14. Kabur! Ada Titan!

Jadi, apa yang terjadi selanjutnya?

Kesunyian mengisi, dua tenda dipasang dan pada akhirnya mereka memutuskan untuk bekerjasama. Malam semakin larut sedangkan udara dingin menusuk, setelah percakapan bersama Evelia merasa kepalanya nyeri. Untuk beberapa alasan ada memori buruk yang tidak dia sukai terlintas membuat kilas balik.

Evelia merasakan kepalanya semakin sakit, mulai terbangun. Dia melirik ke arah luar tenda dan beranjak pergi. Terdapat satu tenda yang terpasang di samping milik mereka, sedangkan Cavin tidur di kereta kuda menjaga jarak. Asap keluar dari bibir sesat menghembuskan napas, Evelia tertawa kecil. Kakinya melangkah mendekati api unggun yang setengah menyala, dia menambahkan beberapa kayu lagi.

Langit benar-benar gelap tanpa bintang, berawan, dia menghirup udara dalam-dalam untuk menyegarkan pikiran kacau yang semakin menjadi. Ingatan-ingatan samar menghantui kepala, pada akhirnya dia menyerah untuk tenang dan mulai memijat kepalanya yang semakin nyeri.

"Apa kau tidak bisa tidur?"

Evelia yang sedari tadi terdiam di depan api unggun mulai mencari sumber suara, netra birunya menemukan pria dengan manik emas menyala menatapnya tanpa ekspresi. Surai pirang itu menari-nari diterpa angin kecil. "Ya. Sedikit mimpi buruk. Ngomong-ngomong bukannya kamu membenciku ya? Jangan berpura-pura baik. Itu tidak membantu sama sekali."

Evelia terkekeh manis, sorotnya masih santai tanpa beban walau sebagian wajah gadis itu pucat. Calix yang notabenenya selalu mengurus orang sakit tahu hanya dengan melihat wajah pias sang author. Tapi, dia tidak mengatakan apa pun dan duduk di samping Evelia. "Ya. Aku menyalahkanmu. Tapi, bukan berarti aku harus membencimu kan?"

Evelia menaikkan sebelah alis melirik pemuda itu tidak mengerti. "Seriusan? Aku benci banget loh sama kamu," jelasnya terang-terangan. Maksud Evelia-- dia membenci tokoh ini dengan maksud bisa dinistakan sepuasnya. Tapi, apa reaksi yang didapat? Apa antagonis ini tidak terlalu baik hati? Baru saja pikirannya teralihkan, sakit kepala menyerang hingga dia meringis kecil.

"Apa alasannya?"

Evelia menggelengkan kepala, menatap Calix serius. "Gak ada alasan. Udah kubilang kan, aku suka nistain kalian semua." Calix mengangguk bersikap santai seperti author ini, membuat Evelia semakin bingung. Sedangkan pria itu tahu, mengatasi orang seperti Evelia harus lebih tenang darinya. "Kau tidak membenci kami. Kau suka menistakan kami. Itu dua hal yang berbeda."

"Apa kau butuh obat?"

Evelia lagi-lagi menggeleng, ada yang tidak beres dengan otak Calix! Dan soal obat, lagipula di sini tidak ada obat pereda nyeri yang simpel seperti di dunianya. Dia tidak mau lagi meminum semangkuk cairan hitam pahit seperti ramuan kotoran yang diminumnya saat tubuh Calista sakit. "Jangan pedulikan aku. Aku bisa mengurus diriku sendiri."

Calix menggulirkan netranya dan menaruh kayu bakar lebih banyak agar api tetap menyala. Lagi-lagi perhatiannya kembali menuju gadis itu yang kini menatapnya curiga. Calix menyeringai tipis, jika orang ini author seharusnya dia tahu banyak kan soal tokoh-tokohnya? "Maafkan aku soal tadi. Aku tidak bermaksud. Aku tahu, bukan kau yang menciptakan aku."

"Ck, jangan coba-coba salahkan Luna soal ini. Walau memang Luna yang menciptakanmu. Aku yang memberikan garis besarnya. Tidak apa-apa membenciku. Aku tahu diri dan sadar atas apa yang aku lakukan."

Evelia menatap lurus ke depan, ekspresinya mulai kembali tenang dengan seringai menyebalkan. Calix berdecih dan mengalihkan pandangan. Keduanya terdiam sebelum merasakan getaran di sekitar mereka. Bahkan Cavin yang berada di kereta kuda keluar, menyadari adanya guncangan. Sebenarnya tempat ini tidak bisa disebut sepenuhnya sebagai kota. Kalau bisa dibilang, seperti tempat terpencil dengan sedikit penghuni yang dipenuhi rimbunan pohon dan monster. Benar. Monster atau sebut saja titan. Karena bentuk mereka yang berbeda-beda dan menyeramkan.

"Titan. Kita harus segera lari!"

Evelia mengenyampingkan rasa sakit di kepalanya berseru kencang, begitu juga Calix yang segera bangkit. Evelia kembali ke dalam tenda segera menarik Luna keluar dari tenda-- membawa ransel mereka. Sedangkan Calix dan Cavin buru-buru membawa makanan dan barang-barang berguna yang tersisa.

Mereka berdua sudah bersiap menaiki kuda bergegas pergi. Tapi, terlambat, dari arah hutan terlihat titan yang keluar dari tanah berbentuk setengah manusia dengan ekor cacing di belakangnya. Tanah terbelah membuat goncangan besar juga patahan.

"Awas!" Sebelum Evelia dan Luna bersiap menghindar. Calix menarik Evelia untuk berdiri di sisi kanan, sedangkan Cavin menarik Luna ke sisi kiri. Tanah di tengah mereka terbelah, kuda juga sebagian barang terjatuh masuk, menghadirkan titan dengan bentuk pria botak tua serta ekor cacing mengibas ekor kasar, menargetkan mereka untuk diburu.

"Jangan diem aja! Cepet lari!"

Evelia berteriak, menyadarkan mereka semua yang terperangah pada titan tersebut. Dengan cepat Evelia melirik Luna dan menganggukkan kepala, segera menarik Calix berlari ke arah hutan barat. Sedangkan Luna memberi isyarat pada Cavin untuk berlari mengikutinya ke arah utara hutan. Mereka harus berpisah untuk sementara.

"Evelia! Awas!"

Evelia bisa merasakan jantungnya berdegup kencang ketika tanah di depan mereka terbelah, membuat retakan besar. Jika saja tidak ditarik oleh Calix, dia sudah pasti akan terjatuh. Sedangkan di dalam sana terdapat anak-anak dari titan dengan jenis yang sama siap melahap mereka kapan saja. Evelia menegak ludah menggenggam tangan Calix kuat.

"Loncat! Kita harus loncat Calix!"

"Kau gila?!"

Mereka saling berteriak, sebelum menyadari di atas mereka terdapat monster seperti naga, hanya saja di bagian kepalanya terdapat wajah manusia wanita. Tampaknya monster itu mengincar mereka juga anak-anak cacing titan. Evelia dengan cekatan menarik tangan Calix mengambil ancang-ancang. "Kita lari terus loncat, oke?"

"Jangan mengada-ada!"

"Satu, dua-"

"Hey! Apakah kamu benar-benar akan melakukannya?"

"Tiga!"

"Evelia!"

Mereka berdua berlari dengan kencang, lantas meloncati retakan yang memiliki kedalaman seperti ngarai sejauh delapan ratus meter. Di ujung patahan mereka mendarat dengan terguling di tanah sebelum Evelia kembali menarik tangan Calix menuju ke dalam hutan. "Kan dah kubilang bakal selamat!" seru gadis itu tertawa lepas.

Calix mengusap keringat di pelipis, gila, mereka hampir saja mati. "Kau gadis paling gila yang pernah aku temui." Sebagai balasan Evelia terkikik kecil sebelum kembali merasakan sakit kepala. Kali ini sakitnya semakin parah hingga membuat dia berhenti dan meringis. Semakin masuk ke dalam hutan, mereka semakin menemukan banyak monster aneh walau dengan bentuk lebih kecil. Baru saja Calix hendak bertanya, di dekat mereka terdapat beruang hutan buas. Dengan berdecak sebal dia segera mengambil ransel Evelia dan menaruhnya di pundak lantas menggendong Evelia segera beranjak pergi secara perlahan. "Kita harus bersembunyi."

Sedangkan di sisi lain, Luna dan Cavin sudah memasuki daerah selatan yang terdapat hutan rawa. Bau menyengat tercium membuat keduanya hampir muntah jika saja dari arah belakang titan cacing tidak mengejar membuat perhatian mereka teralihkan.

"Apa yang harus kita lakukan ?!"

"Kamu pikir aku tahu?!"

"Kau author!"

Luna ingin menangis dan menjitak kepala Cavin. Bisa-bisanya dia berkata bodoh seperti itu di situasi kacau di tengah kejaran titan abnormal. Walau idenya juga  yang membuat titan, sejujurnya (sungguh, dia menyesali hal itu) dia tidak mau jika ada titan yang mengejarnya seperti ini. Pikir Luna! Pikir! Apa kelemahan mereka?!

"Luna!"

"Sorry!"

Luna menghentikan langkahnya dan mendorong Cavin pada bagian tubuh cacing titan. Satu tubrukan singkat itu membuat Cavin terpental ke atas pohon dan tidak sadarkan diri. Sedangkan titan yang mengenai makhluk penyebar kesialan tidak sengaja mengibaskan ekornya terlalu kencang. Hingga di atas mereka yang terdapat bukit berbatu, batu-batu itu berjatuhan mengenai titan yang kini sudah sekarat. Benar, dia punya senjata paling kuat di dunia ini, si sialan.

Luna menghembuskan napas lega, ternyata ada waktu kesialan itu bisa berguna seperti sekarang. Dengan lemas dia menghampiri pohon tempat Cavin berada dan menarik pria itu hingga jatuh ke bawah tanah. Luna meringis, aduh, itu pasti sakit. Walau begitu nyawa mereka lebih penting, setidaknya Cavin masih bernapas. "Hah.... Sorry Cavin soal yang tadi. Dan-" Luna melirik tubuh titan yang mulai bergerak-gerak, astaga, sekarang bukan waktunya tenang! "- kayanya aku bakal gusur kamu sampai ke tempat yang aman."

Luna menggusur tubuh pria itu dari bagian atas tubuhnya, tentu saja karena Luna tidak bisa menggendong pria yang memiliki besar tubuh dua kali lipat darinya. Menjauhi tempat penuh rawa tersebut dia terus berjalan cukup jauh hingga menemukan gua di balik air terjun. Keringat membasahi tubuh sementara napasnya memburu, tubuh pria ini berat sekali.

"Hah... Hah... Capek banget." Luna menyeka keringat dari leher dan dahi, melirik pria yang masih belum sadarkan diri bahkan setelah digusur sedemikian rupa membuatnya kesal. Segera mengambil air dari sungai dia mengguyur wajah pria dengan surai pirang emas hingga terbangun.

"Woy! Bangun! Udah kugusur capek-capek. Ayo sembunyi di sana, bisa jalan sendiri, kan?"

Cavin yang baru saja terbangun linglung dan hanya mengikuti langkah Luna. Bukankah seharusnya dia yang marah sekarang? Lihat pakaiannya yang kotor karena tanah karena digusur juga beberapa goresan ranting di tubuh. Tapi, mengapa gadis itu yang terlihat kesal? "Buru, Cavin..., lelet banget sih. Dasar manja." Luna malah gemas menatap kesal membuat sang empu segera mengangguk cepat.

"Baik, baik." Cavin menurut, meloncati batu-batu dan menuju gua di balik air terjun untuk bersembunyi sekaligus beristirahat. "Gak ada yang sakit, kan?" Pertanyaan yang diajukan Luna membuat Cavin yang masih lemas tercengang dan segera mengangguk. "Tidak ada. Aku hanya terkejut. Kenapa memangnya?"

Luna menghembuskan napas lega sembari menatap air terjun yang deras. Peluh masih membasahi tubuh, langit masih gelap setelah kejar-kejaran titan tadi. Luna juga bukannya peduli, dia hanya tidak mau Cavin memusuhinya karena itu. "Aku khawatir kamu kenapa-kenapa gara-gara tadi. Tapi, untung baik-baik aja. Tadi satu-satunya cara sih buat ngehindar. Maaf, ya."

Cavin dengan canggung mengangguk, dia tidak menyangka kalau gadis itu mengkhawatirkannya, padahal sebelumnya Luna takut dekat-dekat dengannya. Cavin merasa senang ternyata author Luna tidak seburuk yang dia pikirkan. "Eh. Bukankah sedari tadi kita dekat ya? Kenapa kau tidak sial?"

"Kamu mau aku sial?"

Bersambung...

12/04/2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top