya mencari cela untuk dapat meyakinkan Jeremy.
“Malika tidak bersalah? Tetapi bukti berbicara lain, dia BER-SA-LAH,” Jeremy sengaja menekan kata bersalah untuk memancing emosi Arthur dan Arthur paham akan hal tersebut.
“Jika kalian sudah yakin Malika bersalah, kenapa berkasnya belum dilimpahkan ke pengadilan? Ini terbukti bahwa kalian masih perlu bukti yang lebih kuat lagi, seperti motif pembunuhan?” Arthur melontarkan pertanyaan-pertanyaan profokatif dengan matanya yang menyipit tajam. Pancingan Arthur ternyata berhasil, wajah Jeremy langsung berubah datar dan kaku. “Apa aku benar?” Arthur sengaja membuat situasi tambah panas.
“Katakan apa yang ingin Anda katakan Bapak Arthur yang terhormat,” Jeremy tidak mengindahkan perkataan Arthur tersebut dan meminta Arthur untuk langsung ke inti pembicaraan.
“Aku tahu kalau polisi sudah menemukan bukti lain yang mengarah ke pembunuh yang berbeda, untuk itu aku sarankan untuk polisi melakukan pengecekkan secara mendetail pada kamar kost Malika terdahulu. Kemungkinan besar pisau dapur itu hanya jebakan untuk polisi agar menangkap orang yang salah, sedikit info bahwa jendela kamar Malika tidak pernah terkunci karena kunci jendelanya rusak dan hari dimana Sarah meninggal pintu kamar Malika bermasalah alias tidak dapat dikunci, seperti dibobol orang misalnya,” jelas Arthur. Mata Arthur dan Jeremy saling pandang dan saling menilai satu sama lain.
Arthur berdiri dari duduknya, dia rasa sudah saatnya dia pergi dari rumah itu. Arthur sangat tahu bahwa Jeremy adalah orang yang mudah penasaran dan dengan sendirinya Jeremy akan menuntaskan rasa penasarannya itu. “Satu lagi, jika aku menemukan ponsel korban terlebih dahulu sebelum polisi. Aku akan mengajukan tuntutan atas pencemaran nama baik Malika. Jadi bergeraklah lebih cepat,” setelah mengatakannya kalimat yang terdapat ancaman tersebut, Arthur mlangkahkan kakinya menuju pintu rumah Jeremy.
Sepeninggalan Arthur, Jeremy masih duduk termenung di tempatnya. Dia sesekali akan menghela nafas berat dan memejamkan matanya sejenak untuk dapat berfikir jernih. “Satu-satunya baju laki-laki di dalam kamar Sarah, ini pasti ada hubungannya dengan itu,” kata Jeremy yakin dan bangkit dari duduknya.
Jeremy mengeluarkan ponselnya untuk menelpon anggotanya sambil berjalan keluar dari rumah dengan langkahnya yang lebar-lebar. “Ambil kembali baju laki-laki yang sempat kita curigai itu, baju itu dikembalikan karena keterangan Ibrahim mengatakan bahwa itu baju miliknya, perkataan Ibrahim sebelumnya terlalu banyak kebohongan,” kata Jeremy langsung memberi titah begitu panggilannya tersambung.
Sementara itu Bima menunggu Arthur di ruang kerja Arthur, Bima sudah membulatkan tekatnya bahwa dia akan mengatakan yang sejujurnya tentang kepulangan Lola. Cepat atau lambat Arthur pasti akan mengetahuinya dan Bima tidak ingin Arthur mengetahui hal tersebut dari orang lain.
“Dimana Arthur?” tanya seorang perempuan yang tiba-tiba saja masuk, diikuti oleh sekertaris Arthur di belakangnya. Bima yang familiar dengan suara tersebut langsung menoleh kebelakang dan mendapati Lola berdiri di depan pintu ruangan Arthur.
“Maaf Pak, Mbak ini memaksa masuk. Padahal saya sudah katakan bahwa Bapak Arthur sedang di luar,” di belakang Lola sekertaris Arthur meminta maaf kepada Bima.
“Tidak apa-apa, kamu bisa kembali ke meja kamu,” kata Bima kepada sekertaris Arthur. Tentu saja sekertaris Arthur langsung pamit begitu mendengar perintah Bima.
“Apa yang membawamu kemari?” tanya Bima langsung kepada Lola.
“Aku hanya ingin bertemu kekasihku,” jawab Lola santai, dia bahkan dengan beraninya berjalan menuju meja Arthur.
“Kekasih? Kekasih yang menelantarkan kekasihnya begitu?” cibir Bima. “Selama ini aku cukup bersabar menghadapimu, aku juga cukup baik untuk tidak ikut campur masalahmu dan Arthur. Tetapi sekarang, aku tidak akan diam saja Lola,” kata Bima lagi.
Lola dengan santainya duduk di kursi kerja Arthur, dia tersenyum sinis ke arah Bima yang berdiri di dekat sofa yang berada di tengah ruangan. “Selalu saja naif, aku tahu alasan sebenarnya kamu tidak memberitahu Arthur tentangku Bim,” Lola mengambil sebuah pena di atas meja Arthur dan memainkannya dengan jari-jari tangannya yang lentik.
“Jangan sok tahu kamu,” Bima berdiri tegap dengan kedua tangan yang dimasukkannya ke dalam kantong celana. Dia memperhatikan Lola dengan tatapan tajam dan dingin.
“Aku tahu bahwa seorang Bima Natanegoro mencintai seorang Lola Vinka Brata,” ucap Lola dengan penuh keyakinan, bahkan dia tersenyum manis kepada Bima yang masih berdiri.
“Iya itu benar, tetapi cintaku tidak akan buta dan menutup mataku atas perbuatan kamu yang benar-benar tidak bisa aku maafkan,” kata Bima yang dengan berani dan tegas melontarkan kalimat tersebut.
“Memang apa yang aku perbuat?” Lola bangkit dari duduknya dan menatap Bima marah, merasa terusik dengan perkataan Bima tersebut.
“Aku tahu seorang Lola hanya kembali untuk mengusik kehidupan Arthur Sujatmiko,” Bima berjalan maju ke depan, hingga dirinya dan Lola hanya dipisahkan oleh meja kerja Arthur yang besar.
“Bagaiman jika Arthur justru ingin kembali denganku?” pertanyaan Lola tersebut seperti sengaja untuk memancing rasa cemburu Bima.
“Aku tidak akan termakan oleh kata-kata omong kosong seperti itu,” ujar Bima yakin.
“Aku sangat tahu Arthur dan aku sangat yakin kalau Arthur pasti akan memafkan dan menerimaku kembali,” ucap Lola percaya diri.
Bima hanya tersenyum sinis memandang Lola dan sedikit terkekeh kecil, seolah-olah sedang menertawakan kepercayaan diri Lola. “Apa kamu kira Arthur yang dulu dan Arthur yang sekarang sama?” tanya Bima masih dengan suaranya yang terdengar sinis. “Selama empat tahun bukan hanya keadaan yang berubah, tetapi juga Arthur. Ada banyak perubahan dalam diri Arthur karena KEKASIHnya,” kata Bima lagi dan sengaja menekan kata kekasih bermaksud menyindir lola.
“Jangan asal bicara ya kamu Bim,” kata Lola sedikit panik jika apa yang dikatakan Bima memang benar. “Perasaan Arthur kepadaku tidak akan berubah,” gumam Lola seolah-olah mantra untuk dirinya sendiri.
“Lola, kamu bukan Tuhan yang bisa dengan mudah mengatur perasaan seseorang. Kamu akan tahu nanti jika bertemu langsung dengan Arthur,” ucap Bima dengan nada suara yang rendah dan terdengar berbahaya. “Kamu harus ingat, ada aku yang akan selalu menghalangimu untuk merusak hidup Arthur,” Bima menutup perkataannya dengan ancaman.
Baru saja Lola akan kembali membuka mulutnya untuk membalas ancaman Bima tersebut, pintu ruangan Arthur terbuka, muncul Arthur bersama sekertarisnya yang terlihat mengikuti di belakangnya. Pandangan Arthur langsung terarah ke sosok Bima dan Lola yang berdiri saling berhadapan dengan dipisahkan meja kerjanya.
Tatapan mata Arthur langsung berubah dingin begitu mengenali sosok yang berdiri berhadapan dengan Bima adalah Lola Vinka Brata, mantan kekasihnya yang meninggalkan dirinya empat tahun silam. Lola yang awalnya merasa marah dengan Bima kini hanya diam memandang Arthur, dia hanya mampu menarik sebuah senyum yang terlihat seperti dipaksakan.
“Aku kembali Arthur,” hanya tiga kata itu yang dapat dilontarkan oleh Lola dengan pelan.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top