18. Welcome back zheyenk~

Evelia merasa perasaannya membaik, ternyata bukan hanya menistakan tokoh fiksi yang seru, menggoda mereka juga ternyata cukup menyenangkan. Calix masih memalingkan wajah, pria itu seringkali tidak memahami kata-kata sang author, tapi jelas itu adalah godaan yang disengaja.

"Jangan ngambek dong~"

Evelia mengulum senyum manis, dia mengulurkan tangan menyentil dahi pemuda pirang yang kini menghindar. "Berhenti menggodaku." Gadis itu terkekeh manis, telinga Calix yang memerah menunjukkan seberapa malu pria itu. Baru saja niatnya ingin menggoda Calix, dia bisa mendengar suara listrik statis tanda penghubung radio dari ransel.

"Ha- Hal- Lo. Evelia. Bisa denger aku, cek, cek. Ganti."

Evelia bergegas membuka ransel dan meraih walkie-talkie, segera menekan sisi lain dia menjawab. "Pesan masuk. Ganti," jawabnya lancar, dia menghela napas lega. Akhirnya benda ini bisa berguna, sementara di sisi lain Calix menatap penasaran tentang benda apa yang dipegangnya.

"Oke, aku sama Cavin ada di air terjun disebelah selatan. Aku juga udah ngasih salah satu walkie-talkie aku ke Cavin. Hey! Hentikan memainkannya seperti itu, nanti rusak!" Suara Luna galak terdengar dari seberang, tampaknya mereka berdua sudah lebih dekat, "berikan juga walkie-talkie kamu ke Calix, oke? Ganti," lanjut Luna kembali fokus pada percakapan.

"Oke, sip. Kita mau ketemu di titik mana? Ah, karena kita juga punya dua tokoh utama bagaimana kita ke tempat penyihir? Ganti." Evelia mengangguk-angguk berpikir rencana ke depannya, masih serius dia melirik Calix memberikan kode untuk menunggu.

"Boleh, boleh. Kita ketemuan di titik tepat di belakang rumah sakit jiwa aja gimana? Dari sana baru kita nyusun rencana. Gimana? Ganti." Luna kembali memberikan konfirmasi, itu mudah untuk disepakati, mereka akan bertemu di titik awal.

"Oke, fiks, ya? Ketemuan di sana. Ganti."

"Oke."

Sambungan walkie-talkie ditutup dengan kebingungan tergambar jelas di wajah Calix. Evelia tersenyum simpul, memberikan satu walkie-talkie dan menyodorkan tas, sekarang kondisinya sudah lebih baik. Mereka bisa pergi ke titik temu kembali berkumpul dengan anggota lain.

Sesaat menyodorkan walkie-talkie, Evelia menggenggam tangan Calix dan mengecup punggung tangannya singkat, membuat sang empu terkejut kembali menarik tangan. Evelia terkekeh, tapi tidak ada seringai main-main di sana. "Kita butuh kekuatan kamu. Kita pergi sekarang. Bakal aku jelasin gimana cara gunanya di jalan."

Calix menghembuskan napas, mengibaskan tangannya, entah kenapa dia tidak bisa menahan senyum di bibir, sudut bibirnya berkedut. Ada apa dengan author gila ini? Apa dia tidak merasa malu? "Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu."

Evelia menuruni anak tangga mengangkat bahu, dia menyeringai jahil menggelengkan kepala, menengadah menatap antagonis. "Aku juga sama, santai aja." Calix berdecih tetap memimpin jalan, pergi mengikuti suara-suara alam di sekitarnya.

.

.

.

Luna memandang langit, sudah mulai terang sekarang, fajar menyingsing dari arah timur sedangkan mereka sudah bersiap pergi. "Apakah aku harus menggenggam tanganmu sepanjang perjalanan?" tanya Cavin polos berharap demikian. Itu keinginan sederhana yang tidak pernah didapatkan pemuda itu.

Luna tetaplah Luna. Author itu melirik Cavin yang kini tersenyum cerah, siap menghancurkan harapannya. "Gak." Sebagai balasan
Cavin berdecak malas dengan ekspresi lesu. "Yang benar saja. Kau tahu, kan? Kalau aku dekat dan bersentuhan denganmu. Aku tidak akan terkena sial dan kamu juga tidak akan tertular kesialan?"

Luna menghembuskan napas menggendong ranselnya, dipikir-pikir iya juga sih. Tapi, nanti bocah ini akan semakin menempel. Menimbang-nimbang dia merogoh pita yang terselip di ransel kemudian mengikatnya pada pergelangan tangan Cavin juga dirinya. "Segini cukup, kan? Kamu nganggep aku kaya jimat aja." Cavin tersenyum cerah mendapati pita merah terjulur yang menghubungkan kedua tangan mereka. "Cukup, kok."

Luna tertawa kecil, sepertinya pria ini tertular bicara non formal seperti dirinya. "Baiklah, kita pergi sekarang ke sisi luar hutan sampai melihat rumah sakit jiwa. Kamu inget, kan? Gimana kalau ada titan?" Luna bertanya seperti mengasuh anak TK dengan instruksi sederhana.

Cavin mengangguk cepat, menatap gadis itu penuh semangat. "Aku harus bersentuhan dengan titan tersebut hingga membuat dia sial. Benar bukan?" Luna mengangguk memberikan acungan jempol, sejujurnya itu cukup ekstrim dilakukan, tapi dibanding dia mati, lebih baik menjadikan anak ini sebagai tumbal. Jahat memang, tapi, masuk akal.

"Yuk. Ikutin aku."

"Oke."

Keduanya berjalan keluar dari air terjun, sinar jingga mencuat indah dari ufuk barat. Setidaknya monster tidak akan muncul di siang hari, mereka bisa pergi dengan tenang. "Yok! Palingan nanti malam kita sampai. Semangat!" Cavin berjalan mengikuti Luna, mereka mulai memasuki hutan. Langkah keduanya ringan, tampak ingin menikmati perjalanan.

Tapi, itu tidak berjalan lama, baru saja masuk secara tidak sengaja ada kecoak yang mengenai wajah Luna dan membuat gadis itu refleks berteriak. Cavin yang ikut panik mengeluarkan kekuatannya dan membakar kecoak, kecoak itu gosong, walau karenanya Cavin membakar pohon sepanjang seratus meter. Kekuatannya belum terkendali dengan benar.

"Cavin. Cepet matiin apinya, woy! Gimana nanti kalau hutannya kebakaran?!" Luna panik, begitu juga Cavin, wajah pria itu tegang berusaha memadamkan api. Sialnya dia memilih elemen yang salah, Cavin malah mengeluarkan kekuatan angin yang membuat api semakin besar melahap hutan.

"Cavin! Please, lah! Make air woy! Air! Masa gitu aja gak tahu?!"

"Susah! Bagaimana melakukannya?! Gak ada air!"

"Tadi juga api emang kamu dapet dari mana? Kamu yang nyiptain sendiri kan?!"

"Tapi air yang dibutuhkan banyak!"

Luna benar-benar frustasi, dengan kesal dia menarik kerah pemuda itu, menyodorkan wajah Cavin pada air sungai di belakang mereka. Kenapa juga pria ini begitu bodoh? Dengan telunjuk tangan dia menunjuk sungai emosi. "Noh! Air banyak! Cepet matiin!" Cavin baru saja tersadar dengan fakta itu cengengesan, mengangguk segera menggerakkan air sungai memadamkan api. Dengan hembusan napas mereka terjongkok lemas.

"Maaf. Airnya tadi tidak kelihatan."

Luna meringis, kesabarannya yang setipis tissue dibagi sepuluh meronta-ronta. Padahal tadi airnya ada tepat di belakang, ini baru saja mulai memasuki hutan, bagaimana ke depannya? "Ya Tuhan. Tolong hambamu ini. Evelia..., aku pengen pulang...,"

"Maaf, Luna. Aku tidak sengaja melakukannya. Maaf."

"Gapapa. Aku kuat kok. Aku strong (stress tak tertolong). Yuk, jalan lagi. Seriusan. Gapapa, kok. Gapapa."

Cavin mendekati Luna dengan wajah memelas andalannya, Luna mengernyitkan dahi meninju bahu pemuda itu menjauh. Dia masih kesal, mereka bangkit kembali berjalan memasuki hutan. Tampaknya Cavin merasa bersalah kembali bertanya, "Sungguh? Sungguh tidak apa-apa?"

Luna menatap pria itu mengangguk miris, dengan senyuman palsu biasanya dia mengangguk setengah melotot. "Iya, gapapa. Cuman sekarang kamu diem aja. Aku teriak kaya orang gila sekalipun jangan ngeluarin kekuatan, oke?" Cavin menaruh kata-kata itu mengikatnya di dalam ingatan kuat-kuat. "Baik."

Seakan mengejek perkataan Luna, tiba-tiba di hadapan keduanya terdapat serigala yang siap menerkam. Luna menarik napas dalam-dalam melotot melirik samping, Cavin dengan polosnya berbisik bertanya, "Kita harus lari?" Luna menatap pemuda itu tidak percaya gemas balas berbisik, "Basmi, lah."

"Tapi katamu...?"

Serigala di depan mereka mendekat, membuat keduanya tersentak kaget. "Sesuai sinkron. Sesuai kondisi lah! Bisa gak sih gak banyak tanya?!" Lagi-lagi Luna berseru emosi, sebagai jawaban Cavin buru-buru mengangguk mengumpulkan kekuatan untuk melawan musuh sesaat serigala sudah meloncat ke hadapan Luna. "Cavin!"

"I- iya! Aku berusaha!" Cavin dengan fokus mengendalikan kekuatan dan membakar serigala itu hingga tidak tersisa. Suara lolongan serigala yang mati terdengar membuat serigala lain berdatangan. "Ma- Maaf." Luna sudah sangat pasrah dengan gaya bertarung anak bodoh ini. Dia mengusap wajah kasar. Ya Tuhan. Luna pasrah, Luna serahkan dirinya sepenuhnya kepadaMu.

.

.

.

"Welcome back zheyenk~"

Setelah akhirnya kedua anggota itu bertemu di belakang rumah sakit, dengan semangat Evelia memeluk Luna yang mulai menangis deras, membuat Cavin semakin merasa bersalah. "Luna. Kamu gak papa, kan?" Luna yang sudah sangat lelah, sudah mengorbankan air mata, raga, dan jiwa selama perjalanan bersama Cavin menggeleng. Rasa-rasanya Luna malah yang dinistakan oleh makhluk seperti Cavin.

"Mau pulang! Hiks!"

Evelia menenangkan gadis itu sementara Calix di belakang mereka meminta Cavin untuk mundur. Dia takut Cavin menularkan kesialan kepada mereka. "Gapapa. Gapapa. Aku di sini. Semuanya bakal aman, oke?"

Luna yang sudah menenangkan diri mengangguk dan menatap gadis di hadapannya lebih jelas. Dia mengedipkan mata dengan wajah berantakan. Eh? Ngomong-ngomong Evelia dan antagonis bagaimana bisa sampai ke sini? Apakah kekuatan Calix sudah bangkit? Tapi, kan kekuatan itu bangkit lewat ciuman.... Mata gadis itu melebar menatap Evelia tidak percaya.

"Oh- my- God! Lia kamu apain anak orang?!"

Evelia dan Calix menggeleng berbarengan sebelum Luna menunjuk buaya betina itu curiga "Kamu gak ngelakuin kaya gitu di hutan, kan?" Dengan serius keduanya menggeleng lagi membuat mereka makin mencurigakan.

"Tentu aja nggak!"

"Tentu saja tidak!"

Bersambung...

12/04/2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top