2. Sial, Sialan
"Apa yang kau lakukan Calista?"
"Aku gak ngapa-ngapain."
Saat ini Evelia tengah disidang oleh kakak Calista. Ini semua sebab dia hampir menggoda semua pria yang melewati ruang kerja kakaknya dan melancarkan godaan sampah yang membuat muka para pria tersipu. Padahal kan menarik, Evelia menggigit bibir bawahnya menyembunyikan senyum nakal agar tidak membuat Alfie semakin murka.
"Kau tadi menggoda siapa saja?"
"Cuman yang lewat aja, Kak."
Alfie mengembuskan napas panjang memijat pangkal hidung. Lantas dia mendekati Evelia sembari menepuk kepala gadis itu pelan. "Kakak tidak masalah kalau kau jahil dan berbuat aneh-aneh. Tapi, kalau menggoda pria. Itu berbahaya. Apalagi kau masih polos. Sekarang kau harus mengaku. Dari siapa kau belajar seperti itu?"
Polos? Evelia ingin tertawa. Tidak di dunia nyata atau fiksi. Orang-orang selalu salah sangka dengan ekspresi wajahnya yang selalu terlihat polos seakan tidak tahu apa-apa. Dalam arti lain bodoh. "Dari Kakak Cavin."
Awokwok, mampus. Sekarang dia mengkambing hitamkan pemeran utama pria. Tokoh utama itu kan fungsinya untuk dinistakan. Evelia menggulirkan pandangannya beralih pada Alfie yang terkejut bukan main.
"Astaga. 'Anak itu' kenapa tidak mengajarkan yang baik-baik pada anak polos sepertimu?"
Evelia dengan santai mengangkat bahu dengan ekspresi polos. Dia benar-benar pantas mendapatkan penghargaan oscar dengan akting ini. Semoga setelah ini si sial atau Cavin itu diusir dan gak menyebarkan kesialannya lagi.
"Ya, sudah. Lain kali jangan mengikuti yang buruk lagi. Kau sudah besar sekarang. Harus belajar sedikit demi sedikit membedakan mana yang baik dan buruk, ya."
Evelia mengangguk tersenyum kecil memasang ekspresi polos, suaranya dia perhalus sembari lengan yang bergelayut pada tubuh kotak-kotak sang kakak. "Iya, kakak. Tapi, pas aku kaya tadi seru loh." Netra Alfie melirik ke arah Evelia yang masih bergelayut manja. Kembali menghela napas Alfie berpikir sebelum menjawab. "Kalau begitu, kalau kamu mau seperti itu ke kakak saja, Oke?"
Evelia mengangguk cepat menyembunyikan wajah dalam pelukan sang kakak. Di balik dada bidang Alfie dia menyeringai lebar. Aduh, tubuh kakak sendiri kok menggoda banget sih?
"Jangan sentuh-sentuh tubuh kakak. Itu geli Calista."
Evelia yang sedari tadi meraba-raba dada bidang sang kakak langsung berhenti. Ekspresi mesumnya yang tadi berada dalam dekapan Alfie langsung berubah seketika menjadi anak polos.
"Kakak..., kenapa gak boleh sentuh-sentuh? Padahal kata Kakak Callista cuman boleh aneh-aneh sama kakak aja." Mata gadis itu mengerjap pelan sembari menatap kakak seolah-olah tidak mengerti.
"Tapi, tetap ada batasan Calista.., kita kan saudara. Pasti ada batasan- batasannya," jawab Alfie lelah.
"Terus sama siapa yang gak ada batasannya?"
Alfie terdiam sesaat, matanya menatap balik Calista yang kembali bertanya. "Suami kamu nanti, mungkin," ucapnya ragu-ragu.
"Kalau gitu Calista tinggal nikah aja sama kakak 'kan? Nanti Kakak bisa jadi suami Calista. Terus nanti bebas deh kalau mau apa-apa."
Alfie mengernyitkan dahi, lantas memijat pelipis. Entah dia yang salah atau memang adiknya semenjak tadi pagi lebih aktif dan lebih menggunakan otak dibanding biasanya. Namun, lebih jelas lagi adiknya seperti orang mesum yang mencintai pria tampan. Itu meresahkan.
"Tentu saja tidak boleh. Kita saudara kandung."
Evelia mengerucutkan bibir lantas dengan mata berkaca-kaca ia hendak menangis. Omo, menjadi anak bodoh memang punya keistimewaan sendiri. Dia bebas bertindak tanpa perlu memikirkan konsekuensi atau akibat dari apa yang dia perbuat.
"Shh.. jangan nangis. Iya, Kakak yang salah. Sekarang kau mau apa? Kakak bakal mewujudkan apapun keinginanmu."
"Beneran?" tanya Evelia.
"Tentu."
Evelia kini menaruh jarinya di dagu sembari memejamkan mata. "Kalau gitu, aku mau jajan aja bareng kesatria penjaga. Jadi Kakak bisa tetap bekerja."
Alfie mengembuskan nafas lega mengusap kepala adiknya lembut. "Baiklah, terima kasih sudah memikirkan kakakmu ini. Hati-hati dijalan. Jangan melakukan hal yang berbahaya dan kelewat batas, mengerti?"
"Iya," seru Evelia sembari menyembunyikan niat jahat dalam hati.
Selain menggoda para cogan dia suka jajan. Jadi sekarang ayok jajan yang banyak! Kita kuras uang kakak tercinta ini.
.
.
.
"Yeay! Jajan, jajan."
"Hati-hati, Nona. Jangan berlarian seperti itu!"
Saat ini Evelia sedang jalan-jalan mengelilingi pasar. Dia membeli banyak makanan jalanan. Dan hampir semuanya adalah makanan pedas. "Wah! Enak bwanget." Mulut gadis itu kini dipenuhi keripik pedas yang gurih dan membuat lidahnya terbakar. Ini yang terbaik setelah mencuci mata!
"Pak, beli ini sepuluh biji. Oh, ya bumbunya pedes aja jangan dikasih kecap. Terus nanti kalau udah jadi aku bakal balik lagi, aku mau milih makanan yang lain."
Pedagang itu mengangguk senang, mendapatkan pesanan yang banyak. "Nona! Ini sudah banyak sekali. Memangnya Anda akan memakan semuanya?" tanya kesatria yang kini tangannya dipenuhi kantung-kantung berisikan makanan. "Dan jangan terlalu banyak makan pedas. Nanti anda bisa sakit perut," tambahnya diiringi nada khawatir.
"Iya, iya. Eh, itu kayanya pedes banget. Ayo, ke sana." Kesatria itu geleng-geleng kepala mengikuti Evelia. Bahkan perkataannya tadi seakan angin lalu yang lewat begitu saja.
"Oh, iya, gimana sekalian kita beli oleh-oleh buat ayah, ibu sama kakak. Kan sayang kalau aku doang yang dapet enaknya." Kesatria itu terdiam sejenak. Apa tadi majikannya memikirkan orang lain selain dirinya sendiri? Karena jujur saja yang dia tahu gadis itu adalah gadis bodoh yang tidak tahu apa-apa dan hanya memikirkan diri sendiri.
"Itu ide yang bagus."
"Oke!"
Setelah mengambil pesanannya kini Evelia diiringi kesatria pergi menuju tempat penjualan aksesoris pria. Di sana, dia membeli hiasan saku kemeja dan cincin berwarna biru. Sebelum pulang dia juga menyempatkan mampir menuju tempat penjual makanan ringan manis. Itu untuk ibu Calista.
"Si menye-menye kok ada di sini?!" Namun, belum saja Evelia mengantri. Kini pemeran utama wanita alay, lemah, menye-menye tengah berada di depan kasir melayani pelanggan.
"Ada apa Nona?"
Evelia buru-buru menggeleng tersenyum lebar. Itu membuat serangan batin menemukan pemeran utama wanita di sini. Terlebih tadi pagi juga bertemu tokoh utama lain. "Om kesatria. Tolong beliin aja ya, itu yang rasa strawberry. Aku gak mau ke sana. Soalnya muka kasirnya nyebelin."
"Oh, baiklah."
Kini Evelia menghela napas menunggu di luar toko sembari menatap menara jam dan pengeras suara yang ada di sana. Dia benar-benar tidak menyangka akan menemukan tokoh utama lain secepat ini. Karena yang dia ingat dia hanya menulis kalau dulu hidup tokoh utama wanita itu melarat. Tapi, karena kemampuannya dalam mendesain pakaian membuat tokoh ini terkenal. Ya, itu masih jauh sekali, karena Calista saja masih hidup sekarang.
"Nona, ini sudah dibeli."
"Nona?"
Evelia yang sibuk memikirkan kenyataan tiba-tiba tersadar saat tangan kekar menyentuh pundaknya. "Anda sedang sibuk melihat menara jam pemberitahuan ya?"
"Hah, apa?"
"Ya, menara jam pemberitahuan. Selain untuk menunjukkan waktu menara itu dipakai untuk membuat pemberitahuan penting."
Evelia mengangguk-angguk mengambil bungkusan kue dari kesatria. Sepertinya sudah cukup dia lari dari kenyataan dan melupakan hal itu seolah-olah dia adalah orang idiot yang tidak bisa menghadapi masalah.
Yosh! Mari kita temui Pemeran utama pria a.k.a Cavin untuk membuat rencana bertahan hidup.
.
.
.
"Kak Cavin yang ganteng sedunia~ sini deh."
Pasrahkan jiwa. Terimalah kesialan yang nyata. Dengan segenap hati Evelia memasrahkan diri untuk mendapatkan satu hari penuh bencana dengan berdekatan dengan orang yang paling sial dan juga tampan di dunia. Siapa lagi kalau bukan Cavin. Ah~ dia harus memanfaatkan anak bodoh ini.
"Ada apa?"
"Hehehe, ini aku bawain hadiah buat kakak. Pake, ya."
Evelia mengulurkan tangan yang memegang sebuah cincin dengan permata merah. Anggap saja itu sogokan. Tadi sebelum pulang dia kembali membeli cincin untuk membuat hubungan yang baik dengan Cavin.
"Ini indah sekali. Terima kasih, Calista."
"Hehehe."
Evelia hanya bisa tertawa hambar menahan hasrat menghujat. Baru saja dia berdekatan dengan Cavin selama kurang dari lima menit. Tiba-tiba saja tubuhnya terasa gatal setengah mati, sialnya benar-benar tidak ketolongan.
"Wajah kau merah, tangan kau juga bentol-bentol. Kau tidak apa-apa?"
"Hahaha, iya, gak papa kok." Jawab Evelia sembari menahan tangannya yang bergetar ingin menggaruk sumber gatal. Gapapa, seriusan gapapa banget.
"Kamu tadi habis dari mana saja?"
"Jalan-jalan, terus jajan, ke kantor kakak juga. Pokoknya seru banget!"
"Lalu?"
Evelia kembali bercerita panjang lebar, namun, tiba-tiba ditengah cerita dia keselek biji buah yang disuapi oleh Cavin. Heh, Cavin kau ini menyuapi orang buahnya bukan bijinya! Astaga. Demi semua segala kebodohan di dunia ini.
"Uhuk! Uhuk!"
"Ini minum dulu!"
Evelia meminum air dengan tergesa, wajahnya memerah mulai menyesali rencana memanfaatkan Cavin. Belum ada sedetik meminum air, mulutnya menyemburkan minuman yang diberikan. "Ohok! Ohok!"
Minuman apa itu? Rasanya seperti obat kumur. Evelia menjatuhkan diri di lantai lantas tangannya memegangi tenggorokan yang masih belum bisa mengeluarkan biji tersebut. Cavin, dasar tokoh utama sial!
"Huwek..," Setelah tersiksa sampai terguling-guling di lantai dengan tangan Cavin yang menepuk-nepuk punggung sang gadis-- walau jujur tidak membantu. Akhirnya Evelia memuntahkan isi perutnya di karpet.
Sungguh, bernama si sial. Benar-benar sialan.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya polos serta gelisah.
Matamu pucek! Sekarang dia sedang apa-apa. Evelia merasa miris sudah seperti gadis yang terkena azab seperti di film-film. Mulai dari kulit yang memerah bentol-bentol. Wajah pucat. Mata sayu serta muntahan yang membasahi gaun.
Namun, sebelum dia kembali ingin merutuki kesialan ini. Tiba-tiba dia teringat sesuatu random. Eh, kalau Luna masuk juga gak sih ke cerita ini?
"Uhuk!"
Kok sekarang dia muntah darah?! Sepertinya dia ditakdirkan untuk mokad sebelum memperbaiki cerita ini. Dan sebelum berpikir lebih jauh tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
Bersambung...
02/04/2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top