Bab 10 - Arthur Ke Kampung Halaman Sarah

   Sambil menunggu informasi dari Bima, Arthur memutuskan akan pergi ke kampung halaman Sarah. Dia akan mencari lebih banyak info tentang Sarah, Arthur yakin sepintar apapun orang itu menyembunyikan kesalahannya pasti ada celah untuk kesalahannya itu. Maka, sebelum pergi ke kampung halaman Sarah di Bandung Arthur bertemu dengan Malika.

   “Kamu kelihatan kurusan,” komentar Malika pertama kali ketika melihat Arthur, ada senyum kecil yang diberikannya kepada Arthur.

   Arthur hanya dapat tersenyum masam menjawab komentar Malika tersebut, dia tahu itu cara Malika untuk menyembunyikan ketakutannya. “Aku pasti akan tetap sehat sampai waktunya kamu bebas,” ujar Arthur.

   Hening, Malika tidak membalas ucapan Arthur begitu juga Arthur yang diam saja memandang Malika. Dia tahu Malika tidak tidur dengan baik, itu terlihat dari kantung mata Malika dan raut wajahnya yang terlihat kusut. Arthur menghembuskan napasnya pelan, dia harus segera menemukan bukti bahwa Malika tidak bersalah.

   “Kamu tahu Arthur, aku selalu mengira bahwa aku benar-benar sial dan tidak beruntung karena tuduhan ini. Namun, begitu aku bertemu dengan Mbak Rere aku sadar bahwa ada orang yang jauh lebih tidak beruntung, dia tidak memiliki siapa-siapa untuk mendukungnya, sedangkan aku masih ada kamu yang mau membantuku,” cerita Malika pelan, matanya menerawang membayangkan begitu menyedihkannya kondisi Rere.

   “Setiap orang memiliki ujian hidup masing-masing Malika,” walaupun tidak begitu paham dengan maksud perkataan Malika, tetapi Arthur dapat menangkap bahwa orang yang dimaksud Malika itu adalah teman barunya di dalam tahanan.

   “Ada jauh yang lebih tidak bersalah lagi Arthur, bayi yang sedang dikandung Mbak Rere, bayi itu tidak bersalah apapun, karena kekuasaan dia menjadi korban,” mata Malika mulai berkaca-kaca dia begitu tidak tega dengan keadaan anak Rere setelah lahir ke dunia nantinya.

   “Namanya Rere bukan? Jika kamu ingin membantunya akan aku kabulkan permintaan kamu, dengan syarat..” Arthur sengaja menggantungkan perkataannya untuk membuat Malika penasaran.

   “Apa pun itu syaratnya aku setuju!” sambar Malika langsung. Dia tidak perduli dengan syarat yang diajukan Arthur, baginya Arthur mau membantu Rere saja itu sudah luar biasa.

   “Syaratnya kamu harus tetap sehat, kuat dan percaya kalau aku akan segara menemukan bukti bahwa kamu tidak bersalah. Nanti akan aku minta salah satu juniorku yang bekerja di kantor untuk membantu temanmu itu,” Arthur berkata demikian dengan pandangan matanya yang dalam, seolah-olah mengatakan kepada Malika bahwa dia akan mengorbankan nyawanya untuk membantu Malika.

   Setelah pertemuannya dengan Malika, Arthur bertemu dengan Jeremy di ruangan Jeremy. Dia duduk berhadapan dengan sosok Jeremy, keduanya terlihat saling tatap. Tatapan keduanya menyiratkan bahwa tidak akan ada yang mau mengalah untuk kasus ini, karena bagi keduanya mereka rival.

   “Aku tidak pernah meminta bantuan rivalku, tetapi kali ini aku mohon beri aku sedikit waktu untuk mengumpulkan bukti bahwa Malika tidak bersalah,” ucap Arthur dengan tetap pada posisinya yang terlihat menantang Jeremy.

   “Dan aku tidak suka memberikan tambahan waktu untuk rivalku,” balas Jeremy tak kalah tajam, ada nada mengejek di dalam suara Jeremy. Arthur hampir saja melayangkan bogemnya ke arah Jeremy, beruntunglah dering ponselnya menyelamatkan Jeremy.

   Arthur mendapat kabar dari Bima bahwa kemungkinan ada bukti lain yang lebih kuat yang tidak dimiliki polisi. Bukti yang lebih mengarah kepada pembunuhnya yang asli, bukti tersebut adalah ponsel Sarah yang masih belum ditemukan. Menurut pengamatan Bima ponsel Sarah tersebut ada pada si pelaku sebenarnya.

   “Silahkan kumpulkan bukti dalam waktu tiga hari, karena aku akan segera menggelar olah tempat kejadian perkara,” kata Jeremy setelah Arthur memutuskan sambungan ponselnya dengan Bima.

   Tanpa diketahui oleh Arthur, Jeremy dan pihak kepolisian juga sedang mencari keberadaan ponsel Sarah. Dia masih perlu bukti yang lebih kuat lagi untuk dapat menyimpulkan siapa tersangka yang sebenarnya.

   Ketika itu hari sudah mulai sore saat Arthur sampai di kampung halaman Sarah, Arthur langsung menuju ke rumah kepala desa. Beruntung keberadaan Arthur disambut baik oleh kepala desa.

   “Begini Pak Kades, saya datang kemari untuk mencari tahu tentang Almarhumah Sarah,” Arthur menuturkan maksudnya datang ke sana setelah sebelumnya dia memperkenalkan dirinya.

   “Saya tidak terlalu dekat dengan Almarhumah, yang saya tahu Almarhumah itu anak satu-satunya. Kedua orang tuanya sudah lebih dulu berpulang dan semenjak Almarhumah tinggal sendiri Almarhumah dibawa Pamannya ke Jakarta dan semenjak itu Almarhumah tidak pernah pulang kampung. Hanya beberapa waktu lalu Pamannya saja yang pulang,” jelas Pak Kades.

   “Pak Kades punya alamat Pamannya Sarah di Jakarta?” tanya Arthur, sebenarnya Arthur merasa heran. Karena dari awal dia sama sekali tidak melihat bahwa Sarah memiliki Paman. Selama penyelidikan juga Arthur tidak pernah bertemu dengan Pamannya Sarah, hanya seorang pengacara yang selalu datang.

   “Waduh saya gak tahu,” jawab Pak Kades dengan penuh sesal. “Begini Mas, saya tidak tahu info ini berguna atau tidak. Tetapi, Almarhumah memiliki tanah warisan yang luas peninggalan orangtuanya, nah tanah itu baru-baru ini dijual,” tambah Pak Kades.

   “Kapan pastinya tanah tersebut dijual ya Pak?” Arthur merasa ini bisa jadi jalan untuk menelusuri jejak.

   “Saya tidak tahu pastinya, tapi itu sebelum Almarhumah meninggal.”

   Berbekal informasi dari Pak Kades, Arthur kembali ke Jakarta. Dia juga sudah memberi tahu Bima untuk menyelidiki siapa yang membeli tanah Sarah, menurut Arthur hal tersebut bisa jadi ada kaitannya dengan pembunuhan Sarah.

   Di tengah jalan seperti de javu, Arthur kembali di cegat empat orang dengan dua sepeda motor. Hari yang memang sudah mulai gelap tidak membuat Arthur takut, seperti sudah terlatih, Arthur keluar dari mobilnya dengan tongkat besi di tangannya. Di saat emosi Arthur yang sedang naik seperti sekarang, mudah bagi Arthur untuk menjatuhnya seluruh lawannya.

   Setelah seluruh lawannya tumbang, sebelum mereka kabur Arthur mengikat keempatnya di dekat mobil Arthur. Dia sudah menghubungi Bima untuk menyusulnya, Bima tidak datang sendirian dia datang bersama dua orang polisi yang kebetulan sedang patroli. Arthur dan Bima menyerahkan mereka ke polisi, seringai mengejek Arthur lemparkan ke arah keempatnya. Arthur sangat yakin bahwa mereka adalah orang suruhan pembunuh yang sebenarnya.

   “Urus tuntutannya Bim,” kata Arthur sebelum melanjutkan perjalanannya. “Oh iya pastikan siapa yang menyuruh mereka Bim,” peringat Arthur sebelum dia benar-benar berlalu.

   Sedangkan itu, Malika sedang mendengarkan cerita Rere yang sedang meluapkan kegembiraannya karena ada seorang pengacara yang tiba-tiba datang ingin membantunya. “Aduh Mbak gak nyangka banget ada yang mau bantu orang seperti Mbak!” ujar Rere dengan bahagianya.

   "Mbak belum dinyatakan bersalah, baru datap pengacara aja senengnya sudah seperti ini,” komentar Malika geli. Malika memang tidak memberitahu Rere siapa yang membantunya, karena menurut Malika nanti akan ada saatnya Rere bertemu Arthur dan mengucapkan terima kasih secara langsung.

   “Setidaknya ada yang mau membantu Mbak itu sudah sangat membuat Mbak senang,” perkataan Reretersebut mengundang senyum di bibir Malika. “Awalnya Mbak takut kalau orang itu cuma mau main-main aja Ka, tapi beneran gak ya dia itu mau bantu Mbak?” tambah Rere dengan wajah yang cemas tetapi tetap ada raut bahagianya, sontak hal tersebut mengundang kekehan kecil Malika.

   “Percaya deh Mbak, kalau mereka itu orang baik dan pasti bakal membantu Mbak,” Malika mengedipkan matanya menggoda Rere. Keduanya pun tertawa bersama, seolah-olah tidak sadar bahwa mereka sedang berada dalam kesulitan besar.

   “Eh Mbak soal pernikahan Mbak gimana?” tanya Malika setelah berhasil meredakan tawanya.

   “Sepertinya Mbak gak perlu repot-repot mengajukan tuntutan cerai, karena sepertinya suami Mbak sudah mengurusnya,” Rere menaikkan kedua bahunya acuh, dia sudah tidak perduli lagi dengan pernikahannya tersebut.

   “Bagus deh Mbak, pokoknya Mbak harus lupain orang berengsek seperti suami Mbak itu!” ujar Malika menggebu-gebu, ntah mengapa dia juga merasa kesal dengan suami Rere tersebut.

   “Kamu tenang saja, Mbak mu ini cewek strong kok,” Rere menaik turunkan alisnya jenaka menggoda Malika, tawa keduanya pun kembali meledak.

   “Andai saja kita bertemu tidak di dalam sini ya Mbak, pasti sekarang aku sama Mbak asik jalan-jalan,” kata Malika pelan, matanya menerawang ke arah langit-langit.

   Rere memberikan senyum manisnya kepada Malika sebelum berkata, “kalau kita tidak di sini mungkin kita tidak akan bertemu,” Malika menolehkan kepalanya ke arah Rere yang masih tetap tersenyum manis.

   “Jadi pengacaranya laki-laki atau perempuan Mbak? Kalau laki-laki masih single gak tuh?” tiba-tiba saja Malika menggoda Rere. Malika tahu bahwa para junior Arthur masih muda-muda dan tentu saja ganteng-ganteng dan cantik-cantik.

   “Laki-laki, kelihatannya sih sudah berkeluarga. Soalnya sepertinya umurnya di atas Mbak,” jelas Rere meladeni godaan Malika.

   “Umurnya boleh diatas Mbak, tetapi bukan berarti udah taken dong,” Malika masih tidak mau menyerah untuk menggoda Rere.

   “Sudah kamu ini jangan ngaco deh,” Rere mengibaskan tangannya untuk menyuruh Malika tidak menggodanya terus-menerus.

   Lalu keduanya sama-sama terdiam, masing-masing sibuk dengan pikiran mereka. Malika sibuk memikirkan Arthur, dia terlalu ingin tahu apa yang sedang dilakukan Arthur sekarang. Rasanya Malika sudah memupuk rindu di dalam hatinya, terkadang dia juga berfikir ulang tentang tawaran Arthur untuk menikahinya.

   Bagi Malika dirinya hanya akan menyulitkan Arthur nantinya, sudah pasti nama Arthur akan tercemar karena dirinya. Bukan karena Arthur adalah pengacaranya tetapi karena Arthur calon suaminya. Berkali-kali di dalam hati Malika selalu berdo’a untuk kelancaran Arthur dalam membantunya.

   Pemikiran tentang dia yang ingin menyerah terkadang muncul begitu saja, tetapi disaat berikutnya akan ditepis oleh bayangan Arthur. Bayangan Arthur yang mengatakan bahwa Malika harus kuat dan harus berjuang bersamanya. Malika sering berharap bahwa ini hanyalah mimpi, memiliki alur kehidupan bak di film-film bukanlah hal yang menyenangkan bagi Malika.

   “Syukuri apa yang kamu dapat saat ini Malika, jangan menyia-nyiakan seseorang yang sedang berjuang untukmu di luar sana,” ujar Rere yang seolah-olah mengerti kegundahan hati Malika.

   Mau tidak mau Malika tersenyum dan mengangguk mengerti dengan perkataan Rere tersebut. “Aku akan selalu percaya kepadamu,” ujar Malika di dalam hatinya, perkataan itu seoralh-olah dikirimnya untuk Arthur.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top