13. Ini semua salah kau!

Calix tidak bisa menahan raut wajahnya yang semakin memerah. Sementara Evelia hanya tersenyum tanpa dosa menatapnya dengan sorot kosong. "Baiklah. Jika pernyataan mustahil itu benar. Itu mengartikan kau adalah penjahat sebenarnya di sini bukan? Bukan aku yang kau sebut antagonis ataupun anak sial itu yang menyebabkan kehancuran dunia. Ini semua salah kau!"

Luna tidak terima dengan amarah Calix, mereka sendiri saja bahkan tidak tahu mengapa mereka kemari, terlebih Evelia bukan satu-satunya yang salah. Luna yang hendak protes terhenti sesaat Evelia menepuk bahunya menggeleng pelan. Evelia masih dengan seringai menyebalkan, ekspresi tenang menjawab. "Benar. Aku adalah penjahat sebenarnya di sini. Suprise!"

Calix maupun Cavin tidak mengerti dengan pemikiran jiwa yang merasuki tubuh Calista. Padahal gadis itu bisa berpura-pura merasa bersalah dan mengatakan itu adalah kesalahan, dia tidak bertanggung jawab atas hal itu karena novel itu diciptakan untuk kesenangan publik. Tapi, apa? Gadis ini, dia melakukannya untuk menyiksa seseorang. Bukankah dia bisa disebut psikopat?

"Apakah kau tidak menyesal?" tanya Cavin getir menatap tubuh sahabat baiknya dimasuki jiwa jahat seperti penulis psikopat ini. Dengan senyuman tipis Evelia menatap Cavin, sorotnya gelap membuat semua orang di sana merinding. "Kehadiran kalian hanyalah untuk disiksa untuk kepuasanku. Itu kegunaan kalian. Karena tidak ada yang namanya dunia indah di manapun itu berada."

Kedua pria itu benar-benar muak mendengarkan penuturan Evelia, author ini sakit; begitu gelap dan tidak waras. Mereka tidak mengerti jalan pikirannya. Menyadari suasana semakin buruk Luna berdehem membuat semua atensi kepadanya. "Aku tahu ini tidak sopan. Tapi aku rasa kalian harus mengetahui siapa kami dan bagaimana skenario dalam novel yang kami buat ini berjalan ke depannya. Anggap saja sebagai kompensasi dari sikap buruk kami."

Luna melirik Evelia mencubit lengan sahabatnya. Luna memberikan kode dari sudut mata, walau mereka berdua adalah tokoh penistaan-- tetap saja mereka tokoh-tokoh utama. Setidaknya jangan sampai membuat mereka menjadi musuh, lebih baik dijadikan kawan. Susah menyingkirkan dua orang ini. Evelia meringis mengusap lengannya terkekeh kecil dengan seringai main-main. "Ah, iya, betul, betul. Walau aku benci kalian, kalian benci kami. Lebih baik kita bekerjasama kan? Jika kiamat bukan saja para author yang mati, kalian juga semua orang yang kalian sayangi pun termasuk."

Calix masih marah dengan fakta tidak masuk akal, penghinaan atau sikap egois author. Tapi, dia tidak bisa mengabaikannya, dia harus tahu lebih banyak jika ini nyata. Dia memiliki ibunda juga rakyat untuk diselamatkan sebagai tanggungjawab. Meredam dan kembali menetralkan emosi Calix mengangguk serius. "Aku akan mendengarkan."

Cavin sendiri yang mengetahui dirinya adalah pemeran utama yang membuat sahabatnya mati merasa harus ikut bergabung. Dia pada dasarnya memang memiliki banyak kesialan, tapi, dia harap memiliki sedikit kegunaan di hidupnya yang penuh kesialan ini. "A- aku juga! Aku tidak mau Calista mati. Aku akan bergabung!"

"Heh, aku hanya mendengarkan, tidak berpikir ikut mereka. Bisa-bisanya kau langsung percaya."

Calix mendelik pada adik tiri bodoh sekaligus naif. Mereka memang musuh, tapi posisi mereka di sini sama, mengapa anak ini masih dengan polosnya ikut-ikutan saja? "Tapi, mereka terdengar tidak berbohong."

"Bodoh."

"Aku tidak bodoh!"

Luna terkikik kecil geleng-geleng kepala, sementara Evelia sudah mengedipkan mata bersiap ikut menistakan. "Bego berarti." Luna ikut menimpali jahat, "Idiot." Cavin menggembungkan pipi malu. "Kalian!" Tawa pecah mengisi perapian membuat suasana mulai rileks, walau Cavin menjadi bulan-bulanan.

Luna berusaha menahan tawa menggeleng kepala keras. Aduh, ini kan serius, mereka harus menghadapi kiamat, kok masih bisa ketawa-ketawa? "Ekhem! Lanjut lagi yang tadi. Perkenalkan, namaku Luna, aku penulis atau sebut saja author yang ikut menulis novel ini. Kini aku memasuki tubuh salah satu figuran pendukung antagonis, Ayudia Shaquille dalam Novel Eternal Blashphemy."

Evelia mengangguk kini dia mengedipkan sebelah matanya genit, membuat mereka merinding. Lagi-lagi author itu tertawa geli mulai memperkenalkan diri. "Kalau aku Evelia. Author utama dalam novel ini. Dan kini aku memasuki tubuh Calista Mckinzy, figuran pendukung yang akan mendukung pemeran utama pria. Oh, iya, sebagai tambahan aku suka cogan. Gak tahu cogan? Kira-kira yang kaya kalian lah, kalau kiamat gak jadi kira-kira aku mau ngeharem di sini."

Calix ataupun Cavin mengerutkan dahi mendengar perkenalan absurd Evelia. Luna menepuk punggung sahabatnya keras-keras yang dibalas dua jari peace. Evelia masih santai sekali mengobrol di tengah situasi ini. Akhirnya Luna menghela napas, mengambil alih, jika Evelia yang menjelaskan yang ada terdengar seperti candaan nanti.

Akhirnya dengan jelas Luna menceritakan setiap rincian dalam novel yang membuat kedua tokoh terkejut. "Karena wanita kami bermusuhan?" Luna mengangguk miris ketika dirinya menceritakan bagian tokoh utama wanita yang membuat keduanya kebingungan sekaligus jijik. Terlebih Calix yang menggeleng keras tidak percaya. "Bahkan saking cintanya aku membunuh Ayudia yang asli? Itu gila."

"Ya. Itu kenyataannya. Walau begitu jangan remehkan pemeran utama wanita, bagaimana pun dia bagian utama dalam novel ini. Dan juga dia memiliki pelet yang- bermaksud daya tarik- yang kuat secara ekstrim pada pria. Karena itu, jika kalian belum pernah jatuh cinta. Kalian akan cinta mati pada pemeran utama wanita," imbuh Evelia sedikit serius membahas tokoh yang mereka masukkan ke rumah sakit jiwa sebelumnya.

"Lalu apakah Calista yang akan mati itu benar?"

Kedua author mengangguk, Evelia menatap pria di hadapannya dalam-dalam. Ya, karena sekarang dia yang berada di tubuh Calista. "Ya, dia sakit setelah menemanimu melihat pesta kembang api tiga tahun ke depan. Karena semalaman kalian menghabiskan waktu bersama dan kamu juga tidak menghabiskan jatah kesialanmu yang sepuluh itu. Dia sakit parah, lantas meninggal esok paginya. Kan? Liat? Kamu tuh sial banget."

"Plis, Lia. Berhenti dulu nistainnya."

"Maaf, kelepasan."

"Kau jahat."

"Ya, dia memang jahat."

Mereka berempat terdiam setelah percakapan terakhir yang dibawa Calix. Tapi jika benar sesuai skenario takdir, mereka semua bisa saja mati berakhir menyedihkan. Sepertinya cahaya itu sengaja membawa dua author ini ke dunia mereka. Walau benci mengatakannya, dua gadis ini memiliki jalan keluar untuk menciptakan akhir bahagia bagi mereka.

Hening mengisi sebelum Evelia kembali menyeletuk, "Btw, kalian ganteng juga." Luna menepuk dahi sementara Cavin salah tingkah, sedangkan Calix mendecih geli-- dasar mata cogan. Walau dia sendiri tidak terlalu tahu apa itu cogan. "Aku masih tidak percaya," kata Calix.

"Percaya-percayain aja," jawab Evelia santai kemudian melirik ke arah Luna. "Ya gak sih? Kita juga gak butuh-butuh mereka amat." Luna mendelik ketika merasakan tatapan tajam Calix yang kembali emosi. Sikap Evelia ini serampangan membuat dia sakit kepala. "Eh, ngomong-ngomong ada fakta menarik."

"Apa?" tanya Cavin penasaran.

Luna tersenyum lega, berhasil mengalihkan pembicaraan. "Sebenarnya di novel ini akulah yang menciptakan antagonis yang memiliki alasan jelas untuk menjadi jahat, yakni melindungi sang ibu. Jadi dia tidak bisa benar-benar bisa disebut jahat. Dan-"

"Apa maksudmu? Bukankah semua penderitaan di cerita ini yang menciptakan author itu?!" Calix yang mendengarnya lagi-lagi tidak percaya menunjuk Evelia emosi. Dia bisa melihat ekspresi santai Evelia ketika dirinya yang mengatakan semua ini adalah kesalahannya. Tapi, bahkan yang menciptakan tokoh dirinya dan ibundanya adalah Luna!

"Santai bang. Santai."

"Hah. Ini kisah kami berdua. Evelia cuman gak mau aku disalahin."

Cavin terdiam menatap Luna yang terlihat sekali tidak suka. Dirinya sudah berpikir kalau memang kesalahan ini bukan hanya satu orang, tapi keduanya yang memiliki faktor utama pembentuk cerita. Sedangkan Calix terlihat bersalah sudah memaki Evelia.

"Jadi kau yang menciptakan tokoh-tokoh penjahat dan skenario manis? Setelahnya yang menciptakan lainnya adalah author Evelia?" Cavin mengedipkan mata polos tertarik, Luna mengangguk sebagai jawaban.

Evelia tidak sepenuhnya salah. Gadis itu memiliki kehidupan yang lebih berat dibanding keduanya. Dan Luna amat tahu, bagaimana Evelia dengan kuat masih bertahan. "Itu benar. Jadi jangan terlalu membenci Evelia. Dia gak sepenuhnya salah. Kalian juga bisa benci aku karena aku juga bertanggung jawab. Kami ini sahabat, gak ada yang boleh nyakitin salah satu di antara kami."

"Gapapa benci aku aja. Jangan benci Luna."

"Lia!"

"Apa? Bener kan? Kamu jangan gitu ah. Tahu semuanya emang salah aku."

Cavin dan Calix terdiam melihat perdebatan kedua author ini, mereka berdua tampaknya sangat dekat dan tidak segan satu sama lain. Kedua pria itu menatap langit gelap, udara semakin dingin juga fakta yang mereka dapatkan bukanlah hal baik. Memang benar seharusnya kedua tokoh ini marah. Mereka pantas melakukannya.

Tapi hal itu adalah kesia-siaan. Karena setidaknya, sekarang mereka bisa mengubah takdir masa depan. Calix memijat pelipis pusing, dia tidak bisa mengabaikan ini. Setelah semua penjelasan dia bisa menyimpulkan bahwa mengubah takdir dari kiamat adalah hal yang harus dilakukan. "Walau begitu, author. Apakah kalian akan membantu kami untuk bertahan hidup ke depannya?"

Luna dan Evelia terdiam, memandang Calix yang berdiri menunduk menatap mereka. Luna memalingkan wajahnya sedangkan Evelia menggaruk pipinya ragu. "Aku tidak tahu. Kami hanya akan mempertahankan hidup kami dan menghentikan kiamat. Jika kalian memang bisa membantu dan tidak menargetkan kami untuk dibunuh. Kami mungkin bersedia membantu kalian."

Calix mengangguk menarik napas panjang, netra emas pria itu menyorot api unggun dengan kayu terbakar. Cavin ikut bangkit merenggangkan tubuh. "Aku tak akan membunuh kalian, jadi aku akan bergabung. Aku tidak mau membunuh orang-orang yang aku sayangi. Aku mau berguna!"

Evelia maupun Luna menatap Cavin, surai emas pria itu masih terlihat indah bahkan di malam hari. "Kita lihat nanti," ujar Luna terkekeh kecil. Sedangkan Calix memperhatikan gerak-gerik Evelia yang terdiam tampak berpikir keras.

Calix pun sama, pikirannya penuh soal fakta dia dalam sebuah novel, bertemu saudara tirinya yang lahir dari permaisuri yang pasti dicinta raja, juga dua jiwa asing yang mencoba mengubah takdir. Ini semua membingungkan.

Bersambung...

11/04/2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top