SAFM - BAGIAN SEBELAS

Suasana hening sekali. Hanya ada suara buku yang dibalik dan juga suara jarum jam. Ziyan sesekali melirik pemuda di hadapannya. Mereka baru saja selesai sarapan.

"Hei, "panggil Ziyan lirih.

"Aku punya nama." Mika melemparkan tatapan tajam.

"Mika," panggilnya lagi.

"Aku lebih tua darimu."

Ziyan menghela napas. Dia malas.

"Ada apa?" tanya Mika.

"Tidak jadi."

Mika menghela napas kemudian fokus kembali pada buku di depannya.

Ziyan tidak suka suasana sepi. Paling tidak ada suara televisi. Tangannya mengambil remote.

"Jangan coba-coba untuk menyalakan televisi!" Mika menatap Ziyan sekilas. Lalu fokus kembali pada bukunya.

"Aku bosan."

"Pergilah."

"Kau mengusirku?" tanya Ziyan kaget.

"Bukankah kau bosan. Pergi saja." Mika bicara tanpa mengalihkan perhatian dari bukunya.

"Kalau begitu, ayo kita pergi jalan-jalan," ajak Ziyan bersemangat.

"Jalan-jalan?" Mika membenarkan letak kacamatanya.

"Iya jalan-jalan."

"Kemana?" 

"Taman bermain bisa juga."

"Aku bukan anak kecil." Mika mendengkus.

"Siapa yang bilang kau anak kecil?" goda Ziyan.

Mika tak acuh dan kembali fokus pada bukunya.

"Ayolah!" Ziyan dengan cepat meraih tangan Mika dan menariknya.

"Lepaskan!" teriak Mika namun tidak diindahkan oleh Ziyan. Pemuda jangkung itu terus menariknya hingga sampai di garasi.

"Hentikan!" bentak Mika dan langsung menghempaskan tangan Ziyan.

Ziyan dengan tampang jahil langsung mendorong tubuh Mika untuk masuk ke dalam mobil. Dia sudah tidak peduli dengan bentakan Mika. Bahkan kalau kakak tirinya tersebut mengamuk nantinya dia sudah bersiap-siap.

"Tenanglah. Duduk yang baik." Ziyan memasangkan sabuk pengaman untuk Mika.

"Aku tidak bilang kalau aku mau ikut denganmu ke taman bermain." Mika memasang wajah kesal.

"Tapi aku ingin kau ikut aku ke taman bermain."

Ziyan akan turun tapi sebelum turun dia berkata, "jangan coba-coba turun, aku akan mengunci pintu rumah dulu."

Mika menghela napas melihat pemuda yang lebih muda darinya itu turun dan mengunci pintu rumahnya.

"Nah, sekarang kita bisa berangkat," ucap Ziyan sambil mengerlingkan mata. Mika hanya bisa mengusap wajahnya. Ziyan segera mengemudikan mobilnya dan meninggalkan rumah.

Jalanan Jakarta cukup padat setiap hari. Apalagi hari ini akhir pekan. Dalam mobil suasana cukup hening. Tidak ada yang berbicara. Hanya saja Ziyan sering melirik ke arah Mika.

Kakaknya itu sedang memejamkan mata. Ziyan jadi gemas sekali. Apalagi melihat pipi putih mulus Mika. Ah, rasanya dia ingin mencubit pipi itu. Dia ingin berlama-lama menatap wajah cantik di sampingnya itu, tapi sayangnya mereka telah sampai di tempat yang dituju.

"Kita sampai," ucap Ziyan yang telah selesai memarkirkan mobilnya.

Mika membuka mata malas. Sejak dari rumah dia memejamkan mata tapi tidak tidur.

"Dufan?" Mika setengah berteriak setelah matanya benar-benar terbuka.

Ziyan mengangguk.

"Jangan bilang kalau kau belum pernah ke Dufan," selidik Mika.

"Tidak juga."

"Lalu kenapa kau ajak aku kemari?" tanya Mika heran campur kesal.

"Ya, karena aku ingin."

"Aku ingin pulang." Mika turun dari mobil dan berjalan menjauh dari tempat tersebut. Tetapi dengan cepat tangannya sudah ditangkap oleh Ziyan.

"Kau tidak bisa kabur begitu saja."

"Aku harus kerja pukul lima sore nanti dan kau mengajakku ke tempat ini. Buang-buang waktu saja." Mika mencoba melepaskan tangannya.

"Aku sudah membayar tiket untuk kita berdua...."

"Bodo. Bukan urusanku!"

Ziyan memejamkan mata mencoba menahan rasa kesalnya. Sedangkan Mika telah berjalan menjauh darinya. Namun, bukan Ziyan namanya kalau tidak bisa memaksakan keinginannya. Dengan cepat dia mengikuti Mika dan entah bagaimana caranya kini kakak tirinya tersebut sudah berada di gendongannya.

"Turunkan aku!" teriak Mika.  Beberapa pengunjung pun menoleh dan melihat ke arah mereka. Ada yang tertawa. Ada juga yang berbisik entah apa, yang pasti mereka telah menjadi pusat perhatian. Apalagi hari ini Dufan sangat ramai. Bisa dibayangkan berapa pasang mata yang kini sedang melihat ke arah mereka.

Mika menyadari hal tersebut. Bahwa mereka telah menjadi bahan tontonan.

"Turunkan aku." Kali ini suara Mika lebih rendah.

"Tidak!" tegas Ziyan. Bukannya dia tidak menyadari kalau mereka sedang jadi bahan tontonan rapi Ziyan terlalu cuek untuk mengindahkan mereka. Toh, kenal juga tidak, pikirnya.

"Aku tidak akan kabur tapi turunkan aku."

Ziyan menghentikan langkahnya. "Kau janji?"

"Ya, aku janji."

Ziyan dengan segera menurunkan Mika dari gendongannya. Jujur saja dia sedikit kewalahan menggendongnya. Ternyata kakaknya itu berat juga.

Setelah kaki Mika menginjak tanah. Satu detik kemudian dia melayangkan tendangan tepat di tulang keras milik Ziyan.

"Argghh... Sakit." Ziyan berteriak sambil meringis memegang kakinya.

"Itu hukuman karena telah membuat malu. Kau tahu gara-gara ulahmu tadi kita jadi bahan tontonan."

"Bukan salahku juga." Ziyan mencoba membela diri dengan masih mengusap-usap kakinya.

Mika mendengkus. "Baiklah, ayo masuk."

Mika akhirnya mengalah. Lalu menuruti keinginan pemuda yang masih kesakitan itu.

"Cepatlah, kalau tidak aku akan berubah pikiran." Mika sudah berjalan meninggalkan Ziyan.

Sialan.

Ziyan menggerutu sendiri tapi dengan cepat dia menyusul Mika walaupun dengan terpincang-pincang.

Mika duduk di salah satu bangku. Dia melihat betapa ramainya pengunjung Dufan hari ini.

"Bagaimana kalau kita naik itu?" Ziyan menunjuk satu wahana bermain.

"Komidi putar?" Mika terlihat tidak begitu bersemangat.

Ziyan mengangguk.

"Berapa umurmu?" tanya Mika dingin.

"Dua puluh tahun. Tapi jangan pikir aku anak kecil." Ziyan mencoba membela diri sebelum kakaknya itu mengatainya.

"Kau seperti anak-anak umur lima tahun."

Nah benar kan. Mika tetap saja mengatainya.

"Tapi lihatlah, banyak orang dewasa juga naik itu." Ziyan menunjuk beberapa perempuan yang sedang tertawa duduk di atas kuda-kudaan komidi putar tersebut.

"Kau saja yang naik. Aku menolak!" tegas Mika.

"Ayolah." Ziyan telah menarik tangan Mika.

"Lepaskan! Aku tidak mau."  Mika mencoba menolak tapi pegangan tangan Ziyan begitu kuat. Dia sadar bahwa beberapa pengunjung mulai menatap ke arah mereka. Jadi Mika memutuskan untuk menuruti Ziyan lagi.

Mika benci menjadi pusat perhatian di tempat umum. Cukup dengan pekerjaannya di kafe, dia mampu beradaptasi dengan keramaian.

Antrean begitu panjang membuat kaki Mika terasa pegal. Tapi tiba-tiba ada sekelebat bayangan masa lalu memenuhi kepalanya. Bayangan kenangan yang sudah lama dia kubur. 

"Ayo naik."

Ajakan Ziyan membuyarkan lamunannya. Dia akhirnya duduk di salah satu patung kuda berwarna putih dan wahana tersebut mulai berputar dengan pelan. Mika hanya diam saja ketika Ziyan dengan bersemangat mengajaknya bicara. Sampai saat komidi putar itu berhenti dan mereka berdua turun.

Mereka berdua duduk di salah satu bangku yang disediakan di taman bermain. Setelah Ziyan membeli satu buah permen gula kapas berwarna merah muda.

"Kau mau?" Ziyan menawarkan permen tersebut pada Mika tapi pemuda berponi itu menggeleng.

Ziyan kemudian tak acuh memakan sendiri permen kapas tersebut. Hingga dia merasa ada yang aneh dengan pemuda di sebelahnya. Mika terlihat diam saja saat mereka naik komidi putar sampai mereka turun. Ziyan melirik ke arah Mika. Ada perasaan tidak nyaman dalam dadanya. Pikirannya mulai menerka, apakah sikapnya tadi membuat Mika marah?  Ziyan hafal satu sifat Mika, yaitu kakaknya tersebut akan diam saja bila sedang marah.

Bodoh

Ziyan merutuki kebodohannya sendiri. Harusnya dia tidak memaksa Mika untuk ikut ke taman bermain dan mengajaknya untuk naik komidi putar. Dia menyesal. Sikapnya sama saja telah membangunkan macan tidur. Pemuda jangkung itu lebih suka Mika yang galak, jutek dan marah-marah daripada mendiamkannya seperti saat ini.

"Ayahku dulu sering mengajakku kemari."

Ziyan masih sibuk dengan pikirannya ketika Mika bicara padanya.

"Hah?" Ziyan sedikit tidak mendengar perkataan Mika.

"Bukan apa-apa, lupakan."

Mika beranjak dari bangku, meninggalkan Ziyan yang masih belum mengerti dengan perkataan Mika barusan. Baru setelah pemuda berponi itu menjauh , Ziyan baru paham arah pembicaraan Mika.

"Tunggu!" teriak Ziyan yang kini sudah berlari menyusul Mika.

Setelah naik komidi putar, Ziyan memutuskan untuk pulang saja. Dia sedikit khawatir dengan sikap Mika. Pemuda jangkung itu melihat ada raut kesedihan terpancar dari wajah cantik Mika.

Mengingat perkataan Mika tadi tentang ayahnya yang sering mengajaknya ke Dufan, membuat Ziyan dua kali merasa bersalah sekaligus menyesal. Dia tidak tahu tentang masa lalu Mika. Bagaimana Mika tumbuh dan semua tentang kakak tirinya tersebut. Ziyan hanya tahu kalau suami Shakina telah meninggal cukup lama. Dan ibu tirinya tersebut yang membanting tulang sendiri untuk merawat dan membesarkan Mika.

Ziyan mencuri pandang ke arah Mika. Pemuda itu terlihat menatap ke luar jendela. Seperti menikmati kemacetan Jakarta di sore hari. Tapi Ziyan yakin pikiran pemuda itu tidak sedang memikirkan hal itu.

Mobil BMW berwarna hitam itu akhirnya sampai di sebuah parkiran kafe. Mika melepaskan sabuk pengaman. Menoleh ke arah Ziyan sebentar. Mengucapkan terima kasih  lantas turun.

Ziyan menatap punggung Mika menghilang di pintu masuk.  Dia menghela napas kemudian ikut turun. Ada rasa bersalah bercokol di dada Ziyan. Harusnya dia tidak membuka kenangan masa lalu Mika.

Ziyan ikut masuk ke dalam kafe. Duduk di salah satu kursi bar. Matanya melihat ke arah Mika yang telah duduk di tengah panggung sambil memegang gitar. Dia bisa melihat raut kesedihan juga kerinduan di sana.

Lagu Dont Cry dari Guns And Roses mengalun merdu dari bibir mungil Mika. Jari-jari lentiknya dengan lincah memetik gitar. Ziyan dapat merasakan adanya kesedihan dari lagu yang dibawakan Mika.

Dalam hati Ziyan berjanji, tidak akan membuat pemuda berkulit putih itu merasakan kesedihan lagi.

****

Ps; no edit, terjebak di kamar mandi, masuk angin 😭😭😭😭

Vea Aprilia

Ta, Selasa 09 May 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top