15. Mau ngeship, tapi fiksi
Peringatan; Bab ini bisa membuat kalian tidak nyaman dan mengambil isu sensitif.
Evelia bisa merasakan tubuhnya terguncang digendong oleh Calix sepanjang perjalanan. Dengan kuat gadis itu mencengkeram kerah baju sang pangeran karena takut terjatuh. Kepalanya juga masih sangat sakit, walau begitu dia masih bisa mengetahui apa yang terjadi. "Apakah kau bisa naik?"
Evelia mengangguk lemas, melirik sekitarnya yang kini ditutupi hutan rimbun. Di atas terdapat rumah pohon tua, mereka bisa bersembunyi di sana. Ekspresi jahil gadis itu lenyap, entah ingatan apa yang men-trigger gadis itu hingga ekspresinya semakin buruk.
Tubuhnya berusaha mengerahkan semua tenaga pergi ke atas, sebelum limbung dan ditangkap oleh Calix dari belakang, Evelia berpegangan lagi pada lengan itu. Dia tidak akan melakukannya jika saja kepalanya tidak sesakit ini, tapi rasa sakit nyeri ini membuatnya bisa gila. Dengan lemah dia mendongak ke atas, wajah pucat dengan netra mengembun lagi-lagi dia berusaha naik.
"Jika kamu tidak kuat sendiri. Aku akan memangkumu."
Evelia menggeleng, dia tidak butuh bantuan lagi, Calix sudah membawa banyak barang. Dirinya juga tidak mau merepotkan lebih jauh, masih keras kepala Evelia menimpali, "Tidak. Aku bisa." Walau Evelia berkata demikian, Calix masih saksama berjalan tepat di belakang gadis itu jika- kalau gadis itu terjatuh. Tampaknya Evelia berhasil dan langsung terduduk lemas bersandar pada dinding kayu.
Sementara di sisi lain Calix membawa barang-barang naik dan membereskannya di sana. Gerakan pria itu cekatan, seolah terlatih segera memberikan obat dan memberikan ruang yang nyaman bagi Evelia yang sakit. Kondisi Evelia semakin memburuk, tubuhnya semakin panas, juga keringat dingin yang membanjiri tubuh.
"Minum obat ini. Ini untukku berjaga-jaga jika terjadi hal seperti ini. Aku juga memiliki air putih untuk menetralkan rasa pahitnya."
Evelia tidak bisa berkutik atau menolak, dia hanya mengangguk dan menurut. Dibantu Calix dia meminum obat pahit dengan air putih sebagai penetralisir. "Terima kasih," gumam Evelia lirih. Calix tidak berkata apa-apa, dia sudah terbiasa mengobati sang ibunda. Kondisi ini sudah seringkali dihadapi. Pria itu membuka jubahnya dan menyelimuti Evelia untuk menghangatkan tubuh.
"Katakan. Apa yang kamu butuhkan. Aku akan mencarinya."
Evelia memandang pria itu mengerutkan dahi. Air matanya menggenang, kenapa pria ini merawatnya? Namun, mengingat bahwa pria ini selalu merawat ibunya yang sakit membuat bibirnya bungkam. Ah, Calix hanya kasihan pada dirinya. Evelia mengepalkan tangan, tapi dia tidak bisa menolak rasa kasihan ini, dia butuh untuk saat ini.
"Kau tidak apa-apa?"
Calix yang mendapatkan Evelia yang kini semakin pucat dengan netra berurai air mata segera panik. Dia pikir Evelia semakin sakit, dia sudah beranjak ke pintu keluar untuk mencari tanaman obat sebelum Evelia menarik pakaiannya. "Tolong jangan pergi. Kumohon..."
Calix terkejut dengan pernyataan itu sebelum akhirnya melihat ekspresi yang semakin buruk, dengan sigap dia diam di sana, menggenggam tangan gadis itu hangat. Sementara Evelia memejamkan mata, semua pengalaman mengejutkan ini membuatnya mengingat hal-hal menyakitkan, tanpa sadar dia memutar memorinya soal masa lalu kelam yang selama ini ingin dia lupakan.
Ah, ya, itu semua yang menciptakan seorang Evelia menjadi seperti ini.
.
.
.
Evelia adalah gadis cerdas juga ceria. Usianya saat itu sembilan tahun ketika dia mendapatkan piala setelah mengikuti lomba menulis cerita nasional. Dia ingat, hari itu rumahnya yang biasanya hangat menjadi begitu dingin dan kacau. Teriakan dan umpatan diluncurkan orang tuanya satu sama lain hingga akhirnya mereka memutuskan bercerai.
Kakak laki-lakinya yang saat itu SMA pun merasa tertekan dan pergi dari rumah untuk tinggal sendiri. Lalu apa yang bisa dilakukan gadis kecil sepertinya? Dia hanya bisa menahan tangisannya dan tersenyum, menggapai tangan orang tuanya dan berpura-pura bahwa tidak tahu adanya pertengkaran.
Di rumahnya tidak pernah ada kekerasan fisik. Itu adalah prinsip yang keluarga mereka pegang, tapi, karenanya, ucapan mereka sangat tajam dan menyakitkan. Hari itu dengan menampilkan senyuman palsu pertamanya dia tertawa lebar. "Bunda, Ayah, Lia dapat piala. Puji Lia dong."
Setelah hari itu berlalu, orang tuanya tinggal terpisah. Dia tinggal bersama ayahnya selama setahun, setelah setahun dia mendapatkan alasan ibunya pergi karena ayahnya berselingkuh. Lagi-lagi dia hanya bisa tersenyum dan pura-pura tidak tahu. "Tante cantik, deh."
Umurnya sebelas ketika mendapatkan hari itu, ayahnya ditangkap polisi karena korupsi dengan jumlah besar sebagai pejabat. Rasa malu dan amarah itu dia pendam. Lagi-lagi dengan senyum lebar dan kembali berpura-pura dia berkata. "Ayah, aku akan merindukan Ayah."
Setelahnya, bahkan, ketika kejadian itu terjadi. Kakaknya tidak pernah kembali datang. Dia kini tinggal dengan ibunya yang mulai tidak waras. Ibunya mengikuti aliran sesat fanatik yang menginginkan kedamaian dengan mempromosikan patriarki yang ketat. Mengatakan wanita hanyalah barang yang melengkapi laki-laki bukannya manusia. Dan laki-laki yang harus mendapatkan segala-galanya dan memerintah.
Dia ingat, saat itu usianya tiga belas tahun ketika ibunya semakin gila. Atas ajaran sesat pemimpin itu, ibunya akan menikahkan dirinya dengan pemimpin tua yang dianggap mereka suci yang telah memiliki banyak istri. Saat itu Evelia menolak, tapi tamparan keras yang didapatinya, itu kekerasan pertama yang dia dapatkan. Dan akhirnya dia dipaksa menikahi pria tua tersebut. Dan saat itu dia hanya bisa tersenyum paksa. Lagi.
Di usianya yang keempat belas dia hamil, tapi karena stress dan hampir gila dia keguguran dan membuatnya dikurung di tempat isolasi tanpa asupan selama seminggu. Kakaknya yang akhirnya mengetahui kekejian itu melaporkan ajaran sesat itu dan membuat semua anggotanya masuk penjara. Sementara pemimpinnya dihukum mati karena sudah menikahi gadis di bawah umur dan melecehkan banyak gadis lagi di luar sana.
Di usianya yang kelima belas dia menghabiskan semasa hidupnya di rumah sakit jiwa. Dan akhirnya di usia enam belas tahun dia keluar dari sana dan tinggal bersama sang kakak dan memulai kehidupan SMA sebagai gadis ceria dan jahil. Lagi-lagi. Semua itu hanyalah kepura-puraan. Dia benar-benar pandai dalam berpura-pura.
Hidupnya yang hanya kepura-puraan diketahui Luna. Yang membuat tali sahabat mereka kuat. Setelah muak dengan kehidupan, akhirnya Evelia membuat menulis menjadi alasan dia untuk membalaskan dendam pada orang-orang yang dia benci.
Evelia menyembunyikan wajahnya, dia sudah tidak tahu harus bagaimana. "Maafkan aku. Maafkan aku."
.
.
.
Luna berdecak sebal. Kenapa juga Cavin mengatakan hal itu? Dia bisa paham jika Cavin terkejut jika Luna tidak mengalami kesialan sama sekali. Tapi, memikirkan seharusnya dia terkena sial itu tetap saja menyebalkan. Otak randomnya memikirkan kemungkinan juga teori yang dipikirkannya masuk akal, segera saja dia berseru semangat.
"Ini seperti teori ayah dan ibu. Seperti ibu akan lebih dekat dengan anak laki-lakinya dan ayah akan lebih dekat dengan anak perempuannya. Karena Evelia yang menciptakan Cavin, aku jadi bisa lebih dekat dengan Cavin dan tidak terkena sial karena kemudahan dekat itu. Sedangkan aku yang menciptakan Calix, membuatnya lebih dekat dengan Evelia jika merujuk pada teori itu."
Cavin yang mendengarnya dengan mata berbinar semakin mendekati Luna seperti anak anjing, sementara Luna segera menarik jarak-- tetap saja takut. "Apa-apaan kamu?" Cavin tertawa kekanakan dengan senyum lebar, pipi pria itu kemerahan sementara wajahnya kegirangan. "Bukankah berarti kamu bisa dekat denganku tanpa sial? Berarti aku bisa bersama denganmu sepanjang waktu bukan?!"
Luna menggeleng keras menolak. Dia tidak mau dekat dengan Cavin yang bodoh, pria seperti ini pun bukan seleranya. "Yah, walau begitu bukankah kita berdua cocok seperti teori tadi? Begitupula dengan Calix dan Evelia. Bukan begitu?" Lagi-lagi Cavin berusaha memberikan pembelaan, mencari-cari alasan agar bisa dekat dengan Luna. Pikirkan saja, seumur hidup dia selalu sial, sekarang ada satu orang yang tidak akan sial hanya karena berdekatan. Tentu saja dia sangat senang!
"Ck, maunya kamu aja gitu. Mau ngeship, tapi fiksi. Tetep aja buat kita kalian tuh gak nyata," cibir Luna melipat kedua tangan mengalihkan pandangan.
Cavin mengerucutkan bibirnya, dia dengan manja mendekati Luna yang semakin menjauh bergidik ngeri. "Jangan deket-deket. Aku gak suka tahu!" Luna bisa melihat ekspresi sedih di wajah itu, membuatnya menghela napas, karena kasihan melihat Cavin yang memelas dia membiarkan pria itu mendekat, mengusap kepalanya."Untung aja ganteng. Kalau nggak udah kutendang dari tadi."
Bersambung...
12/04/202
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top