SAFM - BAGIAN TIGA BELAS

Ziyan keluar dari kamar masih dengan rasa kantuk, walaupun dia sudah mandi lima belas menit yang lalu. Kakinya menuruni anak tangga dengan malas menuju ke ruang makan. Dilihatnya Mika sedang duduk menikmati sarapan.

"Selamat pagi," ucap Ziyan memberikan salam tapi tidak dibalas oleh Mika.

"Mana sarapanku?" Ziyan bertanya sambil matanya melihat ke atas meja dan juga sekeliling. Dia hanya melihat satu piring nasi goreng yang sedang dimakan oleh Mika.

Mika tetap bergeming. Masih fokus pada nasi gorengnya. Dia tidak menanggapi perkataan Ziyan sama sekali.

"Mika?" panggil Ziyan yang kini sudah duduk di salah satu kursi dekat Mika.

Ekspresi wajah Mika tetap sama. Dia masih dengan tenang mengunyah nasi gorengnya. Tidak memedulikan panggilan Ziyan.

"Apa kau sakit?" tanya Ziyan sambil mencoba menyentuh kening Mika. Namun, segera ditepis oleh sang empunya.

Mika memberikan tatapan dingin dan membunuh untuk Ziyan. Dia bangkit sambil membawa piring nasi gorengnya yang terlihat masih separuh. Nafsu makannya hilang ketika melihat Ziyan.

Membuang sisa nasi goreng kemudian mencuci piring. Lalu Mika kembali ke ruang makan untuk mengambil tasnya yang berada di salah satu kursi.

Mata Ziyan tak lepas dari semua pergerakan Mika. Sampai pemuda berkulit putih itu menghilang dari dalam rumah.

Ziyan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Memikirkan apa yang sedang terjadi. Kenapa sikap Mika tiba-tiba berubah dingin padanya. Bukankah kemarin dia masih bisa melihat senyumnya. Kenapa hari ini malah mendapatkan perlakuan dingin?

Ziyan masih memikirkan tentang sikap Mika, sampai dia ingat sesuatu.

"Mati aku." Ziyan menepuk keningnya.

Dia ingat tentang ajakan makan malam kemarin siang. Dan dia lupa. Setelah mendapatkan amplop kemarin. Ziyan mendatangi gadis yang memberikan amplop tersebut dan meluruskan kesalahpahaman yang terjadi.

Ziyan tidak menyangka satu bulan kuliah di kampus barunya sudah ada gadis yang menembaknya melalui surat. Dia hanya tidak ingin gadis itu mengharap lebih padanya. Maka dari itu, Ziyan menolaknya saat itu juga. Dan setelah semuanya selesai, dia mendapatkan telepon kalau hari itu Ziyan ada pemotretan. Dia lupa kalau ada jadwal pemotretan. Tanpa pikir panjang dia pun segera meluncur ke Bandung. Sekitar pukul sepuluh malam dia baru tiba di Jakarta.

Keadaan rumah sudah sepi. Lampu pun sudah dimatikan. Ziyan langsung bergegas menuju kamarnya untuk tidur. Rasa lelah dan kantuk seakan membunuhnya.

"Aku harus segera meluruskan semuanya."

****

Mika berjalan santai keluar dari kelasnya setelah mata kuliah selesai. Kakinya terhenti ketika melihat sosok yang ingin dia hindari.

Ziyan bersandar di tembok luar kelasnya. Mika menghela napas. Membuang wajah kemudian berjalan kembali.

Ziyan yang menyadari kehadiran Mika segera menegakkan tubuhnya. Dia segera mengikuti langkah Mika yang baru saja melewatinya.

"Mika, tunggu." Ziyan menarik tangan Mika, tapi segera disentakkan oleh yang empunya.

Mika mendelik. Matanya memberikan tatapan tajam. Wajahnya sungguh tidak bersahabat.

"Aku ingin bicara." Ziyan kini berada di depan Mika. Mencoba menghalangi kakaknya.

"Minggir!" ucap Mika dingin.

"Aku ingin meluruskan kesalahpahaman kemarin." Ziyan masih mencoba membujuk Mika.

"Memangnya siapa kau? Minggir!" bentak Mika.

Ziyan sedikit terkejut. Dia tidak mengira kalau Mika akan semarah itu padanya.

"Aku minta maaf, Mik." Ziyan berusaha mengimbangi langkah lebar Mika. Dia masih berusaha menghentikan langkah Mika dengan memegang tangan pemuda itu. Namun, selalu saja disentakkan.

"Mika, kita harus bicara. Aku minta maaf soal kejadian semalam."

Mika berhenti. Mereka sekarang berada di lorong kampus. Banyak mahasiswa yang lalu lalang. Ada juga beberapa mahasiswi yang mencuri pandang ke arah mereka.

"Memang apa yang terjadi semalam?" tanya Mika dingin.

"Mika, aku tahu kalau aku salah. Jadi please, aku minta maaf." Ziyan masih mengiba.

"Mulai sekarang kita urus, urusan kita masing-masing. Aku menyesal telah berpikir untuk bersikap baik padamu."

Setelah mengucapkan kalimat tersebut Mika berjalan kembali, meninggalkan Ziyan yang mematung di tempatnya.

Ziyan mengusap wajahnya kasar. Dia benar-benar frustrasi. Tidak peduli lagi jika banyak mahasiswa yang melihat ke arahnya.

****

Mika memasuki kafe setelah berkeliling tanpa tujuan yang jelas. Satu hal yang dia inginkan saat ini adalah tidak pulang ke rumah dan bertemu manusia bar-bar itu. Rasanya darahnya mendidih jika mengingat kejadian semalam. Dia ingin sendiri malam ini.

"Hai, Mika," sapa Rio, manajer kafe tempatnya bekerja.

"Hai."

"Tumben kamu datang ke sini, hari ini? Kamu kan tidak ada jadwal manggung."

Hari ini jumat dan Mika tidak ada jadwal manggung. Rio sedikit terkejut tadi ketika Mika masuk ke dalam kafe.

"Aku hanya tidak ingin pulang," jawabnya jujur.

" Apa kau bertengkar lagi dengan ibumu? "

Selain manajer, Rio adalah teman baik Mika. Kadang kalau Mika sedang ada masalah dengan Shakina, pasti dia akan datang ke kafe walaupun tidak ada jadwal manggung untuknya.

Mika menggeleng. "Apa aku harus bertengkar dengan ibuku lebih dulu untuk datang ke sini."

Rio hanya menunjukkan cengiran lebar.

"Lalu? Apa kau sedang ada masalah dengan pacarmu?"

Mika hampir tersedak karena pertanyaan Rio. "Pacar?"

Rio mengangguk sambil menunjukkan cengiran jahil.

Mika tertawa lebar sampai memejamkan mata.

"Sejak kapan aku punya pacar?" Mika menggeleng sambil terus tertawa.

"Maybe." Rio mengangkat bahu.

"Tidak ada."

"Lalu?"

Rio masih menghujani Mika dengan pertanyaan. Satu informasi yang perlu diketahui, Rio adalah laki-laki yang selalu ingin tahu. Apalagi menyangkut hidup Mika. Sehingga membuat Mika menjadi jengah kalau sudah bertemu dengannya. Seperti saat ini. Dia sedikit menyesal telah datang ke kafe. Rencananya dia ingin sendirian saja tapi malah direcoki sama Rio.

Mika mendesah kemudian mengendikkan bahu.
Malas menjawab pertanyaan Rio.

"Ayolah, kau tidak perlu main rahasia-rahasiaan denganku. Bahkan aku sudah tahu ukuran celana dalammu."

Mika memutar bola matanya. Memang sialan si Rio ini. Kadang mulutnya tidak disaring jika bicara. Soal celana dalam Mika. Lupakan.

"Aku lagi malas bertemu seseorang," ucap Mika akhirnya. Karena dia tahu Rio tidak akan berhenti sampai di sini untuk terus mengorek informasi darinya. Dan itu sangat mengganggu.

"Seseorang?" Rio mengetuk-ngetuk dagunya dengan telunjuknya seperti sedang berpikir.

"Siapa?" tanyanya lagi. Tuh, kan dia itu KEPO.
Kalau bukan dia itu manajer sekaligus pemilik kafe, Mika bakalan judesin.

"Penting, jika aku memberitahumu?" Mika jengah. Dia menyesap coffee latte yang tinggal setengah.

"Ya, mungkin saja aku bisa bantu."

"Thanks."

"Tapi aku masih penasaran dengan 'seseorang' itu." Rio sepertinya tidak akan menyerah begitu saja.

"Dia lelaki atau perempuan, cakep atau jelek, rumahnya di mana, kerja ap-."

"Adik tiriku ," potong Mika.

Rio tersenyum. Eh, tapi tunggu apa katanya lagi. Adik tiri? Sejak kapan Mika punya adik tiri, kok dia tidak pernah memberitahunya. Rio bermonolog sendiri.

"Tunggu? Adik tiri?" Rio bertanya memastikan. Mika mengangguk.

"Sejak kapan kamu punya adik tiri?" Rio setengah berteriak membuat beberapa pengunjung menoleh ke arah meja mereka yang berada paling pojok.

"Tidak perlu seheboh itu." Mika mendengkus.

"Oh, oke. Sorry. Bisa kamu ceritain."

"Kamu tahu kan, Mama baru saja menikah." Rio mengangguk.

"Ternyata suami barunya mempunyai seorang anak."

Rio tahu kalau Ibu Mika telah menikah lagi dan tinggal di Bandung tapi baru tahu kalau Mika punya saudara tiri.

"Terus."

"Dia tinggal bersamaku di Jakarta."

"What?" Rio berteriak lagi membuat Mika hampir saja memukulnya dengan sendok.

"Berisik."

Rio menutup mulutnya segera. Sifat Rio memang selalu seperti ini jika bertemu dengan Mika. Mungkin tidak banyak yang tahu kalau Rio itu cerewet, selalu ingin tahu dan kadang suka heboh sendiri. Bahkan beberapa karyawan kafe tidak ada tahu. Mereka hanya tahu kalau manajernya itu adalah orang yang tegas dan galak.

"Terus." Rio bicara lagi.

Mika menghela napas. "Apanya yang terus?"

"Ceritanya dong." Rio sewot.

Mika tidak menjawab. Dia menyesap kembali minumannya. Rio menatap Mika lekat-lekat.

"Tapi aku penasaran, sejak kapan kamu tinggal dengan adik tirimu itu?"

"Satu bulan."

"Satu bulan? Dan kamu baru cerita sekarang." Rio berteriak lagi.

"Penting gitu?"

"Aku balik dulu." Mika beranjak dari kursinya. Dia tidak menghiraukan panggilan Rio. Rasanya kalau dia terus-menerus di sana, malah semakin membuatnya kesal.

Ketika dia berjalan menuju mobilnya. Mata hitamnya menangkap sosok pemuda yang membuatnya kesal tadi malam sedang bersandar pada Pajero kesayangannya.

****

Ps ; Pokoknya update biar dikira rajin padahal lagi mager.

Bantu cek jika ada kesalahan EYD, typo, dll.

Terima kasih

Happy reading

Vea Aprilia 😍
Ta, Senin 15 May 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top