Part 19
Sebelum tangan Refa menyentuh wajah Al، ada seseorang yang berhasil menahannya.
"Varo," gumam Abel.
Al membuka matanya lalu berusaha untuk bangkit kembali. Ia menatap Varo cukup lama.
"Kalau musuh udah nggak bisa lawan jangan dilanjut," nasehat Varo.
"Lo nggak usah ikut campur," sungut Refa sembari menarik tangannya.
"Gua punya hak buat itu."
Sebelum Refa melontarkan kata-kata pedasnya Nasya menarik tangan Refa untuk menjauh dari Varo.
"Hi Var," sapa Nasya. Varo membalasnya dengan senyuman.
"Var, mau makan nggak?" tawar Nasya.
"Boleh, tapi lain kali aja."
"Yah, kok gitu sih," ujar Nasya kecewa sembari menekuk wajahnya.
"Gua lagi males aja liat muka dia," jawab Varo sembari menunjuk Refa dengan dagunya.
Nasya mengikuti arahan dari Varo. "Lo sih, lagian ngapain coba pakek berantem segala." Nasya memarahi Refa.
"Lah, Refa kan nolongin lu gimana sih," Chintya tak terima. Sedangkan Refa hanya memutar matanya malas karena ia sudah hafal watak dari Nasya.
"Intinya salah dia." Nasya tak mau mengalah kemudian mengalihkan pandangannya pada Varo.
"Janji ya lain kali kamu harus makan sama aku?"
"Iya."
"Yes, yaudah kalau gitu aku pergi dulu ya, Bye." Nasya melangkah pergi sembari melambaikan tangannya pada Varo. Kedua temannya mengikutinya dari belakang.
"Cewek stres," gumam Varo.
"Al, lo nggak papa kan?" tanya Abel khawatir.
"Gitu doang masa sakit sih."
"Gua nggak nanya sama lo, jadi lo diem aja."
"Gua punya mulut kalik, ya wajar kalau gua jawab."
"Lo tunggu disini sebentar gua mo nyari kotak P3k dulu," pinta Abel lalu pergi setelah mendapat anggukan dari Al.
"Hati-hati." Abel membalikkan badannya lalu mengacungkan jempolnya.
"Lebay," cibir Varo, namun Abel tak memperdulikan itu. Yang terpenting sekarang adalah mengobati luka-luka Al.
***
Sekumpulan laki-laki tengah menikmati hari minggunya di tempat yang disebut basecamp oleh mereka.
"Si bos kok nggak ada? Tumben. Kemana tuh anak?" tanya salah satu dari mereka.
"Lagi ngapel kalik," jawab yang lain
"Emang dia punya doi?"
"Mana gua tahu."
"Coba lu telpon deh Zen," pintanya.
"Ok, bentar." Ia langsung mengambil ponsel dari sakunya lalu mencari kontak 'boss' yang dimaksud oleh mereka.
"......."
"Gimana?"
"Nggak diangkat." ia langsung menutup sambungan telponnya kemudian memasukkan kembali ponselnya.
"Yodahlah biarin aja mungkin dia lagi males bareng sama kalian berdua mulu," celetuk seseorang yang baru saja sampai di basecsamp.
"Hahaha." Semuanya tertawa seakan menganggap itu sebuah lelucon.
"Setan!"umpat Zeno.
"Dari mana lo?" tanya Daniel mengalihkan pembicaraan.
"Baru bangun tidur gua dan langsung kesini," jawabnya sementara Daniel hanya mengangguk paham.
Bruk...
Seseorang menendang pintu hingga membuat pintu itu terpental. Semuanya bangkit dari posisi masing-masing.
"Retro, udah lama nggak ketemu," ujar seseorang sembari tersenyum miring.
"Altar, terimakasih sudah bertamu di basecamp geng kita," sambut Daniel.
"Apa perlu kita hidangkan sesuatu buat kalian?"
"Altar! Serang!"
Altar adalah geng yang terbentuk jauh sebelum Retro. Mereka dijuluki sebagai raja jalanan setidaknya sebelum Retro dibentuk.
Retro mengambil alih sebutan itu dari Altar hingga menjadikan mereka benci pada anak-anak Retro.
Selama setahun ini mereka tidak pernah absen berkelahi, tapi sudah dua bulan lamanya mereka tidak baku hantam.
Bukan tanpa sebab mereka tak menyerang Retro lagi, tapi karena kondisi Alan-sang pemimpin mereka tengah koma karena kecelakaan. Tapi, sekarang ia sudah pulih dan ia memutuskan untuk melanjutkan dendamnya.
Baku hantam antara dua geng itu pun tak bisa terelakkan. Altar yang menyerang dengan kekuatan penuh sedangkan Retro melawan sebisa mereka karena kalah jumlah terlebih Varo-sang pemimpin tak ada bersama mereka.
Alan menendang kaki Zeno hingga ia terjatuh lalu Alan memanfaatkan posisi itu untuk menarik tangan Zeno ke punggungnya.
"Argh..." teriak Zeno saat tangannya dipelintir oleh Alan.
"Dimana bos bodoh lo itu?" tanya Alan tanpa melepas tangan Zeno.
"Dia lagi ada di luar," jawab Zeno sembari meringis kesakitan. Alan mengambil ponsel milik Zeno lalu menelpon Varo.
"Apaan sih? Ganggu tahu nggak?" kesal Varo diseberang sana.
"Argh..." Zeno kembali berteriak saat Alan memutar tangannya
"Zen, Lo kenapa?"
"An... anak-anak... Altar nye...rang kita Ro." jawab Zeno susah payah
"Sialan-"
Belum selesai Varo mengucapkan sesuatu Alan langsung memutuskan sambungan telponnya.
Alan melepaskan Zeno lalu pergi entah kemana. Zeno menelentangkan tubuhnya.
"Sakit," rintih Zeno lalu menelentangkan tubuhnya kemudian memejamkan matanya.
***
Abel kembali dengan kotak P3K ditangannya. Ia langsung menghampiri Al yang sudah menunggunya sedari tadi.
"Minggir," ucap Abel.
"Lu budek apa pura-pura nggak denger? Disuruh minggir tuh," ujar Varo pada Al.
"Heh, yang gua maksud elu," geram Abel.
"Dih, ogah," tolak Varo. Abel menghela nafasnya kasar lalu sebuah ide muncul di otaknya membuatnya tersenyum senang.
"Eh, itu di baju lu ada yang gerak-gerak."
"Sumpah demi apa?"
"Kayaknya ulat bulu deh," jawab Abel santai.
"Arhg..." Varo langsung berdiri dan bersembunyi dibalik badan Abel. Abel dan Al tertawa karena Varo yang begitu takut pada ulat bulu.
"Lu ngerjain gua?" tanya Varo setelah menyadari kalau dirinya dibodohi.
Abel tak memperdulikan Varo yang tengah kesal setengah mati. Ia duduk disamping Al lalu membuka kotak P3K yang ia bawa.
"Cowok kok takut sama ulat bulu, hahaha," ledek Al membuat Varo semakin naik pitam.
"Cowok kok kalah sama cewek," balas Varo dan Al langsung bungkam. Varo tersenyum meremehkan.
Dret...dret...
Varo meraih ponsel didalam sakunya dengan kesal. Nama Zeno tertera disana.
"Apaan sih? Ganggu tahu nggak!" kesal Varo.
"Argh..." Zeno kembali berteriak saat Alan memutar tangannya
"Zen, Lo kenapa?"
"An... anak-anak... Altar nye...rang kita Ro." jawab Zeno susah payah
"Sialan-"
"Bangs** gua belum selesai ngomong elah," gerutu Varo kemudian memasukkan kembali ponselnya.
Ia melihat Abel yang tengah serius mengobati luka-luka Al lalu ia berlari menuju tempat motornya terparkir.
Abel menatap Varo bingung, tapi ia tak menghiraukan Varo ia lebih memilih untuk mengobati Al.
"Alan, rupanya lo udah sembuh ya," gumam Varo sembari tersenyum getir.
Ia mengendarai motornya dengan kecepatan diatas rata-rata. Ia tak perduli dengan para pengendara yang terus mengklakson dirinya karena tak menaati peraturan lalu lintas.
Itu tak penting bagi Varo yang terpenting sekarang adalah nyawa teman-temannya yang sedang terancam bahaya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top