12. Aku suka keributan

Luna beranjak cepat mendekati Evelia yang kini tergeletak di tanah, bibir gadis itu pucat pasi dengan darah segar yang menempel di bibir. "Lia. Aku mohon, jangan mati," gumam Luna dengan mata berkaca-kaca, suaranya sedikit gemetar. Tangannya menggenggam tubuh itu kuat. "Aku gak mau tinggal di sini sendiri sama tokoh-tokoh gila dan penistaan kita! Plis bangun, kamu lebih gila dari mereka jadi gak akan mati. Plis lah!"

"Woy, uhuk, uhuk, aku gak mati weh," balas Evelia terbatuk, netranya mendelik sebal menatap Luna yang hampir menangis mengira dia mati. Luna yang mendapatkan balasan tersenyum lebar, mengembuskan napas lega. Tanpa perintah Luna segera menggusur Evelia dari daerah perseteruan antagonis dan tokoh utama, dengan begitu kesialan Cavin tidak menyerang Evelia lebih parah.

"Gimana ceritanya tokoh utama sama antagonis bisa saling tahu mereka saudara? Kamu yang ngasih tahu?" Setelah beberapa waktu mengambil udara segar Evelia menatap perseteruan dua saudara mulai tertarik. Dia mengusap bibirnya yang memiliki noda darah menyeringai geli. Wah, ini tanda-tandanya cerita mulai hancur. Rencana mereka mulai berhasil untuk menghentikan kiamat karena takdir tidak berjalan sesuai yang dituliskan.

"Iya. Aku panik liat kamu dibawa pergi. Jadi, pas aku ketemu sama antagonis. Aku langsung minta tolong sama dia buat bantu aku dan bilang kalau si antagonis anak terkutuk permaisuri." Luna mengangguk tenang, ternyata pilihannya tidak salah. Dia mengusap wajah kasar melirik Evelia yang mulai pulih, senyuman mekar wajahnya. "Kamu udah gapapa kan?"

Evelia terkikik kecil melihat kekhawatiran sang sahabat, dia menepuk bahu Luna mengangguk puas. "It's okay. Aku udah baikan. Kalau kamu gak ada, aku gak tahu sekarang aku bakal kaya gimana." Keduanya terkekeh pelan saling pandang sebelum atensi mereka kembali menuju perkelahian. Evelia tersenyum lebar menekuk lutut mulai menyeringai menepuk tangannya membuat sorakan. "Gelut! Yok, gelut! Kalian mati kami yang puas!"

"Ngomong-ngomong aku suka keributan," bisik Evelia dengan seringai andalannya menatap asik ke depan, oh jelas sekali author pertama paling laknat ini senang melihat tokoh-tokoh ini saling menghancurkan. Luna mendengarkannya geleng-geleng kepala ikut melirik, dia terkekeh kecil mulai terhibur. "Menurutmu gimana hasilnya nanti?"

Evelia yang mendengarnya tertawa lepas menggelengkan kepalanya. Itu jawaban yang jelas, seperti langit berwarna biru dan air itu bening. Pertanyaan mudah. "Tokoh utama lah, dia kan tokoh utama. Pasti antagonis kalah sih, pasti." Luna mengernyitkan dahi kemudian tersenyum kecil, sedikit kasihan dengan antagonis karena dia yang membawanya kemari. Sementara Evelia hanya mengangkat bahu, tidak merasa bersalah sama sekali terus menikmati pertengkaran mereka.

Di sisi lain, kedua tokoh dalam novel yang menjadi tontonan kini saling berhadapan memicingkan mata-- menatap tajam satu sama lain. Cavin dengan sorot lelah dan sendu menatap kakak tirinya yang sering dibicarakan. "Apa kakak ingin membunuhku?" Cavin tahu pasti hal ini akan terjadi. Permaisuri pernah memperingatinya akan hal itu-- betapa putra mahkota membencinya sebagai anak yang disembunyikan.

"Kakak? Siapa yang kau panggil kakak? Aku bukan kakakmu, bodoh." Calix menaikkan sebelah alis keheranan, setidaknya kalau bodoh, otak anak kesayangan raja ini harusnya bisa digunakan. Untuk apa bertanya tentang keinginannya yang terpampang jelas? Kembali menghela napas dia membuang wajahnya, lantas dengan sebal mendengkus sebelum melempar salah satu pedang dari kudanya pada Cavin.

"Aku tidak akan membunuhmu. Aku ingin kita bertarung adil. Berjanjilah, pergi jauh dari sini jika aku menang. Dan jika aku kalah, kamu bisa ke istana untuk mengklaim takhta," ujar Calix mengacungkan pedang, setidaknya kalaupun dia jahat, dia tidak akan bertarung dengan orang bodoh-- harus ada pertarungan adil. "Angkat pedangmu dan serang aku."

Cavin dengan gugup mengambil pedang dan mengacungkannya pada Calix. Dalam hati jelas Cavin enggan melakukannya, lagipula buat apa? Dia tidak memiliki masalah dengan sang kakak dan tidak berniat menginjak takhta. Tapi, jika itu yang diinginkan orang ini maka biarlah begitu.

Keduanya saling berpandangan memegang pedang siaga, dengan cekatan Cavin melakukan serangan yang diantisipasi oleh tangkisan lawan. Serangan kembali diluncurkan, begitupula antisipasi juga bagaimana Calix yang dapat menghindar dengan mudah.

Suara pedang beradu kencang, derap kaki juga tubuh melengkung menghindari serangan membuat suasana semakin panas. Samar-samar terdengar sorakan yang tidak jelas, tapi samar terdengar ada kata mati di dalamnya, entahlah. Air wajah Calix masih tenang, sedangkan Cavin mulai sangat kewalahan dikarenakan energinya terkuras habis.

Calix masih memegang kendali dalam duel, ekspresi yang tenang dengan kalkulasi tinggi terlebih pengalaman dalam kelas membuatnya tidak mudah dikalahkan. Jelas, dia seorang Putra Mahkota. Tapi, dengan tidak masuk akalnya kini dia terjatuh, satu kaki Calix keram membuatnya tidak bisa bergerak bebas.

"Wah~ kesialan mulai menyebar bestie~"

Calix melirik sahabat tunangannya yang menyeringai jahat dari kejauhan, perkataan itu terdengar jelas. Apa maksudnya? Dia tidak mengerti. Sebelum akhirnya dia memilih untuk mengakhiri pertarungan dengan bertumpu pada satu kaki, kini dia memutar tubuhnya menghantam perut Cavin, tangannya menggenggam pegangan pedang kuat hingga akhirnya tokoh utama itu ambruk, mulai terjatuh dengan pedang di lehernya. Putra mahkota menarik napas panjang, berada di atas tubuh sang adik dengan pedang teracung.

"Ukh." Kaki Calix lemas, dengan jarak sedekat ini lagi-lagi hal tidak masuk akal terjadi. Kedua kakinya terasa lumpuh, tidak bisa digerakkan sebelum akhirnya mengambil kesempatan, Cavin bergerak menendang wajah pria itu hingga tersungkur. "Bagaimana ini bisa terjadi? Apakah kau benar-benar anak terkutuk?"

Cavin bangkit mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, menatap posisi mereka yang sudah terbalik. Di hadapannya terbaring kakak tiri sekaligus putra mahkota yang terengah-engah berusaha menggerakkan kaki juga sekujur tubuhnya yang mulai lumpuh. Cavin berpikir untuk memenangkan pertarungan ini sebelum mendengar sindiran sinis yang menghentikan aksinya. "Menang sih menang~ Tapi pake kesialan."

Cavin yang mendengarnya menghela napas-- mulai mendapati kesadarannya segera mundur mengambil jarak. Perkataan Calista benar, ini tidak ada baiknya jika dilanjutkan, dia pasti akan menyesali hal ini. Dia juga tidak menang karena murni atas kemampuannya, tapi karena kesialannya yang mendukung.

Langit mulai gelap, Luna maupun Evelia mendekati kereta mengambil persediaan yang dibutuhkan, tidak mempedulikan dua pasang mata yang memperhatikan mereka sedari tadi. Melemparkan pakaian bersih tanpa banyak bicara pada Cavin yang tubuhnya kotor-- terkenal Cavin harus mengubur mayat kusir yang tidak sengaja terbunuh, juga menunggu Calix pulih dari kesialan mereka masih bungkam mulai menyalakan perapian.

"Sebenarnya... Siapa kalian?"

Setelah pulih, tetap waspada Calix mendekati perapian mulai bertanya. Dia tidak bodoh, walau dua orang ini mendadak bungkam dari omongan anehnya yang didengar saat pertempuran-- dari gerak-gerik juga tingkah mereka berdua, mereka jelas bukanlah Calista maupun Ayudia. Mereka berdua orang asing yang tidak mereka kenal.

Evelia melirik sebentar sebelum terkekeh kecil melempar makanan yang ditemukan di kereta pada Calix yang menangkapnya cepat. Dia juga melemparkannya pada Cavin yang baru saja bergabung-- walau anak itu payah dalam menangkap dan membuat apel yang dilempar berguling ke tanah, tetap saja dia masih sial. "Aku boleh duduk di sini?"

"Nggak."

"Lia!"

Evelia terkikik jahil melihat Cavin yang mati kutu, mau duduk bersama karena kedinginan tapi dia punya kesialan. Rada kasian sih, tapi mau gimana lagi? "Jaga jarak bisa?" Cavin mengangguk cepat, setidaknya dia bisa mendengar Calista-- atau apalah yang ada di dalam tubuh adik sepupunya itu mengijinkan dia duduk bersama.

"Cieee, penasaran."

Evelia masih menyeringai dengan tawa menyebalkan membuat Calix berdecih mengerutkan dahi, orang ini sepertinya iblis. Luna melirik Evelia mulai gelisah apa yang harus dilakukan sementara author laknat ini masih dengan santainya bercanda. "Kasih tahu jangan?" Evelia melirik keduanya mengangkat bahu jahil. "Kasih tahu jangan ya~"

"Lama-lama aku bunuh kau."

"Hey, tidak baik membunuh."

"Lia serius deh!"

Evelia tertawa lepas kemudian mengangguk. "Okay, okay, jadi para tokoh penistaan yang saya cintai. Pertama-tama dan yang paling utama saya-" Luna menepuk punggung gadis itu kasar ikut-ikutan sebal. Evelia bisa serius gak sih? "Gak usah pake pembukaan." Setelah candaan menyebalkan author utama, kini mereka melihat wajah Evelia berubah serius, membuat suasana mulai tegang. "Sebelumnya apa kalian pernah membaca novel? Novel tragedi barangkali?"

"Jangan bercanda."

"Aku serius, antagonis."

"Apa?"

Calix mengernyitkan dahi mendengar panggilan asing dari gadis itu, mulai kebingungan begitupula dengan Cavin yang lebih tidak mengerti lagi. Akhirnya sebagai jawaban kedua pria itu menggeleng pelan. Apa maksudnya? Evelia hanya tersenyum tipis sebelum melanjutkan kata-katanya. "Bagaimana jika kukatakan kita berada dalam dunia novel?" Pertanyaan mustahil, tapi itu membuat antagonis langsung menjawab tegas.

"Itu mustahil."

"Benar. Itu mustahil. Tapi bagaimana jika kukatakan ini adalah dunia yang kami ciptakan dengan takdir tragis yang telah dirancang?"

Pertanyaan itu semakin rumit. Kedua pria itu berpikir keras sebelum Cavin dengan wajah tidak percaya bertepuk tangan keras. "Apa kau itu Tuhan?" Sebagai balasan Luna dan Evelia tertawa kencang sementara Calix menepuk dahinya, mendapati reaksi dari otak kosong Cavin yang meresahkan. Tuhan? Kalau mereka Tuhan, mereka tidak akan terjebak di sini.

"Tentu saja kami bukan Tuhan. Tapi, aku berteori. Mungkin saja Tuhan menciptakan dunia dari hasil skenario dan penggambaran dari dunia yang kami tuliskan dalam bentuk huruf. Merealisasikannya menjadi sebuah dunia nyata yang membuat kalian benar-benar hidup."

Luna menjelaskan dengan teliti, ini adalah teori yang dia pikirkan berkali-kali dengan Evelia jika pada akhirnya ada saat-saat mereka berada dalam situasi saat ini. Dia pikir ini adalah hal paling bisa dimengerti. Semua kembali asing sebelum antagonis kembali menyela masih belum terima.

"Tunggu dulu. Jika kalian benar-benar penulis atau apalah yang menciptakan dunia ini. Berarti kalian tahu akhir dunia ini bukan? Kalian tahu semua orang yang ada di sini dan kalian yang membentuk kepribadian dan takdir mereka?"

Evelia tersenyum miring mengangguk. Walau sering menistakan tokohnya, dia masih bisa menerima tokoh antagonis yang cerdas. Semua pernyataannya memang benar seperti semua skenario, penggambaran, wajah orang-orangnya dan semua yang berada di sini. "Benar. Kami yang menciptakan seorang Calix Beuaregard akan menjadi penjahat dengan paksaan lingkungan. Kami yang membuat Cavin terlahir dengan kutukan. Bahkan kami juga yang membuat skenario semua orang akan mati di dunia ini."

Calix menatap tidak terima, itu hanyalah spekulasi, dia tidak mau menganggap hak konyol itu nyata seperti orang bodoh yang kini terbengong-bengong dengan wajah bodoh. "Kamu yang menulis takdirku? Dasar tidak waras!" Cavin melirik sang kakak kemudian mengangguk, dipikir-pikir itu memang mustahil. Walau begitu Cavin tetap penasaran kembali berucap, "Mak- maksudmu novel kalian itu berakhir buruk?"

Luna dan Evelia terkekeh kecil tidak memperdulikan mereka peduli atau tidak. Itu urusan mereka. "Bukan hanya saja buruk. Tapi dunia ini hancur karena kiamat." Semuanya terdiam shock, hening. Angin malam berhembus mengisi kesunyian yang ada. Luna menarik napas kemudian melanjutkan, sudah kepalang tanggung, lebih baik dijelaskan semuanya. "Dan kita, yakni penulis skenario dunia dan penggambaran dunia ini, ditarik oleh cahaya aneh kemari untuk membuat dunia ini stabil juga menjadi dunia normal pada umumnya."

Calix menatap keduanya skeptis sekaligus penuh amarah, ketidakpercayaan masih mengakar kuat sementara kebencian ditahan mati-matian. Tentu saja jika ini sebuah kebenaran, maka takdir menyedihkan ini adalah hal yang ditulis jiwa sesat di depannya. "Lalu mengapa kalian menciptakan dunia penuh penderitaan ini jika begitu? Sebenarnya apa yang kalian dapatkan dari hal itu, huh?"

"Kepuasan. Kepuasan untuk menghancurkan semua orang. Kepuasan melihat orang yang lebih sengsara. Dan kepuasan yang membuat aku berkuasa." Evelia menjawab dengan lugas, seringai terpampang jelas layaknya iblis, tatapan dingin dari netra samudera itu membuat antagonis tidak bisa berkata-kata.

Bersambung...

09/04/2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top